Sigma yakini konflik Hanura tak pengaruhi Jokowi
20 Januari 2018 15:50 WIB
Menkopolhukam sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Hanura Wiranto (kanan) berbincang dengan Ketua DPD sekaligus Ketua Umum Hanura Oesman Sapta (tengah) sebelum mengikuti upacara pelantikan Mensos, KSP, Wantimpres dan KSAU di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/1/2018). Di tengah konflik saling pecat antara Oesman dan Sekretaris Jenderal Hanura Sarifuddin Sudding, Wiranto menegaskan tidak akan ada Musnaslub untuk mengganti Oesman Sapta. (ANTARA /Puspa Perwitasari) ()
Jakarta (ANTARA News) - Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) menilai konflik internal Partai Hanura tidak banyak berpengaruh bagi Presiden Joko Widodo baik pada sisa masa pemerintahan sekarang, maupun kekuatan parpol-parpol pendukung pencalonan periode berikutnya.
"Sebab dibandingkan parpol-parpol lainnya, posisi tawar Hanura paling lemah. Mau dipimpin kelompok OSO maupun faksi Wiranto saya kira relatif akan sama saja bagi Jokowi," Direktur Eksekutif Sigma Said Salahudin di Jakarta, Sabtu.
Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua faktor. Pertama, modal dukungan Hanura untuk Jokowi tidak signifikan. Dari Pemilu 2014 Hanura hanya punya modal 16 kursi DPR. Jumlah ini tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai alat tawar Hanura di hadapan pemerintah.
Seandainyapun konflik di internal partai tersebut berujung pada sikap menarik dukungan dari pemerintah atau Jokowi sendiri yang mengeluarkan Hanura keluar dari Istana, misalnya, tidak banyak juga yang bisa dilakukan oleh Hanura. "Mau jadi oposisipun memakai istilah anak sekarang, `gak` akan `nendang`," ujar dia.
Begitu pula terkait dukungan Hanura untuk Jokowi pada Pilpres 2019. Seandainya PDIP, Golkar, PKB, PPP, dan Nasdem solid mengusung Jokowi kembali, maka modal 16 kursi Hanura bukan hal yang terlalu penting bagi Jokowi.
Faktor kedua yang mengakibatkan lemahnya posisi tawar Hanura sehingga konflik internal partai itu tidak akan memberikan banyak pengaruh bagi Jokowi adalah terkait terbatasnya pilihan Hanura untuk mencari kawan politik.
"Apabila Hanura harus keluar dari koalisi pendukung Jokowi atau tidak mau lagi mendukung Jokowi di Pilpres 2019, maka tidak mudah bagi Hanura untuk mencari teman koalisi yang baru," kata dia.
Di luar koalisi pemerintah hanya ada dua blok politik lain yang dimotori Gerindra dengan sekutunya PKS dan PAN, serta blok Demokrat yang punya kecenderungan ingin bergabung dalam koalisi Jokowi.
Masalahnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa baik OSO maupun Wiranto sama-sama kurang akur dengan Prabowo sebagai lokomotif blok Gerindra.
Ia mengatakan OSO cukup lama bersitegang dengan Prabowo di antaranya dilatari ketidakakuran mereka dalam perselisihan kepengurusan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Wiranto memiliki sejarah perseteruan yang lebih panjang lagi dengan Prabowo sejak awal reformasi.
"Walaupun dalam politik tidak ada yang mustahil, tetapi harus saya katakan berat sekali membangun koalisi bersama antra blok Gerindra dan Hanura. Kalau dengan Demokrat tidak perlu saya jelaskan lagi, sebab Demokrat kan punya kecenderungan merapat ke dalam blok Jokowi," kata dia.
Berdasarkan alasan-alasan diatas itulah konflik internal Hanura tidak akan sampai membuat Presiden sakit kepala.
"Sebab dibandingkan parpol-parpol lainnya, posisi tawar Hanura paling lemah. Mau dipimpin kelompok OSO maupun faksi Wiranto saya kira relatif akan sama saja bagi Jokowi," Direktur Eksekutif Sigma Said Salahudin di Jakarta, Sabtu.
Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua faktor. Pertama, modal dukungan Hanura untuk Jokowi tidak signifikan. Dari Pemilu 2014 Hanura hanya punya modal 16 kursi DPR. Jumlah ini tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai alat tawar Hanura di hadapan pemerintah.
Seandainyapun konflik di internal partai tersebut berujung pada sikap menarik dukungan dari pemerintah atau Jokowi sendiri yang mengeluarkan Hanura keluar dari Istana, misalnya, tidak banyak juga yang bisa dilakukan oleh Hanura. "Mau jadi oposisipun memakai istilah anak sekarang, `gak` akan `nendang`," ujar dia.
Begitu pula terkait dukungan Hanura untuk Jokowi pada Pilpres 2019. Seandainya PDIP, Golkar, PKB, PPP, dan Nasdem solid mengusung Jokowi kembali, maka modal 16 kursi Hanura bukan hal yang terlalu penting bagi Jokowi.
Faktor kedua yang mengakibatkan lemahnya posisi tawar Hanura sehingga konflik internal partai itu tidak akan memberikan banyak pengaruh bagi Jokowi adalah terkait terbatasnya pilihan Hanura untuk mencari kawan politik.
"Apabila Hanura harus keluar dari koalisi pendukung Jokowi atau tidak mau lagi mendukung Jokowi di Pilpres 2019, maka tidak mudah bagi Hanura untuk mencari teman koalisi yang baru," kata dia.
Di luar koalisi pemerintah hanya ada dua blok politik lain yang dimotori Gerindra dengan sekutunya PKS dan PAN, serta blok Demokrat yang punya kecenderungan ingin bergabung dalam koalisi Jokowi.
Masalahnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa baik OSO maupun Wiranto sama-sama kurang akur dengan Prabowo sebagai lokomotif blok Gerindra.
Ia mengatakan OSO cukup lama bersitegang dengan Prabowo di antaranya dilatari ketidakakuran mereka dalam perselisihan kepengurusan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Wiranto memiliki sejarah perseteruan yang lebih panjang lagi dengan Prabowo sejak awal reformasi.
"Walaupun dalam politik tidak ada yang mustahil, tetapi harus saya katakan berat sekali membangun koalisi bersama antra blok Gerindra dan Hanura. Kalau dengan Demokrat tidak perlu saya jelaskan lagi, sebab Demokrat kan punya kecenderungan merapat ke dalam blok Jokowi," kata dia.
Berdasarkan alasan-alasan diatas itulah konflik internal Hanura tidak akan sampai membuat Presiden sakit kepala.
Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018
Tags: