Pengamat: angkutan umum Bodetabek harus direvitalisasi
11 Maret 2018 12:04 WIB
Sejumlah angkutan umum mencari penumpang dengan berhenti sembarangan di kawasan Kranji, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (5/10/2016). Jalur ini hingga sekarang masih dipenuhi angkutan kota yang berhenti sembarangan pada jam-jam sibuk. (ANTARA FOTO/Risky Andrianto)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Transportasi Universitas Soegijapranata Djoko Setijowarno menilai angkutan umum di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek) harus direvitalisasi untuk mengurangi tingkat kemacetan yang semakin tinggi.
Djoko menjelaskan dalam keterangannya di Jakarta, Minggu, bahwa jumlah penduduk Jabodetabek 31.077.315 jiwa dengan 24.897.391 kendaraan bermotor.
Dari jumlah itu, angkutan umum hanya 2 persen, 23 persen mobil pribadi dan 75 persen sepeda motor (Rencana Induk Transportasi Jabodetabek).
Total pergerakan di Jabodetabek tahun 2015 sebesar 47,5 juta orang per hari, sementara itu pergerakan dalam kota Jakarta 23,42 juta orang per hari.
Pergerakan komuter 4,06 juta orang per hari dan pergerakan melintas Jakarta dan internal Bodetabek 20,02 juta orang per hari, kemudian pada 2018 sudah mencapai 50 juta pergerakan per hari.
"Permasalahan sekarang adalah tingkat kemacetan semakin tinggi, sepeda motor makin dominan, angkutan umum makin menurun. Peran angkutan umum massal baru mencapai dua sampai tiga persen, KRL tiga sampai empat persen," katanya. Infrastruktur angkutan massal sangat terbatas, pengadaan bus dan KRL masih belum memenuhi perjalanan. Minimnya pendanaan angkutan umhm, khususnya di Kawasan Bodetabek," katanya.
Djoko menambahkan di Jabodetabek sudah tersedia jaringan KRL Jabodetabek dan Bus Transjakarta, pada 2012 baru enam koridor, sekarang sudah 80 koridor termasuk 13 jalur Transjakarta.
Kemudian, pada 2013, rata-rata 431.886 penumpang per hari, pada 2017 sudah meningkat rata-rata 993.992 penumpang per hari atau ada peningkatan 230 persen.
"Menambah kapasitas KRL sudah sulit dilakukan, karena hampir semua rangkaian sudah 19-12 kereta untuk setiap rangkaian. Menanbah frekuensi perjalanan, terhambat perlintasan sebidang dengan jalan raya," ujarnya.
Menurut dia, salah satunya memperpanjang jaringan pelayanan KRL hingga Cikarang, sekarang sudah dilakukan, tapi belum bisa maksimal, karena jalur dwi ganda belum selesai terbangun.
Di sisi lain, upaya untuk meningkatkan pengguna angkutan umum sesuai Rencana Induk Transportasi Jabodetabek 40 persen (2019) dan 60 persen (2039) dibangunlah LRT Jabodebek, LRT Jakarta dan MRT Jakarta.
"Upaya lain masih bisa dilakukan dengan memperpanjang layanan Bus Transjakarta hingga kawasan Bodetabek. Juga memberikan layanan angkutan umum yang tersedia di seluruh kawasan perumahan di Bodetabek," katanya.
Dia menambahkan layanan bus hingga seluruh kawasan perumahan bisa dioperasikan pada jam sibuk masuk hingga pusat Kota Jakarta,pada jam tidak sibuk cukup singgah di stasiun KRL terdekat.
"Kesalahan masa lalu, jika ada pengembang membangun kawasan perumahan tidak diwajibkan menyediakan rute sarana angkutan umum. Akibatnya penduduk daerah penyangga Jakarta, Bodetabek, rata rata terbesar membawa kendaraan pribadi yang sebagian besar melalui jalan tol," katanya.
Djoko mengatakan kalan non tol sudah tidak sanggup lagi menerima limpahan volume kendaraan yang begitu besar dan cepat tumbuh.
Program ganjil genap di akses gate tol adalah salah satu upaya untuk mengurangi kendaraan pribadi ke Jakarta dan mengalihkan penumpang dengan angkutan umum.
Penerapan ganjil genap tidak hanya di Bekasi tetapi dapat untuk semua akses pintu masuk tol di kawasan yang lain, Tangerang, Bogor dan Depok.
"Belajar dari kasus KRL Jabodetabek tahun 2013, ketika mulai ada pembenahan. Banyak pihak menolak, bahkan demo di beberapa stasiun. Namun dengan berjalannya waktu, pelayanan makin bagus, publik akhirnya banyak yg beralih menggunakan KRL. Target tercapai, kualitas layanan terus ditingkatkan. Kata kuncinya, komitmen yang kuat dari regulator untuk berupaya meningkatkan kuantitas dan kualitas angkutan umum," katanya.
