Jakarta (ANTARA News) - Direktur Badan PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) Indonesia Sabine Machl menyatakan bahwa perjuangan pergerakan perempuan Indonesia tidak dipengaruhi gerakan feminisme Barat.

"Perempuan Indonesia sudah berjuang untuk kesetaraan gender sejak awal abad 20, jadi gerakan feminisme di negara ini bukan berasal dari Barat," kata Sabine dalam seminar memperingati Hari Perempuan Internasional di Jakarta, Kamis.

Dalam seminar yang diselenggarakan oleh UN Women bekerjasama dengan Kedutaan Besar Prancis di Indonesia itu, Sabine mencatat bahwa Kongres Perempuan Indonesia pertama yang diselenggarakan pada 1928 telah menegaskan sikap perempuan untuk mandiri dan menolak praktik poligami.

Kongres tersebut juga menunjukkan kepentingan perempuan untuk mewujudkan persatuan nasional demi mencapai kemerdekaan.

Pada 1965, perempuan Indonesia mulai secara proaktif berjuang untuk pemenuhan hak-hak perempuan dalam pendidikan, kemandirian ekonomi, dan posisi politis.

Di Indonesia, seperti di negara-negara lain di Asia, pergerakan perempuan pada saat itu mengangkat perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.

"Kemunculannya bersamaan dengan pergerakan nasional yang sebagian besar didominasi oleh kalangan muda yang mendambakan kemerdekaan," tutur Sabine.

Pada akhir era Soeharto, pergerakan perempuan Indonesia menyuarakan tentang kesetaraan gender. Dengan adanya kebebasan berekspresi, kelompok-kelompok perempuan mulai mengeksplorasi ide-ide baru dan menciptakan strategi untuk meningkatkan taraf hidup perempuan dan kesetaraan gender.

Dukungan terhadap kesetaraan gender mendapat momentum yang tepat setelah transisi politik pada 1998, dimana dua tahun sesudahnya pemerintah Indonesia memberlakukan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

"Ini artinya gender harus disertakan dalam perencanaan, rancangan, implementasi, dan evaluasi setiap kebijakan yang menyangkut kepentingan nasional," kata Sabine.

Perjuangan perempuan yang telah dimulai puluhan tahun lalu itu ternyata belum cukup untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak perempuan saat ini.

Perempuan Indonesia, menurut Sabine, terus menghadapi berbagai tantangan yang ditunjukkan dengan masih tingginya indeks kesenjangan gender, tingginya angka kematian ibu, dan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan yang turut ditunjang dengan 421 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan selama 2017.

"Masih rendahnya partisipasi perempuan dalam politik dan kesenjangan pendapatan antara perempuan dan laki-laki juga menjadi masalah lain yang perlu ditangani", Sabine menambahkan.

Dalam acara tersebut, Duta Besar Prancis untuk Indonesia Jean-Charles Berthonnet menjelaskan beberapa strategi yang dapat dijalankan untuk menangani isu-isu terkait perempuan yakni memastikan sistem hukum yang berpihak pada kesetaraan gender, menyediakan sistem pendidikan yang dapat membuat perempuan sadar akan hak-haknya, serta aktif bekerja untuk melawan persepsi sosial yang masih menempatkan perempuan di bawah laki-laki.

Berthonnet menyebut bahwa strategi tersebut bukanlah upaya untuk menanamkan sistem pembangunan negara-negara Barat untuk Indonesia, tetapi sebuah kerja sama untuk mencari jalan terbaik atas perlindungan hak-hak perempuan, dengan tetap menghormati tradisi dan budaya Indonesia.

"Kita harus selalu ingat bahwa promosi dan proteksi atas hak-hak perempuan adalah salah satu tolok ukur demokrasi," tutur dia.

Baca juga: Harapan perempuan disabilitas di Hari Perempuan Internasional 2018