"Jemaat sebagai pemilih jangan termakan informasi negatif, hindari segala bentuk kampanye hitam yang disebarkan orang yang tidak bertanggung-jawab di berbagai jejaring media sosial," katanya, saat bercakap-cakap dengan ANTARA, di Kupang, Sabtu.
Ia mengatakan hal itu terkait dengan tahapan kampanye para calon gubernur-wakil gubernur NTT yang mulai digelar pada 15 Februari 2018 dan akan berlangsung selama 129 hari sesuai aturan Komisi Pemilihan Umum setempat.
Menurut dia, media sosial melalui berbagai jejaringnya dapat menjadi media pendidikan politik yang baik, namun sering kali disalahgunakan sebagai alat pemecah belah yang berbahaya.
"Kita belajar dari Pilkada-Pilkada sebelumnya bahwa saling menghujat, menghina, dan menyerang lewat jejaring sosial maupun media online sangat berpotensi merusak keutuhan hidup bermasyarakat," katanya.
Sejak 2010, gejala fanatisme berlebihan para pendukung kandidat di Pilkada mulai meruak. Mereka saling menyerang dan merendahkan pihak lawan dengan berbagai cara, sampai mengungkit-ungkit "kisah masa lalu" kandidat lawan yang mereka jagokan.
Ada yang senantiasa "catatan prestasi" yang mereka jagokan sekaligus merendahkan capaian pemimpin sebelumnya, mengangkat-angkat kesalahan pihak lawan, hingga memakai latar SARA. Secara bentuk, banyak yang memakai kata-kata, visual, video, hingga foto hasil penyuntingan dan memé.
Untuk itu, ia meminta masyarakat atau jemaat agar kritis mengkonsumsi berbagai informasi yang disebarluaskan melalui medsos pada pelaksanaan pilkada serentak 2018 di NTT.
Pelaksanaan pilkada serentak 2018 akan berlangsung di 10 kabupaten se-NTT, masing-masing Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Alor, Rote Ndao, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Nagekeo, Ende, dan Sikka.
Selain itu, pada saat yang bersamaan, masyarakat NTT juga harus menyukeskan penyelenggaran pemilu gubernur untuk memilih Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023 pada 27 Juni mendatang.
"Masyarakat jangan terjebak pada berita-berita yang belum tentu benar apalagi informasi yang berbau provokatif dari sumber yang tidak jelas dan tidak bertanggung jawab," katanya.
Kolimon juga berharap para calon pemimpin maupun tim kampanye menggunakan media sosial untuk menjelaskan visi, strategi, dan program, tanpa harus menyerang lawan-lawan politiknya.
Sementara itu, ahli antropologi budaya dari Universitas Widya Mandira di Kupang, Pastur Gregor Neonbasu SVD, mengakui, masih banyak informasi terkait Pilkada yang disebarluaskan melalui media sosial berisikan hal-hal yang tidak mendidik bahkan provokatif.
"Untuk itu menjadi tanggung jawab kita semua sebagai masyarakat politik agar menghindari diri dari pemberitaan yang tidak benar dan tidak riil sehingga kita semakin cerdas dalam berdemokrasi," katanya.
Selain itu, rohaniwan Katolik itu juga meminta KPU setempat agar tidak lengah mengawasi dan menegur ketika ditemukan adanya pelanggaran dalam setiap tahapan Pilkada.
Untuk itu, ia meminta masyarakat atau jemaat agar kritis mengkonsumsi berbagai informasi yang disebarluaskan melalui medsos pada pelaksanaan pilkada serentak 2018 di NTT.
Pelaksanaan pilkada serentak 2018 akan berlangsung di 10 kabupaten se-NTT, masing-masing Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Alor, Rote Ndao, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Nagekeo, Ende, dan Sikka.
Selain itu, pada saat yang bersamaan, masyarakat NTT juga harus menyukeskan penyelenggaran pemilu gubernur untuk memilih Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023 pada 27 Juni mendatang.
"Masyarakat jangan terjebak pada berita-berita yang belum tentu benar apalagi informasi yang berbau provokatif dari sumber yang tidak jelas dan tidak bertanggung jawab," katanya.
Kolimon juga berharap para calon pemimpin maupun tim kampanye menggunakan media sosial untuk menjelaskan visi, strategi, dan program, tanpa harus menyerang lawan-lawan politiknya.
Sementara itu, ahli antropologi budaya dari Universitas Widya Mandira di Kupang, Pastur Gregor Neonbasu SVD, mengakui, masih banyak informasi terkait Pilkada yang disebarluaskan melalui media sosial berisikan hal-hal yang tidak mendidik bahkan provokatif.
"Untuk itu menjadi tanggung jawab kita semua sebagai masyarakat politik agar menghindari diri dari pemberitaan yang tidak benar dan tidak riil sehingga kita semakin cerdas dalam berdemokrasi," katanya.
Selain itu, rohaniwan Katolik itu juga meminta KPU setempat agar tidak lengah mengawasi dan menegur ketika ditemukan adanya pelanggaran dalam setiap tahapan Pilkada.