Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo tidak akan menandatangani revisi Undang-Undang No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang sudah disetujui pengesahannya menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada 12 Februari 2018.
"Jadi Presiden cukup kaget juga makanya saya jelaskan, masih menganalisis, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak akan menandatangani (UU MD3)," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Selasa.
DPR dalam rapat paripurna DPR pada Senin (12/2) sepakat menyetujui pengesahan perubahan ke-2 UU MD3, yang antara lain mencakup penambahan jumlah pimpinan yaitu tiga di MPR, satu di DPR, dan satu di DPD; dan mekanisme pemanggilan paksa terhadap pejabat negara atau masyarakat dengan melibatkan aparat Kepolisian.
Meski Presiden tidak menandatangani UU MD3 tersebut, menurut dia, UU tersebut tetap sah karena menurut aturan kalau RUU tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU disetujui maka RUU tersebut sah menjadi UU.
"UU tanpa ditandatangani kan sah sendiri, tapi apa pun itu terserah Bapak Presiden. Saya tidak mau ada pikiran Bapak Presiden seperti itu," ungkap Yasonna.
Ada beberapa pasal UU MD3 yang menjadi sorotan publik, termasuk Pasal 245 yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Selanjutnya ada Pasal 122, yang menyatakan bahwa DPR memberikan kewenangan kepada MKD untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR; dan Pasal 73, DPR memiliki kewenangan memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara paksa dengan ancaman sandera.
"Tapi sudah saya jelaskan latar belakangnya, ini dialognya panjang. Kalau saya tidak menerima ini mungkin tidak akan ada pengesahan MD3 pada waktu itu jadi dinamika politiknya cepat. Saya katakan OK sebatas contempt of parlement dalam mengerjakan tugasnya," ungkap Yasonna.
Namun, menurut Yasonna, hak imunitas bukan tanpa batas.
"Harus ada batasan, kemudian anggota DPR dalam menjalankan tugas tidak dapat dituntut pidana harus seizin mahkamah dewan, harus mendapat pertimbangan mahkamah kehormatan dewan karena keputusan MK sebelumya harus dengan persetujuan presiden. Nah mengapa harus melalui pertimbangan? Semoga filternya ada di DPR, supaya semua beban tidak sampai ke presiden, tapi tetap presiden yang buat keputusannya," jelas Yasonna.
Yasonna juga mengakui bahwa Presiden awalnya tidak mengetahui isi perubahan UU MD3 tersebut.
"Tidak tahu, saya belum menyampaikan dinamikanya. Sekarang ini baru saya laporkan ke Presiden. Beliau tidak aware sama sekali dan tidak saya laporkan sama sekali. Waktu itu perdebatan sangat kencang karena ada keinginan pelantikan (pimpinan DPR) pada masa sidang yang lalu, ada keinginan itu makanya kita putuskan segera dengan pikiran saya akan sampaikan argumentasi," ungkap Yasonna.
Ia mengaku bahwa awalnya lebih banyak lagi konsep UU MD3 yang tidak disetujui pemerintah.
"Jadi yang tidak kita setujui dari draft itu sungguh sangat banyak, tapi itulah pembahasan kita," tambah Yasonna.
Baca juga:
Prof Mahfud MD tidak setuju hak imunitas DPR
DPR setuju RUU MD3 jadi undang-undang
Presiden belum tanda tangani revisi UU MD3
20 Februari 2018 14:27 WIB
Arsip Foto. Presiden Joko WIdodo saat memberikan kata pengantar dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara Jakarta, Senin (12/2/2018). (ANTARA /Wahyu Putro A)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018
Tags: