Pengamat: maraknya narkoba efek lamanya eksekusi mati
26 Februari 2018 09:04 WIB
Barang bukti narkotika jenis methamphetamine atau sabu-sabu saat konferensi pers pengungkapan kasus jaringan narkotika internasional di Kantor Badan Narkotika Nasional (BNN), Jakarta, Selasa (20/6/2018). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra, menilai maraknya narkoba masuk ke Indonesia, salah satunya karena eksekusi hukuman mati yang terlalu lama sehingga tidak ada kepastian hukum.
"Hukum di Indonesia dianggap oleh para pebisnis narkoba masih flexibility," katanya kepada Antara di Jakarta, Senin.
Ia menambahkan negara tidak boleh abai atas kasus ini. Negara harus hadir melihat kenyataan ancaman berbahaya bagi keselamatan bangsa ini. Di lain sisi kelemahan regulasi hukum dan penegakan hukum di Indonesia terhadap para pengedar atau produsen narkoba ini belum maksimal dan efektif.
Ia mengatakan, saatnya hukuman maksimal berupa hukuman mati dan merampas kekayaannya diterapkan tanpa tawar.
Pemerintah dan penegak hukum harus tegas agar warga negara Indonesia terlindungi dari jahatnya para pebisnis narkoba. Ia mengatakan narkoba merupakan wujud penjajahan gaya baru untuk Indonesia dengan merusak mental manusia Indonesia.
Selanjutnya Azmi meminta menangguhkan RKUHP mengenai klausul yang memberikan dispensasi bagi terpidana mati.
Dimana dalam RKUHP terpidana mati yang sudah menjalani hukuman 10 tahun dan berkelakuan baik, pidana mati dapat diubah menjadi hukuman 20 tahun.
"Ini menjadi celah bahaya. Indonesia akan jadi ladang bisnis segar bagi para pebisnis narkoba dengan ancaman hukuman seperti RKUHP ini. Pemerintah harus tegas, kalau tidak Indonesia akan hancur dan generasi mudanya akan lemah," paparnya.
Ia juga menyebutkan semakin gencarnya serangan narkoba ke Indonesia terbukti dengan semakin canggihnya modus untuk memasukkan zat yang berbahaya yang menganggu keberlangsungan bangsa ke depan.
Indonesia harus dinyatakan darurat narkoba dan seluruh elemen pemerintah harus mengambil langkah cepat, tegas terarah dan konkrit.
"Maka eksekusi mati harus dijalankan tidak boleh ditunda lagi karena faktanya bisnis narkoba ini banyak dijalankan dari dalam LP atau rutan oleh orang-orang yang berstatus narapidana. Posisi mereka sebagai narapidana ini dimanfaatkan oleh mafia pebisnis narkoba," katanya.
Sebelumnya, Polri bersama Bea Cukai mengungkap kapal Taiwan berbendera Singapura yang menyelundupkan 1,8 ton narkotika jenis sabu di perairan Batam, Kepulauan Riau.
Empat tersangka yang merupakan anak buah kapal (ABK) dan nakhoda ditangkap dalam kasus tersebut. Mereka adalah Tan Mai (69), Tan Yi (33), Tan Hui (43, nakhoda) dan Liu Yin Hua (63) yang merupakan WN Taiwan.
Kemudian, Anggota Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Mabes Polri memeriksa Kapal "Win Long" yang diduga mengangkut sabu di Dermaga Kantor Wilayah Bea Cukai Kepulauan Riau.
Baca juga: Polisi buru pengendali 1,6 ton "shabu-shabu"
Baca juga: Aparat gabungan lanjutkan pemeriksaan kapal diduga bawa narkoba
"Hukum di Indonesia dianggap oleh para pebisnis narkoba masih flexibility," katanya kepada Antara di Jakarta, Senin.
Ia menambahkan negara tidak boleh abai atas kasus ini. Negara harus hadir melihat kenyataan ancaman berbahaya bagi keselamatan bangsa ini. Di lain sisi kelemahan regulasi hukum dan penegakan hukum di Indonesia terhadap para pengedar atau produsen narkoba ini belum maksimal dan efektif.
Ia mengatakan, saatnya hukuman maksimal berupa hukuman mati dan merampas kekayaannya diterapkan tanpa tawar.
Pemerintah dan penegak hukum harus tegas agar warga negara Indonesia terlindungi dari jahatnya para pebisnis narkoba. Ia mengatakan narkoba merupakan wujud penjajahan gaya baru untuk Indonesia dengan merusak mental manusia Indonesia.
Selanjutnya Azmi meminta menangguhkan RKUHP mengenai klausul yang memberikan dispensasi bagi terpidana mati.
Dimana dalam RKUHP terpidana mati yang sudah menjalani hukuman 10 tahun dan berkelakuan baik, pidana mati dapat diubah menjadi hukuman 20 tahun.
"Ini menjadi celah bahaya. Indonesia akan jadi ladang bisnis segar bagi para pebisnis narkoba dengan ancaman hukuman seperti RKUHP ini. Pemerintah harus tegas, kalau tidak Indonesia akan hancur dan generasi mudanya akan lemah," paparnya.
Ia juga menyebutkan semakin gencarnya serangan narkoba ke Indonesia terbukti dengan semakin canggihnya modus untuk memasukkan zat yang berbahaya yang menganggu keberlangsungan bangsa ke depan.
Indonesia harus dinyatakan darurat narkoba dan seluruh elemen pemerintah harus mengambil langkah cepat, tegas terarah dan konkrit.
"Maka eksekusi mati harus dijalankan tidak boleh ditunda lagi karena faktanya bisnis narkoba ini banyak dijalankan dari dalam LP atau rutan oleh orang-orang yang berstatus narapidana. Posisi mereka sebagai narapidana ini dimanfaatkan oleh mafia pebisnis narkoba," katanya.
Sebelumnya, Polri bersama Bea Cukai mengungkap kapal Taiwan berbendera Singapura yang menyelundupkan 1,8 ton narkotika jenis sabu di perairan Batam, Kepulauan Riau.
Empat tersangka yang merupakan anak buah kapal (ABK) dan nakhoda ditangkap dalam kasus tersebut. Mereka adalah Tan Mai (69), Tan Yi (33), Tan Hui (43, nakhoda) dan Liu Yin Hua (63) yang merupakan WN Taiwan.
Kemudian, Anggota Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Mabes Polri memeriksa Kapal "Win Long" yang diduga mengangkut sabu di Dermaga Kantor Wilayah Bea Cukai Kepulauan Riau.
Baca juga: Polisi buru pengendali 1,6 ton "shabu-shabu"
Baca juga: Aparat gabungan lanjutkan pemeriksaan kapal diduga bawa narkoba
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018
Tags: