KIPP: UU MD3 kekang kebebasan berekspresi
22 Februari 2018 19:10 WIB
Dokumentasi Ketua DPR Bambang Soesatyo (tengah) melihat buku yang diluncurkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon (kiri) disaksikan Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat Gede Narayana Sunarkha (kanan) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/2/2018). Buku berjudul Berpihak Pada Rakyat tersebut merupakan catatan kinerja DPR dari 1 Oktober 2014 - 30 September 2017. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto) ()
Jakarta (ANTARA News) - Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menilai revisi Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) merupakan bentuk pengekangan terhadap prinsip kebebasan berekspresi dan berpendapat, kata Wakil Sekjen KIPP Girindra Sandino di Jakarta, Kamis.
"Setiap dari kita itu lahir dalam kebebasan berteriak, menangis dan beraktivitas. Kebebasan berpendapat dan menyuarakan pemikiran adalah bukti bahwa rakyat Indonesia memang cerdas dan haus akan pengetahuan," kata Girindra.
Dengan disahkannya revisi UU MD3, yang salah satu pasalnya mengatur tentang upaya penindakan hukum terhadap perilaku yang dianggap merendahkan kehormatan anggota DPR, maka prinsip kebebasan berekspresi di Tanah Air mulai dibatasi.
"Secara sadar, revisi UU MD3 merupakan wujud dari pengekangan dengan perangkat pemusnah kebebasan bersuara, yang menandakan kita telah masuk dalam genggaman penghancuran Pancasila," tambahnya.
Sebelumnya, dalam rapat paripurna DPR pekan lalu menyepakati perubahan kedua UU MD3 dengan beberapa perubahan, antara lain penambahan jumlah pimpinan, mekanisme pemanggilan paksa terhadap pejabat negara dengan melibatkan aparat kepolisian, serta terkait langkah hukum terhadap orang yang dianggap merendahkan martabat DPR.
Presiden Joko Widodo belum menandatangani draf revisi tersebut menjadi UU, meskipun DPR telah mengesahkan. Presiden mengaku masih ingin mengkaji pasal-pasal yang dinilai kontroversial tersebut.
"Memang sudah di meja saya, dan belum saya tandatangani. Sampai saat ini belum saya tandatangani karena saya ingin agar ada kajian-kajian apakah perlu tanda tangan atau tidak," kata Jokowi.
Menurut Presiden, kajian itu diperlukan sebagai respon atas sejumlah keresahan yang terjadi di masyarakat terkait UU MD3 tersebut.
Presiden juga mempersilakan masyarakat yang tidak setuju atas peraturan tersebut untuk melakukan tindakan sesuai dengan jalan hukum yang berlaku melalui uji materi atau "judicial review" melalui Mahkamah Konstitusi.
"Setiap dari kita itu lahir dalam kebebasan berteriak, menangis dan beraktivitas. Kebebasan berpendapat dan menyuarakan pemikiran adalah bukti bahwa rakyat Indonesia memang cerdas dan haus akan pengetahuan," kata Girindra.
Dengan disahkannya revisi UU MD3, yang salah satu pasalnya mengatur tentang upaya penindakan hukum terhadap perilaku yang dianggap merendahkan kehormatan anggota DPR, maka prinsip kebebasan berekspresi di Tanah Air mulai dibatasi.
"Secara sadar, revisi UU MD3 merupakan wujud dari pengekangan dengan perangkat pemusnah kebebasan bersuara, yang menandakan kita telah masuk dalam genggaman penghancuran Pancasila," tambahnya.
Sebelumnya, dalam rapat paripurna DPR pekan lalu menyepakati perubahan kedua UU MD3 dengan beberapa perubahan, antara lain penambahan jumlah pimpinan, mekanisme pemanggilan paksa terhadap pejabat negara dengan melibatkan aparat kepolisian, serta terkait langkah hukum terhadap orang yang dianggap merendahkan martabat DPR.
Presiden Joko Widodo belum menandatangani draf revisi tersebut menjadi UU, meskipun DPR telah mengesahkan. Presiden mengaku masih ingin mengkaji pasal-pasal yang dinilai kontroversial tersebut.
"Memang sudah di meja saya, dan belum saya tandatangani. Sampai saat ini belum saya tandatangani karena saya ingin agar ada kajian-kajian apakah perlu tanda tangan atau tidak," kata Jokowi.
Menurut Presiden, kajian itu diperlukan sebagai respon atas sejumlah keresahan yang terjadi di masyarakat terkait UU MD3 tersebut.
Presiden juga mempersilakan masyarakat yang tidak setuju atas peraturan tersebut untuk melakukan tindakan sesuai dengan jalan hukum yang berlaku melalui uji materi atau "judicial review" melalui Mahkamah Konstitusi.
Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: