KPK masih pertimbangkan soal "justice collaborator" Novanto
12 Januari 2018 23:52 WIB
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto (kiri) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (11/1/2018). Sidang mantan ketua DPR itu beragendakan pemeriksaan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK. (ANTARA /Sigid Kurniawan)
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mempertimbangkan pengajuan "Justice Collaborator" (JC) dari terdakwa perkara KTP-elektronik (KTP-e) Setya Novanto.
JC sendiri merupakan pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum ke KPK.
"Masih dalam proses pertimbangan karena mengabulkan atau tidak posisi JC tidak bisa dilakukan secara cepat. Butuh pertimbangan yang cukup panjang," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat.
Selain itu, kata dia, KPK pun akan melihat juga konsistensinya Setya Novanto dalam persidangan perkara KTP-e apakah yang bersangkutan cukup kooperatif dan mengakui perbuatannya.
"Kalau masih berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatan tentu saja itu akan menjadi faktor tidak dikabulkannya JC karena itu kami butuh waktu. Kami lihat perkembangan proses penyidikan dan proses persidangan yang sedang berjalan ini sampai dengan tahap akhir nanti," tuturnya.
Menurut dia, posisi Novanto yang mengajukan JC akan sangat berkonsekuensi nantinya terhadap tuntutan, putusan, atau hal-hal setelah nantinya menjadi terpidana.
"Itu perlu kami pertimbangkan lebih lanjut. Terutama kami juga akan melihat siapa saja aktor lain yang akan dibuka oleh Setya Novanto terkait KTP-e atau kasus yang lain," ucap Febri.
Untuk diketahui, Novanto didakwa mendapat keuntungan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-e.
Novanto didakwa pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
JC sendiri merupakan pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum ke KPK.
"Masih dalam proses pertimbangan karena mengabulkan atau tidak posisi JC tidak bisa dilakukan secara cepat. Butuh pertimbangan yang cukup panjang," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat.
Selain itu, kata dia, KPK pun akan melihat juga konsistensinya Setya Novanto dalam persidangan perkara KTP-e apakah yang bersangkutan cukup kooperatif dan mengakui perbuatannya.
"Kalau masih berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatan tentu saja itu akan menjadi faktor tidak dikabulkannya JC karena itu kami butuh waktu. Kami lihat perkembangan proses penyidikan dan proses persidangan yang sedang berjalan ini sampai dengan tahap akhir nanti," tuturnya.
Menurut dia, posisi Novanto yang mengajukan JC akan sangat berkonsekuensi nantinya terhadap tuntutan, putusan, atau hal-hal setelah nantinya menjadi terpidana.
"Itu perlu kami pertimbangkan lebih lanjut. Terutama kami juga akan melihat siapa saja aktor lain yang akan dibuka oleh Setya Novanto terkait KTP-e atau kasus yang lain," ucap Febri.
Untuk diketahui, Novanto didakwa mendapat keuntungan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-e.
Novanto didakwa pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018
Tags: