Jurus perancang busana muslim bersaing dengan merek global
15 Maret 2018 14:35 WIB
Arsip Foto. Perancang busana muslim Indonesia (dari kiri) Dian Pelangi, Jenahara, Restu Anggraini, Vivi Zubedi dan Zaskia Sungkar berpose usai menghadiri konferensi pers menjelang keberangkatan mereka ke London Fashion Week 2016 di Jakarta, Jumat (12/2). (ANTARA FOTO/Teresia May).
Jakarta (ANTARA News) - Perancang Tanah Air yang selama ini fokus pada busana muslim menghadapi tantangan baru dengan merek-merek global terkemuka, seperti Dolce & Gabbana dan Nike, mulai menyasar muslim pecinta fesyen.
Dolce & Gabbana sudah mengeluarkan koleksi abaya dan hijab sementara Nike punya koleksi hijab untuk perempuan atlet. Menghadapi fenomena ini, perancang Dian Pelangi mengungkapkan tiga jurus untuk mempertahankan eksistensi di tengah globalisasi. "Pertama, sustainability (keberlanjutan).Tren busana muslim tidak serta merta muncul di Indonesia," kata Dian di Jakarta, Kamis.
"Di Indonesia sudah ada dari tahun 80-an, misalnya Ida Royani," kata Dian, yang menganggap konsistensi dalam berkarya dan berinovasi sebagai kunci untuk bertahan lama dalam bisnis busana muslim.
Selain itu, ia menuturkan, busana muslim tidak akan bertahan tanpa komunitas pencinta fesyen, karenanya sangat penting untuk merangkul orang-orang dalam komunitas-komunitas tersebut. Dan yang terakhir, menurut dia, kolaborasi di antara para pelaku usaha kreatif. Dian menyambut baik proyek-proyek yang menyatukan dia dengan para perancang lain untuk bersama-sama membuat karya baru yang bisa menginspirasi. Proyek-proyek semacam itu pada dasarnya menyatukan kekuatan bersama.
Sementara Restu Anggraini dari label ETU punya pendapat lain.
Menurut dia, bahan berkualitas dan nyaman menjadi kekuatan yang membuat konsumen setia pada sebuah merek. Jika para perancang dan merek lokal mengutamakan kualitas, maka tentunya konsumen tidak akan mudah berpaling pada merek-merek non-lokal. Norma Hauri juga punya pendapat serupa, dan menambahkan pentingnya pendidikan dini soal fesyen untuk mendukung regenerasi di Indonesia.
Baca juga: Busana muslim Indonesia ekspansi ke pasar Inggris
Dolce & Gabbana sudah mengeluarkan koleksi abaya dan hijab sementara Nike punya koleksi hijab untuk perempuan atlet. Menghadapi fenomena ini, perancang Dian Pelangi mengungkapkan tiga jurus untuk mempertahankan eksistensi di tengah globalisasi. "Pertama, sustainability (keberlanjutan).Tren busana muslim tidak serta merta muncul di Indonesia," kata Dian di Jakarta, Kamis.
"Di Indonesia sudah ada dari tahun 80-an, misalnya Ida Royani," kata Dian, yang menganggap konsistensi dalam berkarya dan berinovasi sebagai kunci untuk bertahan lama dalam bisnis busana muslim.
Selain itu, ia menuturkan, busana muslim tidak akan bertahan tanpa komunitas pencinta fesyen, karenanya sangat penting untuk merangkul orang-orang dalam komunitas-komunitas tersebut. Dan yang terakhir, menurut dia, kolaborasi di antara para pelaku usaha kreatif. Dian menyambut baik proyek-proyek yang menyatukan dia dengan para perancang lain untuk bersama-sama membuat karya baru yang bisa menginspirasi. Proyek-proyek semacam itu pada dasarnya menyatukan kekuatan bersama.
Sementara Restu Anggraini dari label ETU punya pendapat lain.
Menurut dia, bahan berkualitas dan nyaman menjadi kekuatan yang membuat konsumen setia pada sebuah merek. Jika para perancang dan merek lokal mengutamakan kualitas, maka tentunya konsumen tidak akan mudah berpaling pada merek-merek non-lokal. Norma Hauri juga punya pendapat serupa, dan menambahkan pentingnya pendidikan dini soal fesyen untuk mendukung regenerasi di Indonesia.
Baca juga: Busana muslim Indonesia ekspansi ke pasar Inggris
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018
Tags: