Dedi Mulyadi dicegat Semar di Karawang
23 Februari 2018 23:26 WIB
Arsip: Bakal calon Wakil Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tiba di RS Hasan Sadikin untuk jalani pemeriksaan kesehatan di Bandung, Jawa Barat, Kamis (11/1/2018). Empat pasang calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat akan mengikuti serangkaian pemeriksaan sebagai syarat pencalonan. (ANTARA /M Agung Rajasa) ()
Karawang (ANTARA News) - Calon Wakil Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dicegat atau dihentikan Semar, seorang kepala dusun di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, saat akan mengunjungi salah satu daerah di Karawang, Jumat.
Semar yang merupakan Kepala Dusun Babakan, Desa Gembongan, Kecamatan Banyusari, Karawang mencegat Dedi karena ingin membawanya untuk menemui salah seorang warganya yang mengalami depresi.
Tacim (19) yang menjadi satu-satunya tulang punggung keluarganya mengalami depresi sejak usia remaja.
"Saya terima kabar. Katanya, ada kang Dedi Mulyadi, lalu buru-buru saya cek, ternyata benar. Tadi langsung saja saya bawa menemui Tacim. Saya minta doa atau solusi dari kang Dedi untuk Tacim," kata Semar.
Ia mengatakan, depresi pemuda yang hanya mengenyam pendidikan sampai Kelas VIII SMP ini terjadi secara tiba-tiba. Perubahan drastis dirinya terjadi sejak sekitar sebulan lalu. Dia sering mendapati Tacim sedang melamun sendirian.
"Ini masuk dua bulanan, dia sering melamun. Kalau lihat kucing, dia lari ke atas pohon. Saat saya tanya, dia hanya bilang takut adiknya tidak bisa sekolah, takut keluarganya tidak bisa makan. Soalnya, bapaknya memang sudah tua," katanya.
Sebagai kepala dusun, Semar berinisiatif menggalang dana bantuan dari warga untuk pengobatan Tacim. Namun karena dana tidak terkumpul banyak, terpaksa pihak keluarga menjual kambing milik Tacim untuk biaya berobat.
"Sudah tiga kali dibawa ke dokter jiwa sampai jual domba, sempat udunan (patungan) warga tapi belum cukup juga," katanya.
Mendengar cerita Semar, Dedi Mulyadi kemudian minta dipertemukan dengan keluarga Tacim. Tenyata, pihak keluarga pun tidak terlalu mengetahui kondisi Tacim yang sebenarnya.
"Tidak tahu, cuma bilangnya takut si enok (adiknya) tidak bisa sekolah, itu saja," ungkap ibunya Tacim, Ny Erni (48).
Setelah itu, Dedi Mulyadi meminta satu per satu keluarganya untuk memeluk Tacim. Dekapan dari adik, Khafifah dan ibunya diyakini Dedi dapat meringankan beban psikologis yang diderita oleh Tacim.
Menurut Dedi, kasus Tacim bukanlah kasus tunggal di Jawa Barat. Apalagi, beban sebagai tulang punggung keluarga menjadikan kondisi psikologis orang sepertinya kian berat.
"Bandingkan dengan anak seusianya yang lain. Umur segitu sudah menjadi tulang punggung keluarga, jadi depresi dan stres. Kasus ini banyak terjadi di Jawa Barat," ujarnya.
Atas hal itu, ia menilai perlu dibangun rumah sakit jiwa di setiap eks karesidenan di Jawa Barat dalam menanggulangi kasus tersebut.
Semar yang merupakan Kepala Dusun Babakan, Desa Gembongan, Kecamatan Banyusari, Karawang mencegat Dedi karena ingin membawanya untuk menemui salah seorang warganya yang mengalami depresi.
Tacim (19) yang menjadi satu-satunya tulang punggung keluarganya mengalami depresi sejak usia remaja.
"Saya terima kabar. Katanya, ada kang Dedi Mulyadi, lalu buru-buru saya cek, ternyata benar. Tadi langsung saja saya bawa menemui Tacim. Saya minta doa atau solusi dari kang Dedi untuk Tacim," kata Semar.
Ia mengatakan, depresi pemuda yang hanya mengenyam pendidikan sampai Kelas VIII SMP ini terjadi secara tiba-tiba. Perubahan drastis dirinya terjadi sejak sekitar sebulan lalu. Dia sering mendapati Tacim sedang melamun sendirian.
"Ini masuk dua bulanan, dia sering melamun. Kalau lihat kucing, dia lari ke atas pohon. Saat saya tanya, dia hanya bilang takut adiknya tidak bisa sekolah, takut keluarganya tidak bisa makan. Soalnya, bapaknya memang sudah tua," katanya.
Sebagai kepala dusun, Semar berinisiatif menggalang dana bantuan dari warga untuk pengobatan Tacim. Namun karena dana tidak terkumpul banyak, terpaksa pihak keluarga menjual kambing milik Tacim untuk biaya berobat.
"Sudah tiga kali dibawa ke dokter jiwa sampai jual domba, sempat udunan (patungan) warga tapi belum cukup juga," katanya.
Mendengar cerita Semar, Dedi Mulyadi kemudian minta dipertemukan dengan keluarga Tacim. Tenyata, pihak keluarga pun tidak terlalu mengetahui kondisi Tacim yang sebenarnya.
"Tidak tahu, cuma bilangnya takut si enok (adiknya) tidak bisa sekolah, itu saja," ungkap ibunya Tacim, Ny Erni (48).
Setelah itu, Dedi Mulyadi meminta satu per satu keluarganya untuk memeluk Tacim. Dekapan dari adik, Khafifah dan ibunya diyakini Dedi dapat meringankan beban psikologis yang diderita oleh Tacim.
Menurut Dedi, kasus Tacim bukanlah kasus tunggal di Jawa Barat. Apalagi, beban sebagai tulang punggung keluarga menjadikan kondisi psikologis orang sepertinya kian berat.
"Bandingkan dengan anak seusianya yang lain. Umur segitu sudah menjadi tulang punggung keluarga, jadi depresi dan stres. Kasus ini banyak terjadi di Jawa Barat," ujarnya.
Atas hal itu, ia menilai perlu dibangun rumah sakit jiwa di setiap eks karesidenan di Jawa Barat dalam menanggulangi kasus tersebut.
Pewarta: M.Ali Khumaini
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018
Tags: