Hutang Indonesia Rp4.034 triliun, masyarakat jangan khawatir
15 Maret 2018 19:38 WIB
Ilustrasi pembangunan proyek Light Rail Transit Jakarta-Bogor-Depok-Bekas di Cawang, Jakarta, Jumat (2/3/2018). Pembangunan berbagai infrastruktur ini memerlukan banyak sekali biaya yang dicukupkan dari berbagai sumber. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta (ANTARA News) - Berapa hutang Indonesia saat ini? Kementerian Keuangan mengakui terjadi kenaikan hutang pemerintah menjadi Rp4.034,8 triliun pada akhir Februari 2018. Namun hal ini dikelola secara baik dan hati-hati, serta menghindari potensi gagal bayar.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan, Schneider Siahaan, di Kantor Bank Indonesia, Jakarta, Kamis, menjelaskan, masyarakat seharusnya tidak terlalu mengkhawatirkan jumlah hutang yang dipinjam pemerintah.
Hal itu karena indikator rasio utang pemerintah masih dalam level aman yakni sebesar 29,24 persen terhadap PDB, dan diajukan secara hati-hati dan efisien. Adapun batas maksimum utang pemerintah sebagaimana dalam UU Keuangan Negara Nomor 17/2003, adalah 60 persen terhadap PDB.
"Hutang ini akan naik terus sepanjang anggaran kita masih defisit. Yang kami lakukan adalah mengelola hutang dengan baik, agar bisa membayarnya," ujar dia.
Dia mengilustrasikan pembayaran utang ini dengan penerimaan yang dihimpun negara termasuk penerimaan pajak. Apabila pada 2018 perkiraan penerimaan negara sebesar Rp1.894 triliun, maka dengan jumlah hutang Rp 4.034 triliun, pemerintah memiliki waktu jatuh tempo untuk membayar hutang itu selama sembilan tahun.
Dengan begitu, setiap tahun, berdasarkan perhitungan kasar, pemerintah perlu membayar utang Rp450 triliun.
"Kalau kita punya penerimaan Rp1.894 triliun dan utang jatuh tempo Rp450 triliun setiap tahun, itu kita bisa bayar tidak? Ya bisa. Jadi itu namanya mengelola," ujar dia.
Siahaan menuturkan utang pemerintah juga tentu dapat dilunasi tergantung kebijakan politik anggaran yang akan diterapkan.
Misalnya, dia mengilustrasikan, dari target pendapatan pemerintah yang sekitar Rp1.894 triliun, bisa saja pemerintah memilih alokasi belanja dan mendsitribusikan anggaran yang lebih besar untuk membayar utang.
"Kalau ditanya kapan lunas, tergantung politiknya, kalau bisa bikin anggaran surplus Rp500 triliun setahun, kalau penerimaan Rp1.800 triliun, kita potong jadi Rp1.300 triliun. Jadi bagi saja, khan itu bisa delapan tahun (lunas)," ujar dia. Sementara pemerintahan saat ini masih memiliki waktu sekitar 18 bulan lagi.
Berdasarkan dokumen APBN Kita per Maret 2018, hutang pemerintah masih didominasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp3.257,26 triliun atau 80,73 persen dari total utang pemerintah.
Penerbitan SBN itu mayoritas atau sekitar Rp2.359,47 triliun diterbitkan dalam denominasi rupiah, dan dalam denominasi valas sebesar 18,11 persen atau sebesar Rp897,78 triliun
Selain penerbitan SBN, utang itu juga berasal dari pinjaman luar negeri pemerintah dengan porsi 19,27 persen atau Rp777,54 triliun.
Utang yang dalam bentuk pinjaman ini terbagi dari pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri. Untuk pinjaman luar negeri sebesar 19,13 persen atau Rp771,6 triliun yang terdiri dari pinjaman bilateral 8,21 persen atau Rp331,24 triliun.
Selanjutnya pinjaman multilateral 9,82 persen atau Rp396,02 triliun, pinjaman komersial 1,07 persen atau Rp43,32 triliun, dan pinjaman suppliers 0,03 persen atau Rp1,17 triliun. Untuk pinjaman dalam negeri sebesar 0,14 persen atau sebesar Rp5,78 triliun.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan, Schneider Siahaan, di Kantor Bank Indonesia, Jakarta, Kamis, menjelaskan, masyarakat seharusnya tidak terlalu mengkhawatirkan jumlah hutang yang dipinjam pemerintah.
Hal itu karena indikator rasio utang pemerintah masih dalam level aman yakni sebesar 29,24 persen terhadap PDB, dan diajukan secara hati-hati dan efisien. Adapun batas maksimum utang pemerintah sebagaimana dalam UU Keuangan Negara Nomor 17/2003, adalah 60 persen terhadap PDB.
"Hutang ini akan naik terus sepanjang anggaran kita masih defisit. Yang kami lakukan adalah mengelola hutang dengan baik, agar bisa membayarnya," ujar dia.
Dia mengilustrasikan pembayaran utang ini dengan penerimaan yang dihimpun negara termasuk penerimaan pajak. Apabila pada 2018 perkiraan penerimaan negara sebesar Rp1.894 triliun, maka dengan jumlah hutang Rp 4.034 triliun, pemerintah memiliki waktu jatuh tempo untuk membayar hutang itu selama sembilan tahun.
Dengan begitu, setiap tahun, berdasarkan perhitungan kasar, pemerintah perlu membayar utang Rp450 triliun.
"Kalau kita punya penerimaan Rp1.894 triliun dan utang jatuh tempo Rp450 triliun setiap tahun, itu kita bisa bayar tidak? Ya bisa. Jadi itu namanya mengelola," ujar dia.
Siahaan menuturkan utang pemerintah juga tentu dapat dilunasi tergantung kebijakan politik anggaran yang akan diterapkan.
Misalnya, dia mengilustrasikan, dari target pendapatan pemerintah yang sekitar Rp1.894 triliun, bisa saja pemerintah memilih alokasi belanja dan mendsitribusikan anggaran yang lebih besar untuk membayar utang.
"Kalau ditanya kapan lunas, tergantung politiknya, kalau bisa bikin anggaran surplus Rp500 triliun setahun, kalau penerimaan Rp1.800 triliun, kita potong jadi Rp1.300 triliun. Jadi bagi saja, khan itu bisa delapan tahun (lunas)," ujar dia. Sementara pemerintahan saat ini masih memiliki waktu sekitar 18 bulan lagi.
Berdasarkan dokumen APBN Kita per Maret 2018, hutang pemerintah masih didominasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp3.257,26 triliun atau 80,73 persen dari total utang pemerintah.
Penerbitan SBN itu mayoritas atau sekitar Rp2.359,47 triliun diterbitkan dalam denominasi rupiah, dan dalam denominasi valas sebesar 18,11 persen atau sebesar Rp897,78 triliun
Selain penerbitan SBN, utang itu juga berasal dari pinjaman luar negeri pemerintah dengan porsi 19,27 persen atau Rp777,54 triliun.
Utang yang dalam bentuk pinjaman ini terbagi dari pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri. Untuk pinjaman luar negeri sebesar 19,13 persen atau Rp771,6 triliun yang terdiri dari pinjaman bilateral 8,21 persen atau Rp331,24 triliun.
Selanjutnya pinjaman multilateral 9,82 persen atau Rp396,02 triliun, pinjaman komersial 1,07 persen atau Rp43,32 triliun, dan pinjaman suppliers 0,03 persen atau Rp1,17 triliun. Untuk pinjaman dalam negeri sebesar 0,14 persen atau sebesar Rp5,78 triliun.
Pewarta: Indra Pribadi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018
Tags: