Lebak, Banten (ANTARA News) - Budayawan Belanda, Peter Carey, mengatakan, Multatuli dengan pena yang mengangkat buku Max Havelaar sebagai simbol perjuangan Bangsa Indonesia hingga melakukan perlawanan di berbagai daerah di Tanah Air.

"Buku itu mengangkat ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan kolonial yang bekerja sama dengan Bupati Kartanegara terhadap warga Kabupaten Lebak," kata Carey, saat mengunjungi Gedung Museum Multatuli Rangkasbitung Kabupaten Lebak, Rabu.

Masyarakat dunia geger setelah buku Max Havelaar karya Multatuli yang melakukan kesewang-wenangan dan ketidakadilan terhadap warga pribumi.


Multatuli adalah nama pena dari Edouard Douwes Dekker (2 Maret 1820-19 Februari 1887), yang diambil dari bahasa Latin, Multa tuli (bahasa Indonesia: banyak sudah yang aku derita).




Ada dua Douwes Dekker dalam sejarah bangsa Indonesia. Yang pertama adalah Multatuli, dan kedua adalah Ernest Francois Eugene Douwes Dekker alias Danudirdja Setiabudi (8 Oktober 1879 di Pasuruan, kini Jawa Timur, hingga 28 Agustus 1950 di Bandung).




Douwes Dekker kedua inilah yang kemudian menjadi Tiga Serangkai bersama dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara. Dia juga yang menamai Tanah Air sebagai nusantara. Tokoh Douwes Dekker yang kedua ini cucu dari Multatuli melalui saudara laki-lakinya, Jan.


Perlakuan pemerintah kolonial Hindia Belanda, di mata Multatuli, benar-benar tidak manusiawi. Dia tiba di Batavia sebagai kelasi satu kapal dagang dan karirnya menanjak hingga kemudian menjadi kontrolir di Natal, kini Sumatera Utara.

Douwes Dekker yang diutus pemerintah Hindia Belanda sebagai asisten Residen Lebak pada 1850 untuk ditugaskan di Kabupaten Lebak sangat tidak menyukai perlakuan kolonial.

Perlakuan kolonial hingga mendapat pertentangan keras dunia. Selain itu juga bahwa kolonial itu merupakan malapetaka bagi masyarakat pribumi.

Bahkan, kolonial juga mendapat perlawanan masyarakat Surabaya 10 November 1945 hingga belasan ribu warga Surabaya tewas.

Selain itu juga tentara Inggris dan Belanda ikut tewas.

Karena itu,buku Max Havelaar dicintai masyarakat Eropa hingga 90 persen laku terjual. Di bagian pembukaan buku Max Havelaar yang hak cetaknya pernah ada di tangan Penerbit Djambatan itu terdapat penggalan drama satir tentang pengadilan atas seorang bumiputera.

"Kami berharap Museum Multatuli dapat menjadikan pengetahuan bagi pelajar dan mahasiswa," katanya.

Sementara itu, Direktur Konservator Multatuli Huis di Amsterdam, Klaartje Groot, mengatakan, Gedung Museum Multatuli, di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten, menjadi pusat kebudayaan masyarakat setempat.



DI sana terdapat jejak sejarah pemerintahan kolonial yang juga telah melakukan kesalahan besar dengan melakukan kerja paksa dan penindasan terhadap masyarakat pribumi sehingga mereka pada masa lalu hidup menderita.

Kesengsaraan dan kelaparan dialami masyarakat Kabupaten Lebak akibat pajak dikeruk pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Perjuangan Douwes Dekker mengangkat nasib buruk warga Kabupaten Lebak dari penderitaan.



Selain pekerja keras, Douwes Dekker juga suka membantu masyarakat Kabupaten Lebak. "Kami dari Belanda datang ke sini ingin melihat langsung peresmian Museum Multatuli ini," katanya.