Perempuan Mesir ubah limbah jadi "harta" dengan mendaur-ulang sampah
8 Maret 2018 08:00 WIB
ILUSTRASI. Seorang pelaku usaha kecil menengah menata hasil karya kerajinan daur ulang sampah plastik saat pameran "Gelar UMKM Salatiga 2015" di Lapangan Pancasila, Salatiga, Jawa Tengah, Jumat (4/9). Kementerian Koperasi dan UKM akan memangkas bunga kredit usaha rakyat (KUR) dari saat ini sebesar 12 persen menjadi 9 persen. Rencana penurunan bunga KUR ini akan direalisasikan pada tahun depan dengan mempertimbangka 56,7 juta UMKM diseluruh Indonesia harus berkembang tanpa bunga KUR tinggi. (ANTARA FOTO/ Aloysius Jarot Nugroho)
Kairo, Mesir (ANTARA News) - Pejalan kaki berusaha menghindari bau tak sedap dari berton-ton sampah yang menggunung di ujung daerah kumuh Manshiyat Naser di Kairo, tapi beberapa perempuan bekerja di sana untuk mengubah sampah menjadi produk cantik.
"Perempuan bisa mendapat air dari batu!" itu lah kata-kata yang keluar dari mulut Nagat, ibu empat anak yang telah bekerja selama 22 tahun di Bagian Kerajinan dari Kertas di Perhimpunan bagi Perlindungan Lingkungan Hidup (APE).
Departemennya menerima limbah kertas dari sekolah, universitas dan kedutaan besar untuk membuat kertas oleh-oleh, buku catatan dan kartu warna-warni, kata perempuan yang berusia 37 tahun kepada Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis pagi. Pada saat yang sama ia menghiasi satu kartu dengan bunga kering.
APE, yang bekerja dengan pengumpul sampah informal di Ibu Kota Mesir, Kairo, yang dikenal dengan naman "zabbaleen (pengumpul sampah)", memusatkan perhatian pada pengembangan pengolahan sampah dan teknik daur-ulang, yang pada gilirannya dapat membantu masyarata "zabbaleen" mendaur-ulang dan memanfaatkan kembali sampah dengan cara yang ramah lingkungan hidup.
Pada malam Hari Perempuan Internasional, peringatan tahunan yang jatuh pada 8 Maret, perempuan pekerja di APE terus membuat kemajuan dan memperkokoh hak mereka.
Nagat, yang bekerja lebih dari enam jam per hari, mengatakan gajinya memberi sumbangan buat biaya rumah tangga dan kesejahteraan serta pendidikan anak-anaknya.
Kairo adalah kota besar dengan 20 juta warga. Meskipun ukuran ibu kota Mesir itu sangat besar, pengumpul sampah informal tersebut dapat menangani sedikitnya 40 persen sampahnya.
Zabbaleen bukan semata-mata mengumpulkan dan membuang sampah, tapi mereka mendaur-ulang hampir 80 persen sampah itu dengan bantuan APE.
Jika pelancong berkeliling pabrik APE, mereka akan mendapati satuan lain yang menangani penganyaman tikar, pengolahan kain perca dan kaleng. Semua kegiatan tersebut menyediakan buat kaum perempuan ketrampilan, penghasilan dan, yang terpenting, rasa diberdayakan serta meningkatkan rasa percaya diri: perempuan bisa memproduksi barang yang cantik dan berkualitas tinggi.
"Saya sangat senang dan bangga ketika saya melihat perempuan dari semua tingkat mencintai perhiasan dan tas buatan saya," kata Sahar, yang juga bekerja di APE.
Senyum tak lepas dari wajahnya saat ia sibuk mendaur-ulang kaleng dan majalah tua untuk membuat gelang dan kalung cantik.
Perempuan pekerja yang berusia 28 tahun itu mengatakan ia berasal dari desa konservatif di Mesir Hulu, tempat perempuan biasanya tinggal di rumah, menikah dalam usia muda dan mengurus anak-anak.
"Tapi saya mau bekerja untuk melihat dunia dan membantu suami saya untuk memperoleh kondisi hidup yang lebih baik," katanya.
APE, yang didirikan pada penghujung 1980-an, mempekerjakan sebanyak 300 perempuan dan melatih mereka untuk membaca, menulis, melukis dan merancang barang sehari-hari yang bisa digunakan dan dipakai dari limbah pabrik.
Setiap hari sekitar fajar, puluhan ribu lelaki meninggalkan rumah mereka di daerah kumuh Manshiyat Naser untuk mengumpulkan berton-ton sampai dari seluruh ibu kota Mesir, sementara perempuan bertanggung-jawab dalam memilah sampah itu untuk didaur-ulang.
"Saya dulu sangat bosan bekerja untuk memilah kaleng, plastik dan limbah makanan. Itu adalah pekerjaan yang saya warisi dari ayah saya, yang bekerja sebagai pengumpul sampah," kata seorang perempuan yang berusia 55 tahun di pabrik tersebut. Ia tidak mau menyebutkan jati dirinya.
"Sekarang produk saya dipajang di mana-mana," kata wanita itu dengan bangga.
"Saya telah mendorong ratusan perempuan di lingkungan saya agar mengubah hidup mereka dengan bergabung dalam pelatihan di perhimpunan ini dalam merajut dan memperoleh pekerjaan yang lebih baik serta meningkatkan kondisi hidup mereka," tambah perempuan yang berusia setengah baya itu.
"Perempuan bisa mendapat air dari batu!" itu lah kata-kata yang keluar dari mulut Nagat, ibu empat anak yang telah bekerja selama 22 tahun di Bagian Kerajinan dari Kertas di Perhimpunan bagi Perlindungan Lingkungan Hidup (APE).
Departemennya menerima limbah kertas dari sekolah, universitas dan kedutaan besar untuk membuat kertas oleh-oleh, buku catatan dan kartu warna-warni, kata perempuan yang berusia 37 tahun kepada Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis pagi. Pada saat yang sama ia menghiasi satu kartu dengan bunga kering.
APE, yang bekerja dengan pengumpul sampah informal di Ibu Kota Mesir, Kairo, yang dikenal dengan naman "zabbaleen (pengumpul sampah)", memusatkan perhatian pada pengembangan pengolahan sampah dan teknik daur-ulang, yang pada gilirannya dapat membantu masyarata "zabbaleen" mendaur-ulang dan memanfaatkan kembali sampah dengan cara yang ramah lingkungan hidup.
Pada malam Hari Perempuan Internasional, peringatan tahunan yang jatuh pada 8 Maret, perempuan pekerja di APE terus membuat kemajuan dan memperkokoh hak mereka.
Nagat, yang bekerja lebih dari enam jam per hari, mengatakan gajinya memberi sumbangan buat biaya rumah tangga dan kesejahteraan serta pendidikan anak-anaknya.
Kairo adalah kota besar dengan 20 juta warga. Meskipun ukuran ibu kota Mesir itu sangat besar, pengumpul sampah informal tersebut dapat menangani sedikitnya 40 persen sampahnya.
Zabbaleen bukan semata-mata mengumpulkan dan membuang sampah, tapi mereka mendaur-ulang hampir 80 persen sampah itu dengan bantuan APE.
Jika pelancong berkeliling pabrik APE, mereka akan mendapati satuan lain yang menangani penganyaman tikar, pengolahan kain perca dan kaleng. Semua kegiatan tersebut menyediakan buat kaum perempuan ketrampilan, penghasilan dan, yang terpenting, rasa diberdayakan serta meningkatkan rasa percaya diri: perempuan bisa memproduksi barang yang cantik dan berkualitas tinggi.
"Saya sangat senang dan bangga ketika saya melihat perempuan dari semua tingkat mencintai perhiasan dan tas buatan saya," kata Sahar, yang juga bekerja di APE.
Senyum tak lepas dari wajahnya saat ia sibuk mendaur-ulang kaleng dan majalah tua untuk membuat gelang dan kalung cantik.
Perempuan pekerja yang berusia 28 tahun itu mengatakan ia berasal dari desa konservatif di Mesir Hulu, tempat perempuan biasanya tinggal di rumah, menikah dalam usia muda dan mengurus anak-anak.
"Tapi saya mau bekerja untuk melihat dunia dan membantu suami saya untuk memperoleh kondisi hidup yang lebih baik," katanya.
APE, yang didirikan pada penghujung 1980-an, mempekerjakan sebanyak 300 perempuan dan melatih mereka untuk membaca, menulis, melukis dan merancang barang sehari-hari yang bisa digunakan dan dipakai dari limbah pabrik.
Setiap hari sekitar fajar, puluhan ribu lelaki meninggalkan rumah mereka di daerah kumuh Manshiyat Naser untuk mengumpulkan berton-ton sampai dari seluruh ibu kota Mesir, sementara perempuan bertanggung-jawab dalam memilah sampah itu untuk didaur-ulang.
"Saya dulu sangat bosan bekerja untuk memilah kaleng, plastik dan limbah makanan. Itu adalah pekerjaan yang saya warisi dari ayah saya, yang bekerja sebagai pengumpul sampah," kata seorang perempuan yang berusia 55 tahun di pabrik tersebut. Ia tidak mau menyebutkan jati dirinya.
"Sekarang produk saya dipajang di mana-mana," kata wanita itu dengan bangga.
"Saya telah mendorong ratusan perempuan di lingkungan saya agar mengubah hidup mereka dengan bergabung dalam pelatihan di perhimpunan ini dalam merajut dan memperoleh pekerjaan yang lebih baik serta meningkatkan kondisi hidup mereka," tambah perempuan yang berusia setengah baya itu.
Pewarta: Chaidar Abdullah
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018
Tags: