Penghimpunan dana perkebunan harus dicabut
22 Februari 2018 21:56 WIB
Arsip: Pekerja merontokkan buah kelapa sawit dari tandannya di Desa Sido Mulyo, Aceh Utara, Aceh, Kamis (26/10/2017). (ANTARA FOTO/Rahmad)
Jakarta (ANTARA News) - Sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan menegaskan Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan harus dicabut karena telah membebani petani.
"Jelas merugikan petani dengan adanya PP Nomor 24/2015 itu," kata Maryo Saputra, Desk Kampanye Sawit Watch di Jakarta, Kamis.
Sawit Watch sendiri memandang keberadaan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) kelapa sawit itu hanya menguntungkan beberapa pihak saja dan tindak menguntungkan terutama bagi petani.
Pasalnya, kata dia, pengumpulan dana itu tidak bisa juga dipungkiri sebagian besar ada dana petani yang masuk ke situ. "Tapi persoalannya itu lebih banyak pengumpulan dana itu untuk dimasukkan ke biofuel," katanya.
"Dikatakan, untuk petani sendiri dari dana itu hanya sekitar 10 persen yang selanjutnya mesti dibagi kembali. "Nah sedangkan posisi sekarang banyak petani yang akan replanting. Persoalan-persoalan replanting itu sampai sekarang berat sekali untuk petani," katanya.
Karena itu, kata dia, salah satu usulan dari pihaknya adalah bagaimana ketika dana itu bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi petani yang melakukan replanting. Artinya tidak lagi untuk perusahaan-perusahaan besar saja yang mendapatkan hasil yang luar biasa dari penghimpunan dana itu.
Sedangkan untuk petani sendiri yang katanya pemerintah mengklaim sekitar ada 40 persen lebih, tidak mendapatkan manfaat, katanya.
Sementara itu, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) telah mengajukan uji materi atas Keberlakuan Pasal 9 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan pada awal Februari 2018.
"Merupakan waktu yang tepat bagi petani sawit di Indonesia untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan karena Peraturan Pemerintah tentang Penghimpunan Dana Perkebunan ini memberikan ruang bagi penyalahgunaan dana tersebut untuk subsidi biodiesel dan bukan untuk mendukung pengembangan petani sawit Indonesia yang tertinggal dalam banyak hal: SDM, pendanaan, dan teknologi," kata Kepala Departemen Advokasi SPKS, Marselinus Andri.
Sebelumnya, Greenpeace Indonesia menilai pengelolaan dana sawit untuk sejumlah perusahaan industri bahan bakar nabati (biofuel) tidak tepat sasaran, sehingga pengelolaan dana sawit bisa dialihkan untuk penelitian dalam rangka peningkatan produksi sawit.
"Dana tersebut seharusnya fokus digunakan untuk penelitian, pengembangan dan peremajaan supaya bisa meningkatkan kualitas dan kapasitas perkebunan sawit yang sudah ada," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Asep Komarudin.
"Jelas merugikan petani dengan adanya PP Nomor 24/2015 itu," kata Maryo Saputra, Desk Kampanye Sawit Watch di Jakarta, Kamis.
Sawit Watch sendiri memandang keberadaan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) kelapa sawit itu hanya menguntungkan beberapa pihak saja dan tindak menguntungkan terutama bagi petani.
Pasalnya, kata dia, pengumpulan dana itu tidak bisa juga dipungkiri sebagian besar ada dana petani yang masuk ke situ. "Tapi persoalannya itu lebih banyak pengumpulan dana itu untuk dimasukkan ke biofuel," katanya.
"Dikatakan, untuk petani sendiri dari dana itu hanya sekitar 10 persen yang selanjutnya mesti dibagi kembali. "Nah sedangkan posisi sekarang banyak petani yang akan replanting. Persoalan-persoalan replanting itu sampai sekarang berat sekali untuk petani," katanya.
Karena itu, kata dia, salah satu usulan dari pihaknya adalah bagaimana ketika dana itu bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi petani yang melakukan replanting. Artinya tidak lagi untuk perusahaan-perusahaan besar saja yang mendapatkan hasil yang luar biasa dari penghimpunan dana itu.
Sedangkan untuk petani sendiri yang katanya pemerintah mengklaim sekitar ada 40 persen lebih, tidak mendapatkan manfaat, katanya.
Sementara itu, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) telah mengajukan uji materi atas Keberlakuan Pasal 9 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan pada awal Februari 2018.
"Merupakan waktu yang tepat bagi petani sawit di Indonesia untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan karena Peraturan Pemerintah tentang Penghimpunan Dana Perkebunan ini memberikan ruang bagi penyalahgunaan dana tersebut untuk subsidi biodiesel dan bukan untuk mendukung pengembangan petani sawit Indonesia yang tertinggal dalam banyak hal: SDM, pendanaan, dan teknologi," kata Kepala Departemen Advokasi SPKS, Marselinus Andri.
Sebelumnya, Greenpeace Indonesia menilai pengelolaan dana sawit untuk sejumlah perusahaan industri bahan bakar nabati (biofuel) tidak tepat sasaran, sehingga pengelolaan dana sawit bisa dialihkan untuk penelitian dalam rangka peningkatan produksi sawit.
"Dana tersebut seharusnya fokus digunakan untuk penelitian, pengembangan dan peremajaan supaya bisa meningkatkan kualitas dan kapasitas perkebunan sawit yang sudah ada," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Asep Komarudin.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018
Tags: