Pengamat: Waspadai hoaks pada tahun politik
9 Januari 2018 19:46 WIB
Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris (kanan) menyampaikan pendapatnya disaksikan pengamat terorisme Nasir Abbas (kiri) dan moderator Hendri Satrio (tengah) saat diskusi mengenai ISIS di Jakarta, Kamis (19/3/15). (ANTARA FOTO/Andika Wahyu) ()
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Komunikasi Politik Universitas Paramadina Dr Hendri Satrio mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai hoaks atau berita palsu dan narasi kekerasan berbau SARA yang berseliweran pada tahun politik 2018 dan 2019.
"Kuncinya adalah selektif dalam menilai setiap pesan yang beredar dan dewasa dalam menyikapi pesan yang beredar," kata Hendri di Jakarta, Selasa.
Menurut dia hoaks dan narasi kekerasan itu sulit dihindari di tengah "booming" sosial media (sosmed) dan teknologi informasi.
Karena itu, lanjut Hendri, semua pihak harus benar-benar memiliki pengetahuan sebagai benteng untuk memberantas hoaks dan narasi kekerasan tersebut.
"Memberantas hoaks itu sebetulnya mudah, cukup kita melakukan cek dan cek ulang terhadap setiap informasi yang janggal atau memiliki citra negatif. Bila hal ini terbiasa kita lakukan, hoaks otomatis bisa kita diatasi," ujar Hendri.
Begitu juga dengan narasi kekerasan. Menurut Hendri, untuk meredamnya masyarakat harus mampu menahan diri dari pengaruh buruk media massa dan medsos. Setiap individu pemilik akun media sosial dituntut dewasa dalam mengelola pesanyanf diterima maupun yang hendak disebarkan.
"Budaya instan tidak boleh digunakan pada era keterbukaan informasi. Semua informasi harus disaring dan ditelaah sebelum disimpulkan. Selain itu, kebiasaan menyebarkan atau meneruskan berita negatif atas dasar eksistensi atau biar eksis juga harus dihilangkan," katanya.
Menurut dia ketegangan berbau SARA yang terjadi pada Pilkada DKI lalu harus benar-benar menjadi pelajaran dan hendaknya tidak terulang pada pilkada serentak di 171 daerah tahun ini dan pada pemilu presiden tahun depan.
"Demokrasi memang masuk ke ranah baru, era medsos. Perdebatan di medsos dipersilakan selama menggunakan informasi yang benar dan tidak menggunakan isu SARA," kata pria yang juga aktif di Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) ini.
"Kuncinya adalah selektif dalam menilai setiap pesan yang beredar dan dewasa dalam menyikapi pesan yang beredar," kata Hendri di Jakarta, Selasa.
Menurut dia hoaks dan narasi kekerasan itu sulit dihindari di tengah "booming" sosial media (sosmed) dan teknologi informasi.
Karena itu, lanjut Hendri, semua pihak harus benar-benar memiliki pengetahuan sebagai benteng untuk memberantas hoaks dan narasi kekerasan tersebut.
"Memberantas hoaks itu sebetulnya mudah, cukup kita melakukan cek dan cek ulang terhadap setiap informasi yang janggal atau memiliki citra negatif. Bila hal ini terbiasa kita lakukan, hoaks otomatis bisa kita diatasi," ujar Hendri.
Begitu juga dengan narasi kekerasan. Menurut Hendri, untuk meredamnya masyarakat harus mampu menahan diri dari pengaruh buruk media massa dan medsos. Setiap individu pemilik akun media sosial dituntut dewasa dalam mengelola pesanyanf diterima maupun yang hendak disebarkan.
"Budaya instan tidak boleh digunakan pada era keterbukaan informasi. Semua informasi harus disaring dan ditelaah sebelum disimpulkan. Selain itu, kebiasaan menyebarkan atau meneruskan berita negatif atas dasar eksistensi atau biar eksis juga harus dihilangkan," katanya.
Menurut dia ketegangan berbau SARA yang terjadi pada Pilkada DKI lalu harus benar-benar menjadi pelajaran dan hendaknya tidak terulang pada pilkada serentak di 171 daerah tahun ini dan pada pemilu presiden tahun depan.
"Demokrasi memang masuk ke ranah baru, era medsos. Perdebatan di medsos dipersilakan selama menggunakan informasi yang benar dan tidak menggunakan isu SARA," kata pria yang juga aktif di Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) ini.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018
Tags: