Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, sampai Oktober 2017 terdapat 13 fasilitas pemurnian (smelter) nikel sudah beroperasi dan menghasilkan berbagai macam produk, seperti NPI, FeNi dan NiHidroxide.
"Investasi smelter nikel itu senilai Rp68 triliun, mulai dari Vale, Antam, Sulawesi Mining Investment, COR Industri Indonesia, dan lainnya. Ada tiga belas perusahaan yang beroperasi, ini semua beroperasi dan tidak ada yang berhenti," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Rabu.
Ada pun ke-13 perusahaan yang telah membangun smelter nikel adalah PT Vale Indonesia, PT Aneka Tambang (Pomala), PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara, PT Sulawesi Mining Investment, PT Gebe Industry Nickel, PT Megah Surya Pertiwi, dan PT COR Industri Indonesia.
Kemudian, Heng Tai Yuan, Century Metalindo, Indonesia Guang Ching Nikel and Stainless Steel, Virtu Dragon, PT Surya Saga Utama (Blackspace) dan PT Bintang Timur Steel.
Sampai dengan Oktober 2017, ia mengemukakan, ke-13 smelter nikel yang sudah terbangun dan beroperasi tersebut menghasilkan 598.000 ton (FeNi dan NPI) serta 64.000 ton Ni-Matte, serta mampu memurnikan bijih nikel di dalam negeri mencapai 34 juta ton.
Bambang menyatakan, selama dua tahun terakhir ada dua smelter nikel yang berhenti beroperasi karena faktor keekonomian akibat dari meningkatnya biaya operasi (kokas) dan melemahnya harga komoditas mineral di awal 2017.
"Fasilitas pemurnian nikel yang berhenti beroperasi adalah Indoferro sejak 19 Juli 2017, dan Cahaya Modern Metal Industri sejak Januari 2016 karena kenaikan harga kokas mencapai 300 US Dollar per ton," katanya.
Tingkat keekonomian dalam mengoperasikan peleburan nikel dengan menggunakan teknologi Blast Furnace sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku, salah satunya adalah kokas yang memiliki porsi 40 persen dari total biaya produksi.
Penyebab utama tidak beroperasinya smelter yang menggunakan teknologi Blast Furnace adalah meningkatnya harga kokas dari rata-rata 100 dolar AS per ton pada 2015 menjadi 200 hingga 300 dolar AS per ton sejak akhir 2016.
Hal tersebut yang mengakibatkan terhentinya kegiatan produksi PT Cahaya Modern Metal Industri, sedangkan PT Indoferro sejak awal tidak didesain untuk memurnikan bijih nikel sehingga tingkat keekonomiannya akan berbeda dengan desain awal. Indoferro semula didesain untuk memurnikan bijih besi, demikian Bambang Gatot Ariyono.
ESDM: 13 smelter nikel beroperasi
27 Desember 2017 15:46 WIB
Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017
Tags: