Jakarta (ANTARA News) - Cara pandang masyarakat terhadap koperasi sejak zaman Kolonial Hindia-Belanda sampai saat ini tidak banyak mengalami perubahan sehingga disarankan agar segera diubah, kata seorang pengamat perkoperasian.

Suroto yang juga Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (AKSES) di Jakarta, Selasa, menilai di Indonesia koperasi selalu diidentikkan sebagai usaha kecil-kecilan hingga usaha untuk kelompok yang lemah dan miskin.

"Paradigma demikian terus dilanggengkan oleh banyak pihak baik pemerintah maupun parlemen sebagai pembuat regulasi dan kebijakan, juga oleh para promotor sosial seperti LSM, Ormas, Partai, bahkan Perguruan Tinggi sekalipun," katanya.

Padahal menurut dia, koperasi merupakan sistem ekonomi alternatif agar kesejahteraan dan keadilan ekonomi dapat terjadi secara bersamaan.

Oleh karena itu, ia menekankan seharusnya koperasi dipandang secara sama sebagai sebuah entitas bisnis seperti yang lainya.

"Hal inilah yang membuat kenapa koperasi tidak berkembang dengan baik di Tanah Air. Apa yang terjadi justru selalu dijadikan sebagai obyek program atau agenda dari luar ketimbang dipahami sebagai cara masyarakat untuk menolong diri mereka sendiri," katanya.

Pada akhirnya masyarakat yang ingin mengembangkan koperasi untuk sekadar sebagai upaya pemberdayaan mereka yang lemah cenderung hanya mengandalkan bantuan.

Bahkan ia beranggapan ada kesan koperasi itu semacam usaha simpan pinjam saja.

"Sampai-sampai ada organisasi masyarakat yang salah kaprah karena koperasi itu dianggap sama dengan bisnis rentenir yang berbau riba," katanya.

Paradigma semacam ini muncul sebetulnya karena dalam konsep pengembangan koperasinya selalu memposisikan koperasi sebagai konsep pemberdayaan bagi yang lemah.

Koperasi cenderung dijadikan obyek kegiatan karitatif (belas kasih), penyaluran program, dan lain sebagainya bukan untuk membangun sebuah bisnis yang berbasis solidaritas dan gotong royong dalam mewujudkan demokrasi ekonomi yang sangat relevan dengan tuntuan masyarakat saat ini.

Sementara itu kata dia, dunia kampus atau perguruan tinggi sendiri belum banyak berperan untuk melakukan pembaharuan bahkan kerap justru ikut menghujat keberadaan koperasi.

"Koperasi sebagai sebuah entitas bisnis futuristik yang berikan kesempatan setiap orang menjadi pemiliknya secara terbuka. Ini adalah harapan masa depan bagi dunia dan kemanusiaan karena bisnis saat ini dirasakan semakin akumulatif dan konsentratif ke tangan satu orang yang berkecenderungan menjadi penindas," katanya.

Menurut dia, ke depan harus ada gerakan besar-besaran dari seluruh masyarakat untuk merombak kondisi yang ada.

"Kalau masyarakat ingin ekonomi kita menjadi inklusif, setiap komunitas-komunitas yang ada saat ini sebaiknya bergandeng tangan untuk mempraktikkan bisnis koperasi ini secara benar dengan kembangkan koperasi sebagai kebutuhan bersama di seluruh sektor," katanya.

Suroto mencontohkan di berbagai negara di dunia koperasi telah sukses memberdayakan ekonomi masyarakat dimana perusahaan listrik, rumah sakit, lembaga keuangan, pertanian, pertukangan, ritel, dan lain sebagainya dapat dikembangkan sebagai usaha koperasi, bukan sebagai usaha yang bercorak kapitalistik seperti di Indonesia.