Jakarta (ANTARA News) - Industri pengolahan mencatatkan nilai ekspor sepanjang Januari-Desember 2017 sebesar 125 miliar dollar AS, di mana angka tersebut memberikan kontribusi tertinggi hingga 76 persen, dari total nilai ekspor Indonesia yang mencapai 168,73 miliar dollar AS.
“Salah satu faktor penting untuk memacu pertumbuhan industri, yaitu adanya akses kemudahan dalam memperluas pasar, baik di domestik maupun ekspor. Jika pasar optimal, produksi bisa maksimal,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto melalui keterangannya di Jakarta, Rabu.
Kementerian Perindustrian mencatat, perolehan ekspor industri tahun lalu sebesar 125 miliar dollar AS atau setara Rp1.673 triliun, meningkat jika dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Terjadi kenaikan sebesar 13,14 persen dari tahun 2016 yang meraih 110,50 miliar dollar AS. Sementara itu, capaian ekspor tahun 2015 adalah 108,60 miliar dollar AS.
“Angka ekspor industri terus meningkat dan diproyeksi akan menjadi USD143,22 miliar pada tahun 2019,” ungkapnya.
Menteri Airlangga menyebutkan, komoditas yang mendominasi lima besar ekspor industri pengolahan sepanjang tahun 2017, yaitu minyak kelapa sawit berkontribusi tinggi terhadap ekspor industri makanan senilai Rp272 triliun, diikuti produk pakaian jadi menyumbangkan Rp90 triliun.
Selanjutnya, produk industri karet, barang karet, serta barang dari karet dan plastik sebesar Rp66 triliun, produk industri barang kimia dan barang dari bahan kimia Rp59 triliun, serta produk industri logam Rp51 triliun.
“Saat ini, negara tujuan ekspor utama kita antara lain adalah Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Singapura,” tuturnya.
Guna meningkatkan pengapalan produk industri ke luar negeri, menurut Menperin, pemerintah terus berunding untuk menyepakati perjanjian kerja sama ekonomi yang komprehensif dengan beberapa negara tujuan ekspor seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Australia.
“Selain investasi, peningkatan ekspor dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional,” tegasnya.
Airlangga mengungkapkan, di sejumlah negara masih ada yang menetapkan tarif bea masuk terlalu besar bagi produk-produk industri dari Indonesia.
Misalnya, Eropa dan Amerika yang mengenakan bea masuk ekspor untuk produk tekstil Indonesia sebesar 5-20 persen. Sedangkan untuk sesama negara Asia Tenggara, seperti Vietnam, sudah tanpa bea masuk atau nol persen.
“Kalau hambatan tersebut bisa dikurangi, pasti kinerja eskpor indusri tekstil dan alas kaki kita akan terus naik,” tuturnya. Apalagi, industri produk tekstil nasional memiliki daya saing yang tinggi di pasar global karena telah terintegrasi dari hulu sampai hilir.
“Khusus industri shoes and apparel sport, kita sudah melewati Tiongkok. Bahkan, di Brasil, kita sudah menguasai pasar di sana hingga 80 persen,” imbuhnya.
Oleh karenanya, Kemenperin tengah gencar meningkatkan kinerja industri padat karya berorientasi ekspor. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah mengusulkan sektor ini mendapatkan insentif fiskal berupa pemotongan pajak penghasilan yang digunakan untuk reinvestasi.
Airlangga menyebutkan, industri padat karya berorientasi ekspor yang sedang didongkrak kinerjanya, antara lain sektor industri tekstil dan produk tekstil, industri alas kaki, industri pengolahan ikan dan rumput laut. Selain itu, industri aneka (mainan anak, alat pendidikan dan olah raga, optik, alat musik), industri farmasi, kosmetik dan obat tradisional, serta industri kreatif (kerajinan, fashion, perhiasan).
Selanjutnya, industri barang jadi karet (ban kendaraan bermotor dan rethreading ban pesawat terbang), industri elektronik dan telematika (multimedia, software), industri furniture kayu dan rotan, serta industri makanan dan minuman (turunan CPO, olahan kopi, kakao).
76 persen ekspor nasional berasal dari industri manufaktur
31 Januari 2018 16:50 WIB
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto (ANTARA News/ Biro Humas Kementerian Perindustrian)
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018
Tags: