Jakarta (ANTARA News) - Setiap industri atau pelaku usaha pariwisata dinilai harus memiliki kebijakan perlindungan anak guna mencegah terjadinya eksploitasi seksual anak di destinasi wisata.

"Agar setiap industri pariwisata punya kebijakan perlindungan anak di usaha atau destinasi pariwisata, sehingga anak-anak aman," kata Koordinator Ecpat (`Ending the Sexual Exploitation of Children`) Indonesia Ahmad Sofian di Jakarta, Kamis.

Sofian menilai kebijakan perlindungan anak bisa diterapkan menjadi salah satu persyaratan bagi setiap pelaku usaha wisata di destinasi wisata.

"Misalnya di tempat usaha wisata ada rambu-rambu, training stafnya, rekrutmen pegawai ada persyaratan, ada larangan-larangan dan apabila ada kejadian ke mana harus melapor," kata dia.

Menurut penelitian LSM yang bergerak di bidang penghapusan eksploitasi untuk anak tersebut tempat-tempat wisata sangat rawan terjadi eksploitasi seksual terhadap anak.

Penelitian Ecpat di 10 kabupaten destinasi wisata Indonesia menunjukkan empat di antaranya sangat rawan terhadap eksploitasi seksual anak.

Sofian melaporkan temuan di lingkungan tempat-tempat wisata mengetahui dan membiarkan terjadinya eksploitasi seksual anak.

Catatan Ecpat menunjukkan tren kasus eksploitasi seksual komersial anak di destinasi pariwisata di wilayah urban dan kota besar terjadi kegiatan prostitusi yang berpusat di pusat hiburan malam.

Sementara di destinasi wisata di daerah-daerah kasus eksploitasi seksual anak bermula dari pemandu wisata, terapis spa, hingga pendamping lagu.

Asisten Deputi Tata Kelola Destinasi Pariwisata Kementerian Pariwisata Oneng Setya Harini mengatakan setiap pelaku usaha diwajibkan memiliki Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) yang mensyaratkan sejumlah ketentuan.

"Di situ selalu mencantumkan tentang kode etik pariwisata, termasuk tidak boleh ada narkoba, tidak ada eksploitasi anak, bebas dari penularan HIV-Aids. Kalau salah satu itu ada, berati tidak bisa dapat TDUP," kata Oneng.