Untuk itu, lanjut dia, revitalisasi angkutan umum di Kawasan Bodetabek mutlak harus segera dilakukan, supaya kemacetan di perkotaan bisa berkurang, udara makin nyaman, publik makin senang, lalu lintas makin lancar.
Djoko menjelaskan dalam keterangannya di Jakarta, Minggu, bahwa jumlah penduduk Jabodetabek 31.077.315 jiwa dengan 24.897.391 kendaraan bermotor.
Dari jumlah itu, angkutan umum hanya 2 persen, 23 persen mobil pribadi dan 75 persen sepeda motor (Rencana Induk Transportasi Jabodetabek).
Total pergerakan di Jabodetabek tahun 2015 sebesar 47,5 juta orang per hari, sementara itu pergerakan dalam kota Jakarta 23,42 juta orang per hari.
Pergerakan komuter 4,06 juta orang per hari dan pergerakan melintas Jakarta dan internal Bodetabek 20,02 juta orang per hari, kemudian pada 2018 sudah mencapai 50 juta pergerakan per hari.
"Permasalahan sekarang adalah tingkat kemacetan semakin tinggi, sepeda motor makin dominan, angkutan umum makin menurun. Peran angkutan umum massal baru mencapai dua sampai tiga persen, KRL tiga sampai empat persen," katanya. Infrastruktur angkutan massal sangat terbatas, pengadaan bus dan KRL masih belum memenuhi perjalanan. Minimnya pendanaan angkutan umhm, khususnya di Kawasan Bodetabek," katanya.
Djoko menambahkan di Jabodetabek sudah tersedia jaringan KRL Jabodetabek dan Bus Transjakarta, pada 2012 baru enam koridor, sekarang sudah 80 koridor termasuk 13 jalur Transjakarta.
Kemudian, pada 2013, rata-rata 431.886 penumpang per hari, pada 2017 sudah meningkat rata-rata 993.992 penumpang per hari atau ada peningkatan 230 persen.
"Menambah kapasitas KRL sudah sulit dilakukan, karena hampir semua rangkaian sudah 19-12 kereta untuk setiap rangkaian. Menanbah frekuensi perjalanan, terhambat perlintasan sebidang dengan jalan raya," ujarnya.
Menurut dia, salah satunya memperpanjang jaringan pelayanan KRL hingga Cikarang, sekarang sudah dilakukan, tapi belum bisa maksimal, karena jalur dwi ganda belum selesai terbangun.
Di sisi lain, upaya untuk meningkatkan pengguna angkutan umum sesuai Rencana Induk Transportasi Jabodetabek 40 persen (2019) dan 60 persen (2039) dibangunlah LRT Jabodebek, LRT Jakarta dan MRT Jakarta.
"Upaya lain masih bisa dilakukan dengan memperpanjang layanan Bus Transjakarta hingga kawasan Bodetabek. Juga memberikan layanan angkutan umum yang tersedia di seluruh kawasan perumahan di Bodetabek," katanya.
Dia menambahkan layanan bus hingga seluruh kawasan perumahan bisa dioperasikan pada jam sibuk masuk hingga pusat Kota Jakarta,pada jam tidak sibuk cukup singgah di stasiun KRL terdekat.
"Kesalahan masa lalu, jika ada pengembang membangun kawasan perumahan tidak diwajibkan menyediakan rute sarana angkutan umum. Akibatnya penduduk daerah penyangga Jakarta, Bodetabek, rata rata terbesar membawa kendaraan pribadi yang sebagian besar melalui jalan tol," katanya.
Djoko mengatakan kalan non tol sudah tidak sanggup lagi menerima limpahan volume kendaraan yang begitu besar dan cepat tumbuh.
Program ganjil genap di akses gate tol adalah salah satu upaya untuk mengurangi kendaraan pribadi ke Jakarta dan mengalihkan penumpang dengan angkutan umum.
Penerapan ganjil genap tidak hanya di Bekasi tetapi dapat untuk semua akses pintu masuk tol di kawasan yang lain, Tangerang, Bogor dan Depok.
"Belajar dari kasus KRL Jabodetabek tahun 2013, ketika mulai ada pembenahan. Banyak pihak menolak, bahkan demo di beberapa stasiun. Namun dengan berjalannya waktu, pelayanan makin bagus, publik akhirnya banyak yg beralih menggunakan KRL. Target tercapai, kualitas layanan terus ditingkatkan. Kata kuncinya, komitmen yang kuat dari regulator untuk berupaya meningkatkan kuantitas dan kualitas angkutan umum," katanya.
Untuk itu, lanjut dia, revitalisasi angkutan umum di Kawasan Bodetabek mutlak harus segera dilakukan, supaya kemacetan di perkotaan bisa berkurang, udara makin nyaman, publik makin senang, lalu lintas makin lancar.
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018
Tags: