Nelayan tradisional di Cilacap memasuki paceklik
26 Februari 2018 10:46 WIB
Nelayan berusaha menghidupkan mesin perahu tempel yang telah dipasang konverter kit hibird bantuan Kementerian ESDM di Desa Tritih Kulon, Cilacap Utara, Cilacap, Jateng, Kamis (19/10/2017). Sebanyak 2005 nelayan di Cilacap telah mendapatkan bantuan mesin kapal tempel hibird yang dapat menggunakan BBM maupun LPG, dan lebih irit dengan perbandingan satu tabung elpiji 3kg setara dengan penggunaan sembilan liter premium. (ANTARA FOTO/Idhda Zakaria)
Cilacap (ANTARA News) - Nelayan tradisional di pesisir selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, khususnya Pantai Teluk Penyu memasuki masa paceklik, kata Ketua Kelompok Nelayan "Pandanarang" Tarmuji.
"Biasanya, pada akhir bulan Februari atau awal Maret, kami memasuki masa paceklik atau `paila` karena ikan mulai sulit diperoleh. Kalaupun ada, hanyalah ikan-ikan untuk kebutuhan pembuatan ikan asin, enggak ada yang bisa untuk ekspor," katanya di Pantai Teluk Penyu, Cilacap, Senin.
Meskipun kondisi tersebut sudah berlangsung sejak dua pekan terakhir, dia mengatakan sejumlah nelayan tetap nekat melaut untuk mencari ikan.
Akan tetapi, kata dia, hasil yang diperoleh nelayan tidak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan untuk berangkat melaut.
Bahkan kadang kala, lanjut dia, dari 10 perahu yang berangkat melaut, hanya dua--tiga perahu yang pulang dengan membawa hasil tangkapan berupa ikan meskipun sangat sedikit.
"Padahal, biaya operasional yang dikeluarkan untuk melaut jarak dekat rata-rata sebesar Rp200.000 per perahu yang diawaki dua orang nelayan, sedangkan pendapatan kotor yang diperoleh hanya berkisar Rp100.000--Rp150.000 per perahu," katanya.
Oleh karena itu, kata Tarmuji, sebagian nelayan di Pantai Teluk Penyu lebih memilih untuk tidak melaut daripada pulang tanpa membawa hasil tangkapan berupa ikan.
Menurut dia, kondisi tersebut berdampak pada aktivitas di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) "Pandanarang" yang cenderung sepi karena tidak ada ikan hasil tangkapan nelayan yang bisa dilelang.
"Malahan banyak karyawan TPI yang tidak berangkat kerja karena sepi, enggak ada ikan. Sementara nelayan yang tidak melaut, kebanyakan mengisi kesibukan mereka dengan memperbaiki jaringnya yang rusak," katanya.
"Biasanya, pada akhir bulan Februari atau awal Maret, kami memasuki masa paceklik atau `paila` karena ikan mulai sulit diperoleh. Kalaupun ada, hanyalah ikan-ikan untuk kebutuhan pembuatan ikan asin, enggak ada yang bisa untuk ekspor," katanya di Pantai Teluk Penyu, Cilacap, Senin.
Meskipun kondisi tersebut sudah berlangsung sejak dua pekan terakhir, dia mengatakan sejumlah nelayan tetap nekat melaut untuk mencari ikan.
Akan tetapi, kata dia, hasil yang diperoleh nelayan tidak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan untuk berangkat melaut.
Bahkan kadang kala, lanjut dia, dari 10 perahu yang berangkat melaut, hanya dua--tiga perahu yang pulang dengan membawa hasil tangkapan berupa ikan meskipun sangat sedikit.
"Padahal, biaya operasional yang dikeluarkan untuk melaut jarak dekat rata-rata sebesar Rp200.000 per perahu yang diawaki dua orang nelayan, sedangkan pendapatan kotor yang diperoleh hanya berkisar Rp100.000--Rp150.000 per perahu," katanya.
Oleh karena itu, kata Tarmuji, sebagian nelayan di Pantai Teluk Penyu lebih memilih untuk tidak melaut daripada pulang tanpa membawa hasil tangkapan berupa ikan.
Menurut dia, kondisi tersebut berdampak pada aktivitas di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) "Pandanarang" yang cenderung sepi karena tidak ada ikan hasil tangkapan nelayan yang bisa dilelang.
"Malahan banyak karyawan TPI yang tidak berangkat kerja karena sepi, enggak ada ikan. Sementara nelayan yang tidak melaut, kebanyakan mengisi kesibukan mereka dengan memperbaiki jaringnya yang rusak," katanya.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018
Tags: