Indonesia beri masukan soal aturan servis bulutangkis
15 Maret 2018 13:11 WIB
Dokumentasi pebulutangkis Indonesia, Shesar Rhustavito, saat mengembalikan bola ke arah lawannya pebulu tangkis asal Denmark, Kim Bruun, dalam laga final kualifikasi Indonesia Master, di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (23/1/2018). Rhustavito berhasil menang sekaligus memastikan tiket ke babak utama setelah menang 21-15, 19-21 dan 21-15. (ANTARA FOTO/Akbar Gumay)
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia secara resmi menyampaikan masukan soal aturan batasan tinggi servis 115 cm dari permukaan lapangan, yang dinilai merugikan pemain bulutangkis dalam pertemuan manajer All England 2018, di Birmingham, Inggris.
Dalam keterangan PB PBSI yang diterima di Jakarta, Kamis pagi, masukan itu disampaikan lewat Sekretaris Jendral PB PBSI, Achmad Budiharto, dan Kasubbid Hubungan Internasional PB PBSI, Bambang Roedyanto, dalam pertemuan manajer, Rabu malam waktu setempat atau Kamis pagi WIB.
Dalam kesempatan ini, kritik yang disampaikan tim Indonesia, dikabarkan dalam keterangan itu, mendapat dukungan dari negara-negara lainnya yang hadir.
Aturan batasan tinggi servis ini, mulai diujicoba-kan dalam turnamen level Super 300 Jerman Terbuka 2018, pada pekan lalu. Sejumlah pemain Indonesia merasa dirugikan akibat servis mereka dinyatakan fault, bahkan ada yang lebih dari 10 kali dalam satu gim yang tentunya membawa pengaruh bagi penampilan pemain.
Ditambah lagi, belum ada infrastruktur yang memadai seperti alat sensor khusus atau kamera untuk menampilkan ulang servis itu, seperti layaknya teknologi hawk eye, sehingga semua penilaian tergantung pada sudut pandang hakim servis.
"Ada dua hal yang kami sampaikan. Pertama, aturan ini rasanya jadi aneh karena tidak ada konsistensi. Contohnya, ada yang dari putaran awal tidak disalahkan, tiba-tiba di final disalahkan sampai lima kali. Kalau memang salah, harusnya dari awal," kata Budiharto, dalam keterangan tersebut.
Kedua, lanjut Budi, mengenai beberapa pemain kelas dunia yang bisa sampai kena fault servisnya lebih dari lima kali.
"Pasti ini ada yang salah. Tindakan kami didukung oleh tim negara lain yang mereka juga mengalami hal yang sama. Ini sekedar masukan, yang sudah lewat di Jerman ya sudah, kan tidak bisa diulang. Jadi, ini antisipasi untuk di All England, jangan sampai merugikan pemain," tuturnya.
Budi juga menyebutkan dalam pertemuan tersebut, ada usulan dari beberapa negara untuk menggunakan teknologi, semisal sinar infra merah, agar bisa menghindari faktor bias.
"Masukan ini ditampung penyelenggara turnamen, dan akan dijadikan bahan dari briefing di turnamen ini," ujar Budiharto.
Berdasarkan catatan tim ofisial, pemain-pemain Indonesia memang banyak yang dinyatakan gagal melakukan servis selama bertanding di Jerman Terbuka 2018.
Rizki Amelia Pradipta mengalami 11 kali "fault" di putaran pertama, dan dua kali fault di putaran kedua.
Gloria Emanuelle Widjaja servisnya dinyatakan terlalu tinggi sebanyak enam kali saat bertanding di putaran pertama, sedangkan pemain ganda putri Anggia Shitta Awanda sebanyak dua kali di putaran kedua.
Pemain tunggal putra Anthony Sinisuka Ginting juga mengatakan sebanyak lima kali servisnya dinyatakan fault selama bertanding di Jerman.
Pasangan Juara Dunia 2013 dan 2015, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan pun mengalami hal serupa, servis Hendra dinyatakan fault sebanyak tiga kali pada putaran pertama, dan satu kali di putaran kedua. Sedangkan Ahsan, satu kali di putaran pertama, dan lebih dari sepuluh kali di putaran kedua.
Pemain ganda putra lainnya, Fajar Alfian, mengalami hal yang sama, servisnya yang selalu aman dari putaran pertama hingga semifinal. Namun ketika bertanding di final, servisnya dinyatakan fault sebanyak lima kali dan ini membawa pengaruh pada penampilannya.
Pada babak kualifikasi, tiga servis Melati Daeva Oktavianti juga dibilang terlalu tinggi. Di putaran pertama, servis Melati aman dan tidak satu pun yang dinyatakan salah oleh hakim servis. Namun di putaran kedua, ada dua servisnya yang dinyatakan fault.
Melati harus menelan kekecewaan saat 16 kali servisnya dinyatakan fault ketika ia bertanding di putaran perempat final.
Dalam keterangan PB PBSI yang diterima di Jakarta, Kamis pagi, masukan itu disampaikan lewat Sekretaris Jendral PB PBSI, Achmad Budiharto, dan Kasubbid Hubungan Internasional PB PBSI, Bambang Roedyanto, dalam pertemuan manajer, Rabu malam waktu setempat atau Kamis pagi WIB.
Dalam kesempatan ini, kritik yang disampaikan tim Indonesia, dikabarkan dalam keterangan itu, mendapat dukungan dari negara-negara lainnya yang hadir.
Aturan batasan tinggi servis ini, mulai diujicoba-kan dalam turnamen level Super 300 Jerman Terbuka 2018, pada pekan lalu. Sejumlah pemain Indonesia merasa dirugikan akibat servis mereka dinyatakan fault, bahkan ada yang lebih dari 10 kali dalam satu gim yang tentunya membawa pengaruh bagi penampilan pemain.
Ditambah lagi, belum ada infrastruktur yang memadai seperti alat sensor khusus atau kamera untuk menampilkan ulang servis itu, seperti layaknya teknologi hawk eye, sehingga semua penilaian tergantung pada sudut pandang hakim servis.
"Ada dua hal yang kami sampaikan. Pertama, aturan ini rasanya jadi aneh karena tidak ada konsistensi. Contohnya, ada yang dari putaran awal tidak disalahkan, tiba-tiba di final disalahkan sampai lima kali. Kalau memang salah, harusnya dari awal," kata Budiharto, dalam keterangan tersebut.
Kedua, lanjut Budi, mengenai beberapa pemain kelas dunia yang bisa sampai kena fault servisnya lebih dari lima kali.
"Pasti ini ada yang salah. Tindakan kami didukung oleh tim negara lain yang mereka juga mengalami hal yang sama. Ini sekedar masukan, yang sudah lewat di Jerman ya sudah, kan tidak bisa diulang. Jadi, ini antisipasi untuk di All England, jangan sampai merugikan pemain," tuturnya.
Budi juga menyebutkan dalam pertemuan tersebut, ada usulan dari beberapa negara untuk menggunakan teknologi, semisal sinar infra merah, agar bisa menghindari faktor bias.
"Masukan ini ditampung penyelenggara turnamen, dan akan dijadikan bahan dari briefing di turnamen ini," ujar Budiharto.
Berdasarkan catatan tim ofisial, pemain-pemain Indonesia memang banyak yang dinyatakan gagal melakukan servis selama bertanding di Jerman Terbuka 2018.
Rizki Amelia Pradipta mengalami 11 kali "fault" di putaran pertama, dan dua kali fault di putaran kedua.
Gloria Emanuelle Widjaja servisnya dinyatakan terlalu tinggi sebanyak enam kali saat bertanding di putaran pertama, sedangkan pemain ganda putri Anggia Shitta Awanda sebanyak dua kali di putaran kedua.
Pemain tunggal putra Anthony Sinisuka Ginting juga mengatakan sebanyak lima kali servisnya dinyatakan fault selama bertanding di Jerman.
Pasangan Juara Dunia 2013 dan 2015, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan pun mengalami hal serupa, servis Hendra dinyatakan fault sebanyak tiga kali pada putaran pertama, dan satu kali di putaran kedua. Sedangkan Ahsan, satu kali di putaran pertama, dan lebih dari sepuluh kali di putaran kedua.
Pemain ganda putra lainnya, Fajar Alfian, mengalami hal yang sama, servisnya yang selalu aman dari putaran pertama hingga semifinal. Namun ketika bertanding di final, servisnya dinyatakan fault sebanyak lima kali dan ini membawa pengaruh pada penampilannya.
Pada babak kualifikasi, tiga servis Melati Daeva Oktavianti juga dibilang terlalu tinggi. Di putaran pertama, servis Melati aman dan tidak satu pun yang dinyatakan salah oleh hakim servis. Namun di putaran kedua, ada dua servisnya yang dinyatakan fault.
Melati harus menelan kekecewaan saat 16 kali servisnya dinyatakan fault ketika ia bertanding di putaran perempat final.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018
Tags: