Jakarta (ANTARA News) - Ahli hukum administrasi yang dihadirkan pihak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia selaku tergugat dalam perkara pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memaparkan dasar hukum pemerintah mencabut badan hukum organisasi tersebut dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara, Kamis.

"Kalau dikaitkan dengan tindakan pemerintah (Menkumham), maka pejabat yang menerbitkan suatu keputusan berwenang mencabut kembali keputusan tersebut baik dalam rangka koreksi maupun penerapan sanksi administrasi," jelas ahli hukum administrasi Dr. Philipus Mandiri Hadjon SH.

Sanksi administratif, ia menjelaskan, dapat berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan badan hukum.

Philipus mengatakan karakter penerapan sanksi administrasi memang berbeda dengan penerapan sanksi pidana. Penerapan sanksi administrasi ditujukan untuk perbuatan, sedangkan sanksi pidana ditujukan untuk pelaku.

"Sanksi administrasi tujuannya mengakhiri pelanggaran, maka dilakukan tanpa melalui putusan pengadilan, dan pihak yang merasa dirugikan boleh menggugat," jelas Philipus.

Dia juga menekankan bahwa sebuah perkumpulan yang terdaftar badan hukumnya tentu harus memenuhi persyaratan. Syarat paling mendasarnya adalah memiliki anggaran dasar sesuai dengan peraturan hukum berlaku.

Tim kuasa hukum Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia lalu menanyakan kepada Philipus apakah suatu perkumpulan dapat dicabut badan hukumnya manakala anggaran dasarnya sesuai Pancasila, namun dalam praktiknya berdakwah bertentangan dengan anggaran dasarnya.

Philipus menjawab bahwa "tidak ada yang boleh bertindak berlawanan (dengan) Pancasila."

HTI dibubarkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU -30.AHA.01.08.2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Perkumpulan HTI.

Baca juga:
Mantan Kepala BNPT sebut keputusan membubarkan HTI tepat
Eks HTI pertanyakan keterangan mantan Kepala BNPT