Jakarta (ANTARA News) - Seluruh fraksi dalam Komisi XI DPR, kecuali Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS) yang meminta penundaan pembahasan, menyepakati Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) untuk dibahas pada tingkat panitia kerja (panja). "FPDS meminta agar RUU tentang Perbankan Syariah dapat diselesaikan lebih dahulu sebelum memasuki pembahasan RUU tentang SBSN, supaya masyarakat mendapatkan kepastian hukum bertransaksi melalui perbankan syariah, yang pengawasannya juga melalui Bank Indonesia (BI)," kata juru bicara FPDS, Retna Situmorang, dalam rapat kerja Komisi XI dengan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, di Jakarta, Rabu. Selain itu, Retna mengatakan, FPDS meminta agar pemerintah menyiapkan dan memenuhi naskah akademik yang menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari draft RUU tersebut. "Komparasi dengan negara lain yang telah menerbitkan surat berharga syariah ini belum cukup jika belum tertuang dalam sebuah naskah akademik," ujarnya. Sementara itu, Fraksi PAN mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam menggunakan barang milik negara (BMN) sebagai "underlying asset" penerbitan SBSN mengingat BMN tidak dapat dipindah tangankan sewaktu-waktu tanpa persetujuan DPR jika bernilai di atas Rp100 miliar. "Hal yang juga menjadi perhatian dalam pembahasan adalah perlunya jawaban atas pertanyaan bagaimana `setting` kelembagaan yang paling paling optimal dari `Special Purpose Vehicle` (SPV), apakah berbentuk BUMN, ataukah berbentuk PT, atau bentuk lainnya," kata juru bicara FPAN, Dradjad Wibowo. Menurut FPAN, jika berbentuk BUMN, maka lembaga ini harus tunduk pada UU No. 19/2003 tentang BUMN yang menetapkan BUMN diatur oleh menteri. Sesuai dengan UU 15/2006 tentang BPK, maka SPV yang mengelola SBSN (keuangan negara) bisa dianggap sebagai objek pemeriksaan BPK. "Sebagaimana terjadi pada pengelolaan utang dan piutang BUMN, kondisi di atas bisa menimbulkan berbagai hambatan dalam pengelolaan dan kinerja SPV. Oleh sebab itu dalam pembahasan RUU SBSN perlu dirumuskan `setting` kelembagaan SPV yang tidak terlalu banyak menimbulkan area abu-abu (`grey area`) seperti yang terjadi pada BUMN selama ini," kata Dradjad. Demikian juga dengan perpajakan atas transaksi syariah, FPAN berpendapat, pembahasan RUU SBSN harus dilakukan secara berhati-hati dan mendalam agar SBSN dapat diterbitkan tanpa "double taxation" bagi para investor. Dukungan FPAN diberikan, kata Dradjad, mengingat SBSN dapat dijadikan sebagai sumber pembiayaan, menggantikan utang dari lembaga donor asing, dan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara tujuan investasi. Sedangkan Fraksi PDIP meminta agar RUU SBSN dapat mengarahkan penerbitan dna pengelolaan SBSN tidak semata-mata pro-pasar, namun juga mendorong keikutsertaan rakyat dalam transaksi SBSN, seperti halnya Obligasi Ritel Rebuplik Indonesia (ORI). "Ini berarti transaksi SBSN jangan hanya terkonsentrasi pada pemodal besar, tetapi harus menyebar pada pemodal kecil sehingga tercipta azaz keadilan dan pemerataan," kata juru bicara F-PDIP I.S. Agung Rai Wirajaya. (*)