Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Penuntut Umum KPK meminta agar keberatan atau eksepsi tim penasihat hukum mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-Elektronik ditolak oleh majelis hakim.

"Kami Penuntut Umum memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk memutuskan, satu, menolak keberatan/eksepsi dari tim penasihat hukum terdakwa; dua menyatakan bahwa Surat Dakwaan No Dak-88/24/12/2017 tanggal 6 Desember 2017 yang telah kami bacakan pada tanggal 13 Desember 2017 telah memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP; tiga menetapkan untuk melanjutkan persidangan ini berdasarkan surat dakwaan penuntut umum," kata Jaksa penuntut Umum KPK Eva Yustisiana dalam sidang pembacaan tanggapan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Pada sidang 20 Desember 2017 lalu, tim pengacara Setnov yang dipimpin Maqdir Ismail telah mengajukan sejumlah keberatan terhadap surat dakwaan.

Keberatan tersebut antara lain mengenai kerugian keuangan negara tidak nyata dan tidak pasti karena dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto serta Andi AGustinus, kerugan negara adalah senilai Rp2,31 triliun berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) itu tidak memperhitungkan penerimaan 7,3 juta dolar AS atau setara Rp94,9 miliar untuk Setya Novanto, 800 ribu dolar AS atau setara Rp10,4 miliar untuk Charles Sutanto dan Rp2 juta untuk Tri Sampurno yang seluruhnya sebesar Rp105,3 miliar.

"Adapun mengenai dalil penasihat hukum mengenai penghitungan kerugian keuangan negara yang tidak nyata dan pasti karena tidak memperhitungkan penerimaan uang yang dilakukan oleh terdakwa, Charles Sutanto Ekapradja dan Tri Sampurno tersebut diatas, hal itu semakin menunjukkan ketidakpahaman Penasihat Hukum akan perbedaan unsur memperkaya/menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan unsur `merugikan keuangan negara`, serta menunjukkan kegagalan Penasihat Hukum dalam memahami laporan penghitungan kerugian keuangan negara No. SR-338/D6/01/2016 tanggal 11 Mei 2016," kata jaksa Eva.

Menurut Eva, dalam audit tersebut, auditor hanya bertugas menghitung kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun tidak sengaja.

"Perhitungan tersebut untuk mendukung pembuktian unsur `merugikan keuangan negara`," menurut Eva.

Dalam praktoknya pengertian kekurangan uang atau kekurangan barang dapat berupa negara telah membayarkan suatu barang/jasa dalam jumlah tertentu, namun tidak mendapatkan barang/jasa tidak sebagaimana mestinya baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Adapun mengenai aliran uang atau pihak-pihak yang diperkaya atau diuntungkan dari berkurangnya uang atau barang tersebut, bukan termasuk wewenang auditor untuk menentukannya melainkan wewenang penegak hukum untuk mencari pihak-pihak yang diperkaya atau diuntungkan tersebut, karena hal ini untuk mendukung pembuktian unsur memperkaya/menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi.

"Dengan demikian wajar jika audit penghitungan kerugian keuangan negara tidak mencantumkan nama-nama pihak yang menikmati menikmati uang haram tersebut," tambah Eva.

Keberatan lain adalah terkait Setnov didakwa bersama-sama melakukan tindak pidana namun pihak-pihak yang diperkaya atau diuntungkan jumlahnya berbeda.

Sebagai contoh, Gamawan Fauzi dalam dakwaan Irman dan Sugiharto dinyatakan menerima uang sebesar 4,5 juta dolar AS dan Rp50 juta namun dalam dakwaan Andi Agustinus jumlah "fee" yang diterima oleh Gamawan Fauzi menjadi hanya sebesar Rp50 juta, bahkan dalam dakwaan Setnov nilainya disebut diubah secara sepihak oleh penuntut umum menjadi bertambah Rp50 juta, 1 unit ruko di Grand Wijaya dan ditambah sebidang tanah di Jalan Brawijaya III, Jakarta Selatan.

"Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka untuk dapat menentukan apakah ada turut serta melakukan atau tidak serta kualifikasinya, kita tidak melihat kepada perbuatan masing-masing peserta secara satu persatu dan berdiri sendiri, terlepas dari hubungan perbuatan-perbuatan peserta lainnya, melainkan melihat perbuatan masing-masing peserta dalam hubungan dan sebagai kesatuan dengan perbuatan peserta-peserta lainnya," ungkap Eva.

Hal-hal tersebut tentu harus dibuktikan dengan alat-alat bukti yang sah, termasuk pula untuk membuktikan unsur "opzet" dan meeting of mind antara terdakwa dengan pelaku lainnya, yang mekanismenya akan akan dilakukan dalam pembuktian pokok perkara atau dalam ranah sidang pembuktian, sehingga dari pembuktian tersebut akan terlihat pula kualifikasi terdakwa apakah sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan. "Dengan kata lain penentuan kualifikasi tersebut masuk dalam ranah materi pokok perkara, sehingga dalil penasihat hukum mengenai hal ini harus dikesampingkan," tambah Eva.

Sidang akan dilanjutkan pada 4 Januari dengan agenda putusan sela.

Dalam perkara ini Setnov diduga menerima 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-E. Setya Novanto menerima uang tersebut melalui mantan direktur PT Murakabi sekaligus keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo maupun rekan Setnov dan juga pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura Made Oka Masagung.

Sedangkan jam tangan diterima Setnov dari pengusaha Andi Agustinus dan direktur PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena Setnov telah membantu memperlancar proses penganggaran.