Jakarta (ANTARA News) - Jihadul Akbar yang mungkin merupakan istilah awam, namun umum didengar sebagian besar umat muslim di manapun berada.

Walau banyak penafsirannya, dua kata dari bahasa Arab yang lekat dengan pesan-pesan keagamaan Islam ini, secara umum bisa diartikan sebagai perjuangan dengan sungguh-sungguh dalam skala besar.

Jihadul Akbar, rasa-rasanya relevan dan harus dilakukan oleh insan tenis Indonesia, jika tak mau berputar dalam keadaan yang begitu-begitu saja.

Bukan dalam perjuangan menyoal keyakinan dalam hubungan manusia dengan sang penciptanya, tapi dalam perjuangan untuk meraih prestasi yang selama ini jarang lagi diperlihatkan tenis Indonesia.

Bagaimana tidak, setelah masa kejayaan tenis Indonesia pada medio 1970-an hingga 1990-an akhir yang mampu berbicara banyak di tingkat kawasan Asia bahkan dunia, baik kategori beregu ataupun perorangan, prestasi Indonesia dalam olahraga tepok bola karet ini cenderung menurun.

Selain Justin Barki yang memperoleh lima gelar turnamen Internasional Men's Futures dengan hadiah total 15 ribu dolar AS yang empat di antaranya didapatkan bersama petenis andalan tanah air, Christopher Rungkat, praktis prestasi punggawa tenis Indonesia bisa dibilang "melempem".

Di sektor perorangan, para pemain tunggal Indonesia kerap kali terhenti di putaran pertama babak utama dan sangat sedikit yang langsung masuk main draw.

Di sektor beregu, tim putri terus-menerus tertahan di Grup II zona Asia/Oseania Piala Fed sejak tahun 2015. Akan tetapi ini lebih baik dari prestasi tim putra di Piala Davis yang tak bisa beranjak dari Grup II Zona Asia/Oseania sejak tahun 2014 lalu.

Tim Indonesia selalu tak meraih hasil baik sejak tahun 2014, bahkan lebih parah, dalam dua edisi terakhir (2017 dan 2018), Merah Putih selalu tumbang di putaran pertama, oleh negara yang secara historis bisa dibilang lebih lemah dari Indonesia, yakni Filipina, hingga harus memainkan laga babak relegation playoff atau playoff degradasi.


Habis lagi di Davis

Pada tahun 2018, Indonesia yang sengaja menurunkan petenis-petenis muda, Anthony Susanto (20), M. Rifqi Fitriadi (18), M. Althaf Dhaifullah (17) dan Justin Barki (17), berharap besar pada David Agung Susanto (26) yang paling senior sekaligus berpengalaman bermain di Piala Davis.

Di dua hari pertandingan Piala Davis melawan Filipina di Lapangan Tenis Terbuka, Senayan, Jakarta, pada 3-4 Februari 2018 itu, memang terbukti, hanya David yang turun dalam tiga pertandingan, serta bisa memberikan satu-satunya poin bagi Merah Putih dengan menundukan Jeson Patrombon 6-2, 7-5 di hari pertama.

Sementara David memenangkan satu-satunya poin bagi Indonesia, dalam empat pertandingan lainnya, Indonesia harus puas dengan hasil minor.

Pada hari pertama, satu hasil buruk tercipta usai debutan Davis, Althaf, menyerah kepada Alberto Lim 3-6, 2-6. Nasib buruk Merah Putih, berlanjut ke hari kedua, bahkan dari tiga pertandingan yang dijadwalkan, tak sekalipun Indonesia mampu mendapatkan kemenangan.

David yang turun dengan Justin Barki di nomor ganda dan diharapkan besar mendapat poin, justru memulai rangkaian buruk Indonesia di hari kedua, usai dikalahkan Francis Casey Alcantara/Jurence Zosimo Mendoza 6(5)-7, 3-6.

Capaian buruk itu berlanjut kala David yang hanya punya waktu istirahat 30 menit setelah main ganda, juga harus kalah di nomor tunggal dari Alberto Lim 3-6, 4-6.

Tertinggal 1-3, di pertandingan terakhir, Indonesia kembali harus tumbang usai Anthony Susanto menyerah kepada pemain debutan Filipina di ajang Piala Davis, John Bryan Decasa Otico, 3-6, 3-6.

Kekalahan ini mengakibatkan tim Davis Indonesia, kembali harus menjalani laga babak playoff degradasi menghadapi Sri Lanka yang kalah dari Thailand 2-3, di Colombo, pada April mendatang, untuk menentukan siapa yang bertahan atau turun kasta ke Grup III.

Lagi-lagi mendapatkan hasil minor di tahun 2018 ini, sang nahkoda tim Davis, Deddy Prasetyo, mengungkapkan para pemain Indonesia termasuk pemain muda dalam skuat Davis 2018 ini, masih terjebak dalam permainan stereotipe kuno yang mereka miliki selama ini, dan itu sudah terjadi bertahun-tahun. Akhirnya, selama ini Indonesia hanya bisa mengandalkan satu hingga dua pemain senior.

Namun, Dedy menilai hal tersebut juga karena para pemain muda, selama ini tak pernah tersentuh oleh pembinaan yang baik dan pengalaman turnamen.

"Artinya apa? kita ini tidur selama ini, tidak melakukan apa-apa, pemain dibiarkan saja berjalan sendiri," ujar Deddy yang juga Wakil Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti) itu.

Hal itu dibenarkan oleh Ketua Umum PP Pelti 2017-2022, Rildo Ananda Anwar, yang juga menilai selain minimnya pengalaman bertanding dan terlalu mengandalkan satu-dua pemain saja dalam setiap ajang besar tenis, regenerasi di tenis juga berjalan lambat.

"Harus diakui pemain Indonesia memang kalah jam terbang, karena selama ini minim turnamen yang diikuti, terutama yang di luar negeri yang juga jadi salah satu aspek pembinaan. Dengan tidak adanya turnamen, otomatis petenis-petenis muda tak bermunculan juga, dan ini jadi pekerjaan rumah besar di Pelti," ujar Rildo.


Target tiga tahun

Kegagalan tahun 2018, menjadikan Indonesia lagi-lagi gagal ke Grup I Zona Asia/Oseania Piala Davis dan terancam ke Grup III jika kandas oleh Sri Lanka di playoff degradasi. Namun di balik itu, dengan skuat muda yang diturunkan ini, mengawali langkah besar tenis Indonesia untuk kebangkitannya.

Sejak awal, Pelti sendiri menyatakan tidak menargetkan untuk meraih prestasi tinggi dalam ajang Davis 2018, mereka memfokuskan diri untuk memberikan kesempatan petenis muda pengalaman berkompetisi. Tujuannya, tak lain untuk pembinaan atlet masa depan Indonesia.

Memang, saat ini Indonesia tengah menggencarkan penggunaan pemain muda. Ini tak lepas dari ambisi PP Pelti sendiri untuk bisa menempatkan tenis Indonesia ke dalam jajaran delapan negara terbaik se-Asia yang diharapkan bisa tercapai dalam dua hingga tiga tahun mendatang.

Tak tanggung-tanggung, untuk memuluskan harapan kebangkitan tenis Indonesia tersebut, Pelti akan mendatangkan pelatih tenis asing asal Belanda, Frank van Fraayenhoven, yang akan memiliki tugas ganda sebagai pelatih petenis sekaligus mentor pelatih tanah air yang akan dimulai Maret 2018 mendatang.

Waktu hingga tiga tahun tersebut, menurut Deddy Prasetyo, rasa-rasanya memang paling tepat jika melihat kualitas sebagian besar pemain Indonesia saat ini, yang menurutnya belum bisa terlepas dari permainan stereotipe kuno, sehingga dibutuhkan tahapan pembinaan berjenjang dan berkelanjutan yang tak bisa instan, dengan target setiap tahunnya.

Tahun pertama, Pelti akan fokus untuk bisa menaikan kelas permainan para petenis nasional, yang akan dimulai dengan pembinan petenis mulai dari umur 14 hingga 18 tahun dalam program pemusatan latihan bersama pemain senior dengan skema promosi-degradasi satu hingga dua kali dalam satu tahun.

Tahun kedua, Pelti menginginkan adanya perbaikan capaian peringkat petenis tanah air, agar bisa bermain langsung dari babak utama dalam satu turnamen. Jalannya, federasi akan mengirimkan para atlet menonjol untuk mengikuti turnamen internasional baik sebagai tim, ataupun individu yang ditambah dengan menggelar sekitar enam hingga delapan turnamen internasional bagi sektor putra dan putri di dalam negeri dalam satu tahun.

Puncaknya, di tahun ketiga, Pelti mengharapkan hasil dari para atlet binaan, yaitu prestasi membanggakan.

"Berbagai usaha yang dilakukan, tujuannya untuk kebangkitan tenis Indonesia, untuk mencipatakan Yayuk Basuki-Yayuk Basuki dan Justedjo Tarik-Justedjo Tarik baru, yang bisa membanggakan Indonesia," ujar Rildo Ananda Anwar.

Tak secara mudah dan instan memang untuk menjadikan kembali tenis Indonesia sebagai salah satu macan Asia, namun hasil dari berbagai usaha Pelti dalam Jihadul Akbar-nya, niscaya dinanti publik tenis Indonesia yang rindu akan torehan prestasi membanggakan dari cabang olahraga tersukses kedua Indonesia di Asian Games ini.

Sehingga, teriakan "Ayo Tenis" bisa semakin membahana lagi saat Asian Games 2018 mendatang di Indonesia.