LSM tuntut pasal 104 RUU PKS dihapus
8 Maret 2018 23:47 WIB
Ilustrasi--Dua penyandang disabilitas menyanyikan lagu pada puncak peringatan Hari Disabilitas Internasional 2017 di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (27/12/2017). Pemprov Jatim menyelenggarakan Hari Disabilitas Internasional bersamaan dengan peringatan Hari Ibu ke-89 dan Hari Bela Negara ke-69. (ANTARA /Moch Asim)
Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Masyarakat Penyandang Disabilitas menuntut Panitia Kerja Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Komisi VIII DPR dan mitra pembahasan pemerintah untuk menghapus keseluruhan pasal 104 dari draf RUU PKS tersebut.
Pasal tersebut berisi tentang pemasangan kontrasepsi paksa pada penyandang disabilitas mental atas permintaan keluarga adalah untuk melindungi keberlangsungan kehidupan orang tersebut dan bukan merupakan tindak pidana.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia Yeni Rosa Damayanti di Jakarta, Kamis mengatakan, hal itu adalah tindakan menghilangkan hak seorang penyandang disabilitas untuk membuat keputusan atas tubuhnya sendiri.
"Praktik pemasangan alat kontrasepsi kepada disabilitas mental sering dilakukan secara paksa, keterbatasan kemampuan berkomunikasi para disabilitas mental menjadi alasan tindakan tersebut," kata dia.
Menurut dia pasal 104 pada Draf RUU PKS tersebut bersifat diskriminatif dan tidak menunjukkan adanya kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas. Pasal tersebut juga dianggap berpotensi menimbulkan dan melegalkan kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas.
"Pasal 104 Draf RUU PKS secara tegas membatasi bahkan menghilangkan hak korban kekerasan seksual disabilitas mental untuk mengambil keputusan atas dirinya," kata dia.
Secara yuridis, Pasal 104 RUU PKS bertentangan dengan ketentuan pasal 5 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa perempuan dengan disabilitas memiliki hak menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi.
Dia juga menganggap pilihan pemasangan alat kontrasepsi sebagai solusi dari upaya penghilangan kekerasan seksual juga keliru, hal itu justru memicu terjadinya kekerasan seksual berulang terhadap penyandang disabilitas dengan hilangnya risiko kehamilan pada korban.
Pasal tersebut berisi tentang pemasangan kontrasepsi paksa pada penyandang disabilitas mental atas permintaan keluarga adalah untuk melindungi keberlangsungan kehidupan orang tersebut dan bukan merupakan tindak pidana.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia Yeni Rosa Damayanti di Jakarta, Kamis mengatakan, hal itu adalah tindakan menghilangkan hak seorang penyandang disabilitas untuk membuat keputusan atas tubuhnya sendiri.
"Praktik pemasangan alat kontrasepsi kepada disabilitas mental sering dilakukan secara paksa, keterbatasan kemampuan berkomunikasi para disabilitas mental menjadi alasan tindakan tersebut," kata dia.
Menurut dia pasal 104 pada Draf RUU PKS tersebut bersifat diskriminatif dan tidak menunjukkan adanya kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas. Pasal tersebut juga dianggap berpotensi menimbulkan dan melegalkan kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas.
"Pasal 104 Draf RUU PKS secara tegas membatasi bahkan menghilangkan hak korban kekerasan seksual disabilitas mental untuk mengambil keputusan atas dirinya," kata dia.
Secara yuridis, Pasal 104 RUU PKS bertentangan dengan ketentuan pasal 5 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa perempuan dengan disabilitas memiliki hak menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi.
Dia juga menganggap pilihan pemasangan alat kontrasepsi sebagai solusi dari upaya penghilangan kekerasan seksual juga keliru, hal itu justru memicu terjadinya kekerasan seksual berulang terhadap penyandang disabilitas dengan hilangnya risiko kehamilan pada korban.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018
Tags: