"Jadi, seluruh isi tambang, yang bukan hanya tambang utama, tapi juga logam ikutannya, yang disebut tanah jarang, justru yang bernilai tinggi dan bisa menjadi subtitusi," ujarnya.
Kemenperin gandeng Korsel eksplor Logam Tanah Jarang
30 Januari 2018 18:07 WIB
Ilustrasi - Peneliti mengoperasikan reaktor pengolah campuran logam tanah jarang di Laboratorium pengolahan logam tanah jarang, Gedung Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Yogyakarta, Babarsari, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (4/1/2017). BATAN Yogyakarta menguji kesiapan Thorium hasil pengolahan limbah penambangan timah sebagai sumber energi alternatif untuk bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perindustrian menggandeng industri asal Korea Selatan untuk mengeksplorasi Logam Tanah Jarang (LTJ) yang ada di Indonesia.
"Jadi, seluruh isi tambang, yang bukan hanya tambang utama, tapi juga logam ikutannya, yang disebut tanah jarang, justru yang bernilai tinggi dan bisa menjadi subtitusi," ujarnya.
"LTJ itu kita melakukan pendekatan teknologi ke luar negeri, ini bisa kita eksplorasi ke hilir lagi, jadi nilai tambahnya lebih tinggi. Kita partner dengan Korsel," kata Dirjen Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto di Jakarta, Selasa.
Menurut Harjanto, LTJ di dunia sangat dibutuhkan sebagai magnet untuk industri elektronik dan mesin, dimanfaatkan sebagai katalis, metal alloy, polishing, gelas dan untuk keramik.
Menurut Harjanto, investasi di sektor pengolahan LJT di Indonesia memang belum marak, karena baru mulai dieksplorasi dan padat modal.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Ngakan Timur Antara menyampaikan, selain padat modal, industri ini juga membutuhkan waktu lama untuk memperoleh keuntungan.
"Ini menjadi prioritas, karena bahan tambang kita diekspor ke China, lalu di sana jadi sesuatu dan kembali ke indonesia sudah jadi produk bersaing," ungkapnya.
Hasil kajian Kemenperin menunjukkan bahwa China mengolahnya secara terintegrasi.
"Jadi, seluruh isi tambang, yang bukan hanya tambang utama, tapi juga logam ikutannya, yang disebut tanah jarang, justru yang bernilai tinggi dan bisa menjadi subtitusi," ujarnya.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018
Tags: