Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi kepada Deisti Astriani Tagor, istri mantan Ketua DPR RI Setya Novanto, terkait peristiwa proses penangkapan dan kecelakaan yang dialami Novanto pada November 2017 lalu.

"Intinya kami mendalami lebih lanjut apa yang terjadi pada 15 dan 16 November 2017 tersebut dan juga tentu kami dalami proses medisnya seperti apa. Itu yang kami klarifikasi dalam pemeriksaan tersebut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin.

KPK pada Senin (22/1) memeriksa Deisti sebagai saksi untuk tersangka Fredrich Yunadi yang merupakan mantan kuasa hukum Novanto.

Lebih lanjut terkait pemeriksaan Deisti, Febri menyatakan bahwa KPK ingin mengetahui sejauh mana saksi Deisti mengetahui keberadaan Novanto saat tim KPK melakukan proses penangkapan dan penggeledahan di kediamannya di Kebaroyan Baru, Jakarta Selatan.

"15 November 2017 kami datang ke rumah Setya Novanto. Pada saat itu tim juga bertemu dengan Fredrich Yunadi, tim juga bertemu dengan istri Setya Novanto. Tentu kami lakukan pemeriksaan untuk mencari tahu sejauh mana Deisti mengetahui keberadaan Setya Novanto saat itu dan informasi-informasi lain yang relevan dalam kasus ini," tuturnya.

Sementara itu seusai menjalani pemeriksaan, Deisti memilih bungkam saat dikonfirmasi oleh awak media seputar materi pemeriksaannya kali ini.

KPK telah menetapkan advokat Fredrich Yunadi dan dokter RS Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo sebagai tersangka tindak pidana dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dugaan tindak pidana korupsi proyek KTP-elektronik atas tersangka Setya Novanto.

Fredrich dan Bimanesh diduga bekerja sama untuk memasukkan tersangka Setya Novanto ke Rumah Sakit untuk dilakukan rawat inap dengan data-data medis yang diduga dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghindari panggilan dan pemeriksaan oleh penyidik KPK.

Atas perbuatannya tersebut, Fredrich dan Bimanesh disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.