Jakarta (ANTARA News) - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Ahmad Nurhasim, mengatakan , jurnalis di Jakarta masih banyak yang diupah di bawah standar upah layak.

"Dari 31 media yang disurvei dan diverifikasi datanya pada Desember 2017, secara umum ada sedikit kenaikan upah riil, tetapi tetap di bawah standar upah layak," kata Nurhasim, sdi Jakarta, Minggu.

Dia mengatakan, dari media-media yang disurvei hanya ada satu media cetak besar nasional yang memberikan upah jurnalis pemulanya di atas upah layak yang ditetapkan AJI Jakarta, yaitu Rp7,963.949 per bulan.

Media cetak besar itu mengupah jurnalis pemulanya Rp8,7 juta per bulan. Selain itu, AJI Jakarta juga menemukan upah jurnalis di dua media asing yang beroperasi di Indonesia, yaitu 15 juta per bulan dan 12 juta per bulan.

Jurnalis yang bekerja di media asing biasanya telah memiliki pengalaman kerja beberapa tahun di media nasional sebelum pindah bekerja di media asing itu.

"Mengapa perusahaan-perusahaan media besar lainnya mengupah lebih kecil, itu perlu ditelusuri lebih lanjut dan seharusnya menjadi pertanyaan besar oleh jurnalis di masing-masing media," tuturnya.

Survei AJI Jakarta menemukan upah jurnalis pemula berkisar Rp3,1 juta hingga Rp6,4 juta. Kebanyakan media mengupah jurnalisnya di kisaran Rp4 juta.

Beberapa media bahkan mengupah jurnalis pemulanya di bawah Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta. UMP DKI Jakarta 2018 adalah Rp3,64 juta, sedangkan AJI Jakarta menemukan beberapa media yang mengupah jurnalis pemulanya di kisaran Rp3,35 juta.

"Mayoritas responden bekerja lebih dari delapan jam dan tanpa pernah mendapat uang lembur. Artinya, jurnalis dibayar rendah, jam kerja panjang, dan tanpa ada kompensasi apapun atas kelebihan jam kerja," kata Hasim.

AJI Jakarta menyatakan jurnalis yang memperoleh upah secara layak bisa bekerja profesional dan tidak tergoda menerima amplop yang bisa merusak independensi jurnalis dan media.

Upah layak akan meningkatkan mutu produk jurnalisme. Upah kecil kerap menjadi pemicu jurnalis menerima sogokan dari narasumber.

"Itu berbahaya bagi masa depan jurnalisme dan masa depan demokrasi di Indonesia karena berita yang dihasilkan dari 'jurnalisme amplop' berpotensi menjadi racun bagi kebebasan pers," kata Nurhasim.