Sidoarjo (ANTARA News) - Para pengusaha korban lumpur dari proyek PT Lapindo Brantas Inc. merasa kecewa dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mereka nilai sama sekali tidak membahas nasibnya. "Kami juga korban, tapi kenapa hanya warga yang diributkan, sementara pengusaha sama sekali tidak disentuh," kata Koordinator Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo, S.H Ritonga, Rabu. Dari 20 perusahaan sampai saat ini baru delapan yang sudah mendapatkan ganti rugi dari Lapindo. Sementara, sisanya hingga saat ini masih belum ada kesepakatan harga antara Lapindo dengan para pengusaha. Perusahaan yang belum terbayarkan ganti ruginya ini, lanjut Ritonga mendesak Lapindo untuk memberikan standar harga yang jelas bagi ganti rugi aset mereka. "Kalau warga ada standar ganti rugi, kenapa kami tidak," kata Bos PT Catur Putra Surya (CPS) ini. Menurut dia, pihaknya sebenarnya sudah memberikan gambaran nominal ganti rugi yang diinginkan pengusaha yaitu minimal 75 persen dari nominal ganti rugi bagi warga yang nilainya untuk tanah pekarangan Rp1 juta per m2 dan bangunan Rp 1,5 juta per m2. "Tapi, Lapindo tetap tidak mau, padahal kami sudah sepakat untuk tidak menghitung kerugian mesin dan kerugian lainnya," katanya. Koordinator tim legal PT Minarak Lapindo Jaya Sudiono SH dihubungi terpisah mengungkapkan bahwa ganti rugi bagi perusahaan ini memang tidak akan dilakukan sistem pemerataan harga seperti yang dilakukan kepada warga. "Khusus perusahaan diterapkan prinsip `bisnis to bisnis`, jadi individu perusahaan melakukan negosiasi harga dengan kami," katanya. Untuk itu, dirinya berharap perusahaan yang hingga kini belum mendapatkan kepastian ganti rugi segera melakukan negosiasi dengan Minarak. Sementara itu, negosiasi yang dilakukan antara pengusaha dan Lapindo, menurut Ritonga tidak masuk akal. Apalagi, Lapindo selalu melakukan penawaran harga jauh di bawah standar. "Masak total asset tanah saya yang empat hektar dan bangunan 1,1 hektar hanya ditawar Rp23,4 miliar," katanya. Padahal, bila dikalikan sebagaimana ganti rugi yang diterima warga, maka total perusahaan bekas almarhum Marsinah bekerja ini mestinya senilai Rp38 miliar. Untuk itu, Ritonga sebenarnya berharap besar kepada keberadaan Presiden waktu di Sidoarjo untuk juga memperjuangkan nasib para pengusaha tersebut. Meski begitu, dirinya mengaku hanya bisa pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk segera menyampaikan keluhan tersebut kepada Presiden. (*)