Peradi akan periksa etik Fredrich Yunadi
14 Januari 2018 21:10 WIB
Mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi (tengah) mengenakan rompi tahanan usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (13/1/2018). Tersangka kasus dugaan merintangi penyidikan perkara KTP Elektronik yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto tersebut resmi ditahan KPK setelah sebelumnya ditangkap KPK pada Jumat (12/1/2018) malam. (ANTARA FOTO/Elang Senja)
Jakarta (ANTARA News) - Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menyatakan akan memeriksa etik mantan kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi.
"Penyidikan bolehlah sama-sama berjalan, dia (KPK) mungkin mempunyai dasar dan punya alat bukti yang cukup bahwa telah terjadi tindak pidana," kata Anggota Komisi Pengawas Peradi Kaspudin Noor kepada Antara di Jakarta, Minggu malam.
Ia menambahkan tentunya KPK masih mengedepankan asas praduga tidak bersalah dengan memberikan kesempatan kepada Fredrich untuk membela dirinya. "Itu kan diatur dalam undang-undang," katanya.
Jadi, kata eks Komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI), tidak boleh ada penghukuman sebelum putusan dari pengadilan. "Semoga juga penangkapan terhadap Fredrich ini berdasarkan Pasal 21 yang diatur dalam KUHAP, bukan karena alasan vokal dalam pembelaan terhadap kliennya," katanya.
Dijelaskan, sidang etik Peradi sendiri akan memeriksa sesuai fakta apakah kasusnya itu pelanggaran hukum atau pelanggaran etik. Selanjutnya dari hasil sidang etik itu akan diputuskan oleh Dewan Kehormatan Peradi Jakarta.
Fredrich Yunadi ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan merintangi penyidikan kasus KTP elektronik dengan tersangka Setya Novanto pada 10 Januari 2018 dan saat ini sudah ditahan di KPK.
Fredrich dan juga Bimanesh diduga bekerja sama untuk memalsukan tersangka Setya Novanto ke rumah sakit untuk dilakukan rawat inap dengan data-data medis yang diduga dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghindari panggilan dan pemeriksaan oleh penyidik KPK termasuk dengan menyewa satu lantai di RS Medika Permata Hijau.
Atas perbuatannya tersebut, Fredrich dan Bimanesh disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.
"Penyidikan bolehlah sama-sama berjalan, dia (KPK) mungkin mempunyai dasar dan punya alat bukti yang cukup bahwa telah terjadi tindak pidana," kata Anggota Komisi Pengawas Peradi Kaspudin Noor kepada Antara di Jakarta, Minggu malam.
Ia menambahkan tentunya KPK masih mengedepankan asas praduga tidak bersalah dengan memberikan kesempatan kepada Fredrich untuk membela dirinya. "Itu kan diatur dalam undang-undang," katanya.
Jadi, kata eks Komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI), tidak boleh ada penghukuman sebelum putusan dari pengadilan. "Semoga juga penangkapan terhadap Fredrich ini berdasarkan Pasal 21 yang diatur dalam KUHAP, bukan karena alasan vokal dalam pembelaan terhadap kliennya," katanya.
Dijelaskan, sidang etik Peradi sendiri akan memeriksa sesuai fakta apakah kasusnya itu pelanggaran hukum atau pelanggaran etik. Selanjutnya dari hasil sidang etik itu akan diputuskan oleh Dewan Kehormatan Peradi Jakarta.
Fredrich Yunadi ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan merintangi penyidikan kasus KTP elektronik dengan tersangka Setya Novanto pada 10 Januari 2018 dan saat ini sudah ditahan di KPK.
Fredrich dan juga Bimanesh diduga bekerja sama untuk memalsukan tersangka Setya Novanto ke rumah sakit untuk dilakukan rawat inap dengan data-data medis yang diduga dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghindari panggilan dan pemeriksaan oleh penyidik KPK termasuk dengan menyewa satu lantai di RS Medika Permata Hijau.
Atas perbuatannya tersebut, Fredrich dan Bimanesh disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018
Tags: