Jakarta (ANTARA News) - Indonesia merupakan negara yang tingkat ketimpangan ekonominya sangat serius karena kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin sangat nyata, kata pengamat ekonomi yang juga dosen Universias Indonesia Sutrisno Iwantono di Jakarta, Senin. "Pesan dari Forum Ekonomi Dunia tentang Ekonomi Asia Timur bahwa pertumbuhan ekonomi memang mengesankan, tetapi bersamaan dengan itu ketimpangan menjadi bom waktu yang pada saatnya bisa menimbulkan ledakan sosial yang parah sehingga harus direspon dengan sungguh-sungguh," katanya. "Dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia tentang Ekonomi Asia Timur di Singapura, Minggu kemarin terungkap bahwa Asia juga menjadi lokasi warga paling miskin di dunia," kata mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tersebut dalam surat elektroniknya. Mengenai ketimpangan ekonomi di Indonesia, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) tersebut memberi contoh di sektor pertanian. Ia mengatakan persoalan pangan terus menghantui Indonesia. Belakangan malah Indonesia akan mengimpor benih dari China, yang jelas-jelas hal ini dapat berakibat matinya para penangkar benih dalam negeri, yang pada giliranya akan menciptakan ketergantungan impor benih dari China. Kemudian dalam masalah infrastruktur, irigasi di Indonesia banyak yang rusak dan belum ada perbaikan serius. Demikian juga tidak ada pembangunan irigasi baru. "Bagaimana kita mencapai swa sembada pangan jika benih masih menjadi soal dan irigasi rusak," katanya. Ia mengkhawatirkan masalah tersebut akan semakin menambah ketimbangan ekonomi di Indonesia. "Sayangnya kita baru tersadar ketika pihak luar negeri mengemukakan hal itu. Padahal dari dalam negeri para pimpinan organisasi kemasyarakatan, para pengamat telah lama mengingatkan. Menteri Mari (Mendag Mari Elka Pangestu) adalah mantan pengamat ekonomi yang saya yakin juga sangat paham mengenai hal itu, tetapi ketika menjabat Menteri malah kadang-kadang suka lupa," katanya. Iwantono mengatakan ajakan Menteri Mari untuk mengatasi masalah tersebut sangat penting. Tetapi yang lebih penting ajakan tersebut janganlah basa-basi, tetapi betul-betul jujur. Soal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), misalnya, berbagai organisasi masyarakat yang menaruh perhatian tentang itu sangat banyak mulai dari di sektor pertanian, perikanan, UKM, sektor jasa, industri, dan perdagangan. Tetapi diantara mereka banyak yang sebenarnya belum sepenuhnya menguasai soal detail. Oleh karena itu perlu sosialisasi dan edukasi. Paling tidak setiap kemajuan atau kemunduran yang terjadi diadakan penjelasan kepada unsur "stake holder" sehingga mereka mengetahui perkembangan. Lantas mereka juga dapat memberikan dukungan dengan menyampaikan temuan atau fakta-fakta riil di lapangan. Hal yang sama juga terjadi dalam soal EPA ("Economic Partnership Agreement") dengan Jepang. Semestinya juga ada semacam penjelasan kepada "stake holder" dari setiap kemajuan perundingan, dan jangan sampai nanti setelah ditandatangani pelaku bisnis tidak siap dan malah berdampak merugikan, kata mantan Deputi Menteri Koperasi UKM itu.(*)