Kalau "mahar politik" kian dibiarkan
16 Januari 2018 19:58 WIB
Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) menggelar aksi simpatik pemilu 2014 "Stop Golput dan Stop Politik Uang" pada saat hari bebas kendaraan di kawasan Pantai Losari, Makassar, Sulsel, Minggu (6/4/2014). Pada pemilu legislatif yang akan di gelar tiga hari mendatang di harapkan masyarakat dapat berperan aktif memberikan hak suaranya serta menciptakan pemilu yang bersih dan jujur. (ANTARA FOTO/Dewi Fajriani) ()
Jakarta (ANTARA News) - Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada Juni 2018, tidak hanya terjadi persaingan diantara bakal calon kepala daerah tapi juga antara satu partai politik yang satu dengan yang lainnya.
Yang kemudian muncul adalah suasana "panas" apalagi ada satu parpol yang para pemimpinnya mulai saling memaki dan pecat-memecat.
Masyarakat selama beberapa hari terakhir ini, mulai menyaksikan suasana saling mencemooh hingga pecat-memecat diantara para tokoh Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura, terutama ketika beberapa tokohnya memecat Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Hanura Oesman Sapta Odang dan kemudian menunjuk Pelaksana Tugas Ketua Umum Daryatmo.
Namun, tak mau kalah gertak, Oesman Sapta Odang--yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahkan juga Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah--memecat Sekretaris Jenderal DPP Hanura Syarifuddin Suding.
Pecat-memecat ini patut disimak karena bagaimanapun juga Partai Hanura adalah salah satu partai politik peserta yang ikut dalam kontestansi pilkada yang akan datang sehingga "pertarungan internal" itu bisa diperkirakan mempengaruhi tingkat konsentrasi para pemimpin, anggota hingga simpatisannya.
Dunia politik di Tanah Air ini seharusnya patut memuji atau menghargai atau apapun istilahnya terhadap Partai Golkar yang akhirnya mampu memilih ketua umum yang baru, yaitu Airlangga Hartarto untuk menggantikan Setya Novanto karena diduga terlibat kasus korupsi dengan kerugian negara tidak kurang dari Rp2,3 triliun pada proyek KTP elektronik yang bernilai Rp5,9 triliun.
Tentu masyarakat amat berharap agar kemelut di Partai Hanura--siapa pun "pemenangnya"--dapat diselesaikan secara baik apalagi partai ini belumlah menjadi parpol yang "benar-benar besar dan kuat".
Karena sekarang sudah bulan Januari, sedangkan pilkada serentak dijadwalkan berlangsung 27 Juni 2018 maka waktunya sudah sangat "mepet", yakni persiapannya tinggal enam bulan lagi. Semua pihak mulai lagi pemerintah, KPU, Bawaslu, panwaslu, masyarakat sudah harus memeras keringat agar pesta demokrasi ini benar-benar berlangsung jujur dan adil alias jurdil serta bebas rahasia.
"Mahar Politik"
Karena pesta demokrasi ini akan memilih gubernur-wakil gubernur, wali kota dan wakil wali kota hingga bupati dan wakil bupati, maka tentu saja begitu banyak calon kepala daerah yang merasa dirinya mampu menjadi gubernur, bupati dan wali kota.
Mereka mulai "menjual dirinya" kepada partai-partai politik yang diharapkan bisa mendukung pencalonan dirinya itu. Namun ternyata hal itu sama sekali tidak gampang.
Seorang bakal calon wali kota Cirebon, Jawa Barat, Brigadir Jenderal Polisi Purnawirawan Siswandi mengaku harus memberikan "uang sogokan" atau istilah kerennya "mahar politik" sedikitnya ratusan juta rupiah agar bisa didukung oleh satu partai.
Tentu saja "tuduhan" minta "mahar politik" atau bahasa gampangnya "sogokan" itu dibantah habis-habisan oleh para tokoh parpol di Cirebon itu.
Sebelumnya, seorang pengusaha dari Jawa Timur, La Nyalla Mattalitti juga mengaku atau mengklaim bahwa dirinya harus memberikan "mahar politik" miliaran rupiah agar pencalonan dirinya itu sukses sebagai calon gubernur. Namun lagi-lagi pengakuan La Nyalla itu dibantah oleh tokoh parpol di Jawa Timur itu.
Akibatnya, La Nyalla Mattalitti terpaksa harus "bercerita" tentang dimintanya uang sogokan itu.
Kok Terjadi?
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian baru-baru ini mengungkapkan bahwa untuk menjadi calon bupati saja, seseorang harus menyediakan uang Rp30 miliar.
Kalau sukses menjadi bupati maka pertanyaan Kapolri adalah gaji atau bahkan pendapatan selama lima tahun ini pasti tidak akan mungkin mengembalikan uang Rp30 miliar itu, maka akankah satu-satunya alternatif adalah menggerogoti uang APBD setempat?.
Sang bupati pasti juga akan mulai berpikir bahwa bisa saja dia tidak terpilih untuk masa jabatan atau periode kedua sehingga juga harus memiliki "tabungan" selama menjadi pejabat.
Kalau begitu, bagaimana mengatasi masalah uang atau modal yang "segunung" itu?
Cara yang paling mudah dipikirkan tapi sama sekali tidak mudah dilaksanakan adalah Kementerian Dalam Negeri yang membawahi gubernur, bupati dan wali kota harus mencari cara agar pemilihan kepala daerah itu tidak ruwet, berbelit-belit serta tak makan waktu lama.
Coba bagaimana seorang calon gubernur Papua, misalnya, harus mendatangi semua kota, kabupaten atau distrik (kecamatan) untuk berkampanye guna mendapat dukungan dari calon pemilih kalau begitu banyak daerah terpencil hanya bisa didatangi dengan pesawat udara--yang pasti mahal--sambil membawa ratusan atau ribuan kaos, poster, pulpen serta berbagai jenis "cendera mata" bagi para pemilihnya.
Kalau calon bupati saja harus menyediakan uang Rp30 miliar, maka bagaimana seorang calon gubernur harus memiliki anggaran "segunung" apalagi seorang calon presiden untuk menghadapi pilpres?
Rakyat pasti sudah sangat benci, jengkel bahkan muak menghadapi kenyataan banyak gubernur, bupati hingga wali kota yang terpaksa harus ditangkap oleh KPK hanya gara-gara berkorupsi sehingga keadaan memprihatinkan atau bahkan memalukan ini harus segera dihentikan.
Tentu masyarakat berhak menaruh harapan kepada Presiden Joko Widodo, Menko Polhukam Wiranto serta Mendagri Tjahjo Kumolo agar menghasilkan "resep jitu" supaya tidak ada lagi bupati, wali kota sampai dengan gubernur yang "masuk bui" gara-gara korupsi uang rakyat.
Yang amat didambakan rakyat dari para pemimpinnya sama sekali tidak banyak atau tak berlebihan, yakni bagaimana harga bahan pokok sehari-hari mulai dari beras, gula, kopi, gula pasir bisa murah dan tidak terus melonjak-lonjak, uang sekolah yang tak mahal, mudah mencari pekerjaan serta punya rumah hingga tak ada lagi korupsi.
Berlebihankah harapan rakyat itu?
Yang kemudian muncul adalah suasana "panas" apalagi ada satu parpol yang para pemimpinnya mulai saling memaki dan pecat-memecat.
Masyarakat selama beberapa hari terakhir ini, mulai menyaksikan suasana saling mencemooh hingga pecat-memecat diantara para tokoh Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura, terutama ketika beberapa tokohnya memecat Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Hanura Oesman Sapta Odang dan kemudian menunjuk Pelaksana Tugas Ketua Umum Daryatmo.
Namun, tak mau kalah gertak, Oesman Sapta Odang--yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahkan juga Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah--memecat Sekretaris Jenderal DPP Hanura Syarifuddin Suding.
Pecat-memecat ini patut disimak karena bagaimanapun juga Partai Hanura adalah salah satu partai politik peserta yang ikut dalam kontestansi pilkada yang akan datang sehingga "pertarungan internal" itu bisa diperkirakan mempengaruhi tingkat konsentrasi para pemimpin, anggota hingga simpatisannya.
Dunia politik di Tanah Air ini seharusnya patut memuji atau menghargai atau apapun istilahnya terhadap Partai Golkar yang akhirnya mampu memilih ketua umum yang baru, yaitu Airlangga Hartarto untuk menggantikan Setya Novanto karena diduga terlibat kasus korupsi dengan kerugian negara tidak kurang dari Rp2,3 triliun pada proyek KTP elektronik yang bernilai Rp5,9 triliun.
Tentu masyarakat amat berharap agar kemelut di Partai Hanura--siapa pun "pemenangnya"--dapat diselesaikan secara baik apalagi partai ini belumlah menjadi parpol yang "benar-benar besar dan kuat".
Karena sekarang sudah bulan Januari, sedangkan pilkada serentak dijadwalkan berlangsung 27 Juni 2018 maka waktunya sudah sangat "mepet", yakni persiapannya tinggal enam bulan lagi. Semua pihak mulai lagi pemerintah, KPU, Bawaslu, panwaslu, masyarakat sudah harus memeras keringat agar pesta demokrasi ini benar-benar berlangsung jujur dan adil alias jurdil serta bebas rahasia.
"Mahar Politik"
Karena pesta demokrasi ini akan memilih gubernur-wakil gubernur, wali kota dan wakil wali kota hingga bupati dan wakil bupati, maka tentu saja begitu banyak calon kepala daerah yang merasa dirinya mampu menjadi gubernur, bupati dan wali kota.
Mereka mulai "menjual dirinya" kepada partai-partai politik yang diharapkan bisa mendukung pencalonan dirinya itu. Namun ternyata hal itu sama sekali tidak gampang.
Seorang bakal calon wali kota Cirebon, Jawa Barat, Brigadir Jenderal Polisi Purnawirawan Siswandi mengaku harus memberikan "uang sogokan" atau istilah kerennya "mahar politik" sedikitnya ratusan juta rupiah agar bisa didukung oleh satu partai.
Tentu saja "tuduhan" minta "mahar politik" atau bahasa gampangnya "sogokan" itu dibantah habis-habisan oleh para tokoh parpol di Cirebon itu.
Sebelumnya, seorang pengusaha dari Jawa Timur, La Nyalla Mattalitti juga mengaku atau mengklaim bahwa dirinya harus memberikan "mahar politik" miliaran rupiah agar pencalonan dirinya itu sukses sebagai calon gubernur. Namun lagi-lagi pengakuan La Nyalla itu dibantah oleh tokoh parpol di Jawa Timur itu.
Akibatnya, La Nyalla Mattalitti terpaksa harus "bercerita" tentang dimintanya uang sogokan itu.
Kok Terjadi?
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian baru-baru ini mengungkapkan bahwa untuk menjadi calon bupati saja, seseorang harus menyediakan uang Rp30 miliar.
Kalau sukses menjadi bupati maka pertanyaan Kapolri adalah gaji atau bahkan pendapatan selama lima tahun ini pasti tidak akan mungkin mengembalikan uang Rp30 miliar itu, maka akankah satu-satunya alternatif adalah menggerogoti uang APBD setempat?.
Sang bupati pasti juga akan mulai berpikir bahwa bisa saja dia tidak terpilih untuk masa jabatan atau periode kedua sehingga juga harus memiliki "tabungan" selama menjadi pejabat.
Kalau begitu, bagaimana mengatasi masalah uang atau modal yang "segunung" itu?
Cara yang paling mudah dipikirkan tapi sama sekali tidak mudah dilaksanakan adalah Kementerian Dalam Negeri yang membawahi gubernur, bupati dan wali kota harus mencari cara agar pemilihan kepala daerah itu tidak ruwet, berbelit-belit serta tak makan waktu lama.
Coba bagaimana seorang calon gubernur Papua, misalnya, harus mendatangi semua kota, kabupaten atau distrik (kecamatan) untuk berkampanye guna mendapat dukungan dari calon pemilih kalau begitu banyak daerah terpencil hanya bisa didatangi dengan pesawat udara--yang pasti mahal--sambil membawa ratusan atau ribuan kaos, poster, pulpen serta berbagai jenis "cendera mata" bagi para pemilihnya.
Kalau calon bupati saja harus menyediakan uang Rp30 miliar, maka bagaimana seorang calon gubernur harus memiliki anggaran "segunung" apalagi seorang calon presiden untuk menghadapi pilpres?
Rakyat pasti sudah sangat benci, jengkel bahkan muak menghadapi kenyataan banyak gubernur, bupati hingga wali kota yang terpaksa harus ditangkap oleh KPK hanya gara-gara berkorupsi sehingga keadaan memprihatinkan atau bahkan memalukan ini harus segera dihentikan.
Tentu masyarakat berhak menaruh harapan kepada Presiden Joko Widodo, Menko Polhukam Wiranto serta Mendagri Tjahjo Kumolo agar menghasilkan "resep jitu" supaya tidak ada lagi bupati, wali kota sampai dengan gubernur yang "masuk bui" gara-gara korupsi uang rakyat.
Yang amat didambakan rakyat dari para pemimpinnya sama sekali tidak banyak atau tak berlebihan, yakni bagaimana harga bahan pokok sehari-hari mulai dari beras, gula, kopi, gula pasir bisa murah dan tidak terus melonjak-lonjak, uang sekolah yang tak mahal, mudah mencari pekerjaan serta punya rumah hingga tak ada lagi korupsi.
Berlebihankah harapan rakyat itu?
Pewarta: Arnaz F. Firman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: