Beijing (ANTARA News) - Tibet dapat hidup dan berkembang di dalam China seperti semangat yang sama dengan Uni Eropa, kata Dalai Lama, pemimpin kerohanian Tibet, namun dianggap pemberontak berbahaya oleh pihak Pemerintah Beijing.

Dalai Lama lari ke India pada 1959, setelah kegagalan pemberontakan melawan China dan mendirikan pemerintahan di pengasingan di kaki bukit Dharamsala. Pasukan China menguasai Tibet sembilan tahun sebelumnya.

Dia menyatakan hanya mencari otonomi untuk tanah airnya, bukan langsung menuju kemerdekaan. Dalai Lama juga menyatakan keinginan kembali ke Tibet.

"Sebagaimana yang Anda lihat, saya selalu mengagumi semangat Uni Eropa," kata Dalai Lama, dalam pesan rekaman gambar ke Kampanye Internasional untuk Tibet pada ulang tahun 30 kelompok bermarkas di Washington DC itu, Kamis (15/3).

Ia menimpali, "Kepentingan bersama adalah kepentingan yang lebih penting daripada kepentingan nasional itu sendiri. Dengan konsep seperti itu, saya sangat bersedia untuk tinggal di dalam Republik Rakyat China. Kata Gongheguo dalam bahasa China menunjukkan semacam serikat ada di sana." Gongheguo dalam bahasa China berarti republik atau berbasis kerakyatan.

Pria bernama lahir Kun Dun itu oleh masyarakat Budha Tibet dianggap sebagai titisan Dalai Lama ke-14. Kun Dun lahir pada 6 Juli 1935, yang kemudian diberi nama resmi Lhamo Dondrub oleh para pendeta guru Budha Tibet, kemudian bernama Tenzin Gyatso sejak memimpin umatnya pada 1940.

China berpendapat bahwa Tibet sebagai bagian integral dari wilayahnya selama berabad-abad lamanya. Beijing juga mengatakan bahwa peraturannya mengakhiri perhambaan dan membawa kemakmuran ke daerah tersebut, dan sepenuhnya menghormati hak orang-orang Tibet.

Beijing menegaskan bahwa Dalai Lama adalah sosok pemecah belah berjubah seorang biarawan, dan telah memperingatkan pemimpin asing untuk tidak bertemu dengannya, bahkan dalam kapasitas pribadi.

Donald Trump belum pernah bertemu dengan Dalai Lama sejak menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari 2017. Semua Presiden AS sebelum Trump, setelah 1960-an, pernah mengadakan pertemuan dengan Dalai Lama.

Dalai Lama mengulangi keinginannya untuk melakukan rekonsiliasi saat Xi Jinping memulai masa jabatan lima tahun keduanya sebagai Presiden China. Dia juga mengatakan bahwa masalah Tibet tersebut tidak akan segera selesai.

"Di antara orang China, dalam pikiran mereka, tampaknya ada semacam dilema mengenai kebijakan mereka sekarang. Apakah Anda dapat memecahkan masalah Tibet atau tidak," demikian Dalai Lama, layaknya dikutip kantor berita Reuters.