“Kami mohon kepada Kak Jokowi selaku Ketua Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka untuk melerai konflik yang terjadi sejak dua tahun terakhir ini,” ujar Djatmiko Rasmin, anggota pramuka dari Kwartir Daerah DKI Jakarta dan salah seorang koordinator Derap Pramuka.
Ia menilai konflik berkepanjangan di antara sosok Menpora dan Kakwarnas telah merusak marwah pramuka dan tidak mendidik bagi adik-adik penggalang, penegak dan pandega.
Contohnya, Kwartir Nasional menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional Gerakan Pramuka di Hotel Royal Safari Garden, Cisarua, Bogor pada 23-25 Februari 2018, tidak mengundang Menpora Imam Nahrawi sebagai nara sumber, padahal Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) adalah kuasa pengguna APBN.
Kakwarnas malahan mengundang Menteri Sosial Idrus Marham dalam acara itu, dan Adhyaksa Dault mengungkapkan kekecewaannya dengan kebijakan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi yang memberikan dana ke kwartir daerah pramuka, bukannya ke kwartir nasional.
Menurut Adhyaksa Dault kepada wartawan, kwartir daerah memiliki pembina, yaitu Gubernur selaku ketua Majelis Pembimbing Daerah Gerakan Pramuka.
Adhyaksa Dault menjelaskan kalau Menpora Imam Nahrawi tidak suka atau benci dengan dirinya jangan organisasi pramuka yang disikat atau menjadi korban.
Ia pun menjelaskan telah mengirim surat ke Presiden Jokowi selaku Ketua Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka, antara lain menjelaskan selaku Kakwarnas tidak lagi ingin berada di bawah Kemenpora, tapi di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) karena rata-rata pembina di tubuh pramuka merupakan seorang guru dari Dinas Pendidikan.
Djatmiko Rasmin menyayangkan sikap Adhyaksa Dault yang membawa konflik dengan Menpora Imam Nahrawi itu ke ranah pribadi.
“Sejak dibentuk pada tahun 1961, tidak ada masalah antara Gerakan Pramuka dengan pemerintah. Kami bekerja sama membina adik-adik pramuka menjadi kader bangsa. Kenapa di era kepemimpinan Kak Adhyaksa Dault malah timbul konflik,” ujar Djatmiko, Ketua Dewan Kerja Pramuka Penegak dan Pandega (DKD) DKI Jakarta periode 1983-1988.
Menurut dia, pemerintah memang memiliki kewajiban membantu organisasi Gerakan Pramuka (GP) mencapai tujuannya yakni membentuk karakter generasi muda. Seharusnya, GP membangun kemandirian setelah pemerintah memberikan fasilitas tanah, bumi perkemahan, gedung dan dana APBN/APBD.
“Selama ini kita lupa menarik iuran anggota, padahal iuran ini memiliki fungsi pendidikan,” kata Djatmiko,yang sehari-harinya sebagai fotografer profesional.
Sementara itu, Ghulam Manar menilai argumen Adhyaksa Dault agar Gerakan Pramuka (GP) di bawah Kemdikbud adalah kesalahan besar.
“Karena membawa GP ke ranah pendidikan formal, walaupun kita tahu karakteristik GP bukan untuk itu,” ujar mantan anggota DKD Gerakan Pramuka Jawa Tengah itu.
Selain itu, ia menilai, ada kekhawatiran nantinya akan memformalkan pendidikan kepramukaan.
Padahal, katanya, banyak juga pelajar yang tidak bersekolah mengikuti Gerakan Pramuka melalui gugus depan wilayah atau teritorial, dan gugus depan (gudep) mereka tidak berpangkalan di sekolah.
Dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang menyayangkan persoalan anggaran menjadi pokok keributan.
“Mengapa hanya mementingkan soal duit. Rasanya kok kurang elok,” kata pegiat di Derap Pramuka itu.
Persoalan pertanggungjawaban dana APBN yang selama ini diterima Kwartir Nasional, dipersoalkan Alfian Amura, pegiat Derap Pramuka lainnya.
Ia menilai tugas dan hasil Lembaga Pemeriksa Keuangan Kwartir tidak jelas. Lembaga ini dibentuk pada saat musyawarah kwartir dan statusnya tidak berada di bawah ketua kwartir.
“Dari pengamatan saya, selama lima Rakernas Pramuka terakhir, tidak pernah disampaikan laporan keuangan. Lalu dari mana anggota Gerakan Pramuka tahu berapa jumlah dana yang diterima dan dikeluarkan oleh Kwarnas,” ujar mantan Dewan Kerja Nasional (DKN) Gerakan Pramuka tahun 1980-an itu.
Dia menilai mungkin karena faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab Menpora mengambil kebijakan terhadap pemberian dana kepada Kwarnas Gerakan Pramuka.
Alfian berpendapat kondisi Gerakan Pramuka di pusat dan daerah saat ini makin kental warna politiknya. Banyak pejabat, politisi dan tokoh di pusat dan daerah yang berlomba-lomba menjadi ketua kwartir.
Hal itu tidak lepas dari besarnya jumlah anggota pramuka yang oleh Kwarnas diklaim sekitar 20 juta. Selain itu, sosok ketua Kwarnas dipersepsikan sejajar dengan menteri atau ketua Kwartir Daerah sejajar dengan pejabat daerah.
“Politisasi Gerakan Pramuka yang makin kental saat ini akarnya berasal dari model pemilihan ketua kwartir, dari formatur di masa Orde Baru menjadi pemilihan langsung di era Reformasi,” ujar Alfian.
Menurut dia, model pemilihan langsung memunculkan politik dagang sapi. Musyawarah kwartir tiap akhir periode disibukkan oleh rebutan menjadi ketua, melupakan evaluasi program dan merencanakan rencana strategis ke masa depan.
“Pemilihan langsung juga memberi kesempatan permainan politik praktis masuk ke dalam tubuh GP,” kata Alfian, Wakil Ketua Kwartir Cabang (Kwarcab) Pramuka Jakarta Pusat.
Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka rencananya akan dilakukan pada November 2018 di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Selain Adhyaksa Dault yang kabarnya ingin maju kembali, sejumlah tokoh di luar Gerakan Pramuka digadang-gadang menjadi calon, antara lain Imam Nahrawi, Mahfud MD, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Chairul Tanjung.
Sementara itu, dari internal Gerakan Pramuka, sosok yang kabarnya berminat antara lain nama Dede Yusuf (Ketua Kwarda Pramuka Jawa Barat), Syahrul Yasin Limpo (Ketua Kwarda Pramuka Sulawesi Selatan) dan Sylviana Murni (Ketua Kwarda Pramuka DKI Jakarta).