Kapolda DIY: peristiwa penyerangan Gereja Santa Lidwina memprihatinkan
27 Februari 2018 22:58 WIB
Korban penyerangan di Gereja St. Lidwina, Romo Karl Edmund Prier (kanan), bertemu dengan Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Brigjen Pol Ahmad Dofiri (kiri) di Polda DIY, DI Yogyakarta, Rabu (21/2/2018). Dalam kunjungan itu Romo Prier mengucapkan terimakasih kepada pihak Polda DIY yang sigap menangani kasus peyerangan Gereja St. Lidwina. (ANTARA /Andreas Fitri Atmoko) ()
Kulon Progo (ANTARA News) - Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta Brigjen Polisi Ahmad Dofiri mengatakan peristiwa penyerangan Gereja Santa Lidwina Bedog, Sleman, pada 11 Februari 2018, merupakan peristiwa yang sangat memprihatinkan.
"Peristiwa tersebut mengundang keprihatinan bersama. Orang mengatakan DIY sebagai daerah intoleransi," kata Ahmad Dofiri dalam pertemuan dengan kiai dan ulama seluruh Kabupaten Kulon Progo, DIY, Selasa malam.
Ia mengakui data intoleransi memang ada. Namun sangat disayangkan ketika satu peristiwa selalu dikatakan sebagai tindakan intoleransi. Ia mencontohkan, ada orang membagikan kebutuhan pokok, warga menolak dikatakan intoleran. Sebelumnya, baliho UKDW Yogyakarta memasang orang berjilbab, kemudian ada ancaman pengerahan massa. DIY disebut intoleransi lagi.
"Data di Polda DIY memang ada. Peristiwa Gereja Lidwina juga dibilang DIY intoleransi. Kasihan masyarakat Yogyakarta. Pelakunya bukan orang DIY, melainkan Banyuwangi, Jawa Timur," katanya.
Menurut dia, DIY sebagai daerah istimewa, memiliki sebutan luar biasa, mulai kota perjuangan, kota pariwisata, kota pelajar, kota miniatur Indonesia, kota paling toleransi. Untuk itu, jangan terjebak dalam peristiwa-peristiwa yang belakangan muncul.
"Kalau ingin Yogyakarta betul-betul toleran, parameternya mudah. Beberapa kegiatan berskala nasional dan internasional diselenggarakan di DIY," katanya.
Ahmad Dofiri mengatakan DIY patut menjadi contoh wilayah yang sangat toleran. Kalau ada peristiwa seperti belakangan terjadi di DIY menyebabkan DIY disebut intoleransi, ia mengimbau masyarakat tidak terjebak dengan genderang skenario orang lain.
"Kita harus percaya diri bahwa DIY merupakan kota yang benar-benar toleran," harapnya.
"Peristiwa tersebut mengundang keprihatinan bersama. Orang mengatakan DIY sebagai daerah intoleransi," kata Ahmad Dofiri dalam pertemuan dengan kiai dan ulama seluruh Kabupaten Kulon Progo, DIY, Selasa malam.
Ia mengakui data intoleransi memang ada. Namun sangat disayangkan ketika satu peristiwa selalu dikatakan sebagai tindakan intoleransi. Ia mencontohkan, ada orang membagikan kebutuhan pokok, warga menolak dikatakan intoleran. Sebelumnya, baliho UKDW Yogyakarta memasang orang berjilbab, kemudian ada ancaman pengerahan massa. DIY disebut intoleransi lagi.
"Data di Polda DIY memang ada. Peristiwa Gereja Lidwina juga dibilang DIY intoleransi. Kasihan masyarakat Yogyakarta. Pelakunya bukan orang DIY, melainkan Banyuwangi, Jawa Timur," katanya.
Menurut dia, DIY sebagai daerah istimewa, memiliki sebutan luar biasa, mulai kota perjuangan, kota pariwisata, kota pelajar, kota miniatur Indonesia, kota paling toleransi. Untuk itu, jangan terjebak dalam peristiwa-peristiwa yang belakangan muncul.
"Kalau ingin Yogyakarta betul-betul toleran, parameternya mudah. Beberapa kegiatan berskala nasional dan internasional diselenggarakan di DIY," katanya.
Ahmad Dofiri mengatakan DIY patut menjadi contoh wilayah yang sangat toleran. Kalau ada peristiwa seperti belakangan terjadi di DIY menyebabkan DIY disebut intoleransi, ia mengimbau masyarakat tidak terjebak dengan genderang skenario orang lain.
"Kita harus percaya diri bahwa DIY merupakan kota yang benar-benar toleran," harapnya.
Pewarta: Sutarmi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: