Laporan dari Bangladesh - Rohingya sudah tak percayai janji Myanmar, repatriasi itu "bohong"
26 Desember 2017 08:24 WIB
Anak Rohingya Pengungsi Rohingya Tasmin (4 tahun) yang merupakan yatim piatu di kamp pengungsian Madhuchara, Kutupalong, Cox's Bazar, Sabtu (23/12). Ayah Tasmin menjadi korban penindasan militer di Myanmar, sedangkan ibunya sudah meninggal karena sakit saat ia berusia 1 tahun. Kini Tasmin dirawat nenek dari ibunya. Sekitar 14.000 anak pengungsi Rohingya kehilangan orang tua mereka. (ANTARA News/Monalisa) (ANTARA News/Monalisa)
Cox's Bazar (ANTARA News) - Bangladesh dan Myanmar pada 23 November menyepakati reptariasi pengungsi Rohingya, untuk segera memulai proses pemulangan warga Rohingnya yang melarikan diri ke Bangladesh.
Menyusul tekanan internasional, Myanmar sepakat akan memulihkan situasi di negara bagian Rakhine bagian utara dan mendorong pengungsi Rohingya kembali dengan sukarela dan selamat ke rumah mereka masing-masing.
Ironisnya, Myanmar mengajukan syarat. Mereka hanya mau menerima pengungsi Rohingya jika mereka memiliki bukti-bukti pernah tinggal di negara itu.
Nyatanya, sebagian besar warga Rohingya kesulitan mendapatkan surat identitas di Myanmar karena sejak puluhan tahun silam diabaikan dan dicampakkan pemerintahnya sendiri.
"Saya tidak percaya pemerintah Myanmar karena ini sudah menjadi sejarah yang panjang tentang kebohongan mereka, sejak Myanmar mendapat kemerdekaan pada tahun 1947," kata Humidor kepada ANTARA News, Senin (25/12).
Humidor adalah pengungsi Rohingya yang mendapatkan gelar sarjana dari ilmu Islam dan Alquran, serta sempat mengambil kursus pendek jurnalistik. Selama ini ia aktif menyuarakan nasib etnis Rohingya lewat blog.
"Menurut saya repatriasi bukan hal yang tepat saat ini untuk kami, terutama setelah puncak kekerasan yang mereka lakukan terhadap etnis Rohingya tahun ini. Myanmar belum menyiapkan apa-apa, sementara pengungsi sudah tidak memiliki apa-apa. Apa fasilitas yang akan mereka berikan? Apakah lahan-lahan dan properti warga Rohingya akan diberikan kembali ke mereka? Ini belum selesai," jelas Humidor.
Ia mengatakan saat ini pengungsi Rohingya hidup dalam kondisi memprihatinkan meskipun ditampung dalam pengungsian.
"Mereka hanya bisa bertahan hidup saja. Ini lah kenapa saya bilang belum saatnya pemulangan pengungsi sekarang. Karena saya pesimistis pemerintah Myanmar dapat memberikan hak-hak kami, fasilitas, dan memberikan optimisme kepada kami," ujar pria berusia 30 tahun itu.
Kamp pengungsian, kata Humidor, juga bukan tempat yang lebih baik untuk orang-orang Rohingya. Tetapi untuk kembali ke Myanmar tanpa jaminan pemenuhan hak dan martabat etnis Rohingya tidak akan memberikan hidup yang lebih baik bagi etnis Rohingya.
Ia berharap organisasi internasional terus mendesak pemerintah Bangladesh dan Myanmar untuk memberikan jaminan yang kuat bahwa pengungsi Rohingya bisa kembali ke Myanmar bersama hak-hak dan martabat mereka.
"Meskipun di pengungsian kalian memberikan mereka makanan sampai bangunan besar, mereka tidak merasakan seperti di rumah. Mereka semua berharap bisa kembali ke negara mereka tetapi dengan hak-hak dan martabat yang utuh," kata Humidor.
Myanmar hanya ingin habisi Rohingya
Mokhtar Ahmad (30) juga menegaskan tidak ingin kembali ke Myanmar jika kondisi yang mereka terima nanti masih sama dengan keadaan sebelum mereka mengungsi ke Bangladesh.
"Kalau bisa hidup layak, bisa bekerja, bisa sekolah, bisa beraktivitas tanpa dibatasi, saya mau kembali. Kalau tidak dan masih sama seperti dulu, saya tidak mau," kata Mokhtar yang sempat ditembaki tentara Myanmar saat rumahnya dibakar.
Sebelum mengungsi ke Bangladesh bersama kedua orang tuanya, Mokhtar pernah bekerja enam tahun di Malaysia.
"Tetapi saya tidak percaya," tambahnya soal janji Myanmar memulangkan pengungsi Rohingya dari Bangladesh.
Emam, pengungsi Rohingya lainnya, setali tiga uang dengan Mokhtar. Emam malah sangat yakin pemerintah Myanmar ingin melenyapkan etnis Rohingya.
"Mereka ingin menghabisi etnis Rohingya. Menurut saya, pemerintah Myanmar tidak akan pernah berpihak kepada Rohingya. Saya juga tidak percaya kalau Aung San Suu Kyi bisa mengatasi krisis Rohingya," tutur Emam.
Meski pesimistis, Emam masih menyimpan mimpinya untuk bisa kembali ke tanah airnya.
"Jika saja krisis Rohingya ini benar-benar bisa selesai, saya ingin pindah ke kampung halaman saya. Biar bagaimana pun, itu adalah tanah kelahiran saya," kata Emam.
Nestapa ratusan ribu anak Rohingya
Arus pengungsi per minggu dalam krisis Rohingya adalah yang tertinggi sejak genosida etnis Tutsi oleh Hutu di Rwanda, Afrika, pada 1994.
PBB menyebutnya arus pengungsi Rohingya paling cepat berkembang di dunia dan sekaligus mimpi buruk kemanusiaan dan hak asasi manusia.
PBB juga mengatakan Rohingya sebagai etnis yang paling menderita dan paling ditindas.
Dan yang paling menderita, menurut Humidor, adalah anak-anak Rohingya.
Tinggal di pengungsian dengan status tanpa kewarganegaraan tidak menjamin masa depan mereka yang lebih cerah, sementara hidup mereka masih panjang.
"Masa depan mereka akan suram, tidak ada harapan," kata Humidor.
"Mereka butuh nutrisi, jaminan kesehatan yang baik, madrasah (sekolah) yang baik untuk membentuk mereka," tambahnya.
Humidor tidak asal omong karena apa yang dikatakannya itu tepat dirasakan oleh anak-anak Rohingya meski mereka belum mengerti apa yang telah terjadi pada mereka.
Di antara anak-anak Rohingya yang dicabut paksa dari akar dan hak paling asasinya itu adalah Tosmin.
Usia Tosmin masih empat tahun, tetapi ia sudah tidak berayah, tidak beribu. Ibunya meninggal dunia sejak usianya masih satu tahun, sementara ayahnya dibunuh di suatu tempat di Myanmar.
Tosmin dibawa neneknya, Mobina, melarikan diri ke Bangladesh.
Saat ANTARA News menemui Tosmin di kamp pengungsian, wajahnya kotor belepotan, seperti kebanyakan anak-anak Rohingya lain yang jarang memakai baju dan alas kaki.
"Saya tidak tahu rencana ke depan bagaimana untuk dia. Saya hanya memberikan dia makan saja," kata Mobina.
Tosmin tidak sendiri. Dari 650.000 warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh, separuhnya adalah anak-anak. Dan sekitar 14.000 dari mereka, yatim piatu.
"Anak-anak Rohingya mungkin masih bisa tertawa dan bermain, tetapi mereka sebenarnya menderita. Semoga pengungsi Rohingya bisa kembali ke Myanmar dengan hak dan martabat yang utuh," harap Humidor.
Baca juga rangkaian Laporan dari Bangladesh berikut:
Berjualan di kamp pengungsi Rohingya
Bengisnya tentara Myanmar, mimpi buruk Rohingya
Menyusul tekanan internasional, Myanmar sepakat akan memulihkan situasi di negara bagian Rakhine bagian utara dan mendorong pengungsi Rohingya kembali dengan sukarela dan selamat ke rumah mereka masing-masing.
Ironisnya, Myanmar mengajukan syarat. Mereka hanya mau menerima pengungsi Rohingya jika mereka memiliki bukti-bukti pernah tinggal di negara itu.
Nyatanya, sebagian besar warga Rohingya kesulitan mendapatkan surat identitas di Myanmar karena sejak puluhan tahun silam diabaikan dan dicampakkan pemerintahnya sendiri.
"Saya tidak percaya pemerintah Myanmar karena ini sudah menjadi sejarah yang panjang tentang kebohongan mereka, sejak Myanmar mendapat kemerdekaan pada tahun 1947," kata Humidor kepada ANTARA News, Senin (25/12).
Humidor adalah pengungsi Rohingya yang mendapatkan gelar sarjana dari ilmu Islam dan Alquran, serta sempat mengambil kursus pendek jurnalistik. Selama ini ia aktif menyuarakan nasib etnis Rohingya lewat blog.
"Menurut saya repatriasi bukan hal yang tepat saat ini untuk kami, terutama setelah puncak kekerasan yang mereka lakukan terhadap etnis Rohingya tahun ini. Myanmar belum menyiapkan apa-apa, sementara pengungsi sudah tidak memiliki apa-apa. Apa fasilitas yang akan mereka berikan? Apakah lahan-lahan dan properti warga Rohingya akan diberikan kembali ke mereka? Ini belum selesai," jelas Humidor.
Ia mengatakan saat ini pengungsi Rohingya hidup dalam kondisi memprihatinkan meskipun ditampung dalam pengungsian.
"Mereka hanya bisa bertahan hidup saja. Ini lah kenapa saya bilang belum saatnya pemulangan pengungsi sekarang. Karena saya pesimistis pemerintah Myanmar dapat memberikan hak-hak kami, fasilitas, dan memberikan optimisme kepada kami," ujar pria berusia 30 tahun itu.
Kamp pengungsian, kata Humidor, juga bukan tempat yang lebih baik untuk orang-orang Rohingya. Tetapi untuk kembali ke Myanmar tanpa jaminan pemenuhan hak dan martabat etnis Rohingya tidak akan memberikan hidup yang lebih baik bagi etnis Rohingya.
Ia berharap organisasi internasional terus mendesak pemerintah Bangladesh dan Myanmar untuk memberikan jaminan yang kuat bahwa pengungsi Rohingya bisa kembali ke Myanmar bersama hak-hak dan martabat mereka.
"Meskipun di pengungsian kalian memberikan mereka makanan sampai bangunan besar, mereka tidak merasakan seperti di rumah. Mereka semua berharap bisa kembali ke negara mereka tetapi dengan hak-hak dan martabat yang utuh," kata Humidor.
Myanmar hanya ingin habisi Rohingya
Mokhtar Ahmad (30) juga menegaskan tidak ingin kembali ke Myanmar jika kondisi yang mereka terima nanti masih sama dengan keadaan sebelum mereka mengungsi ke Bangladesh.
"Kalau bisa hidup layak, bisa bekerja, bisa sekolah, bisa beraktivitas tanpa dibatasi, saya mau kembali. Kalau tidak dan masih sama seperti dulu, saya tidak mau," kata Mokhtar yang sempat ditembaki tentara Myanmar saat rumahnya dibakar.
Sebelum mengungsi ke Bangladesh bersama kedua orang tuanya, Mokhtar pernah bekerja enam tahun di Malaysia.
"Tetapi saya tidak percaya," tambahnya soal janji Myanmar memulangkan pengungsi Rohingya dari Bangladesh.
Emam, pengungsi Rohingya lainnya, setali tiga uang dengan Mokhtar. Emam malah sangat yakin pemerintah Myanmar ingin melenyapkan etnis Rohingya.
"Mereka ingin menghabisi etnis Rohingya. Menurut saya, pemerintah Myanmar tidak akan pernah berpihak kepada Rohingya. Saya juga tidak percaya kalau Aung San Suu Kyi bisa mengatasi krisis Rohingya," tutur Emam.
Meski pesimistis, Emam masih menyimpan mimpinya untuk bisa kembali ke tanah airnya.
"Jika saja krisis Rohingya ini benar-benar bisa selesai, saya ingin pindah ke kampung halaman saya. Biar bagaimana pun, itu adalah tanah kelahiran saya," kata Emam.
Nestapa ratusan ribu anak Rohingya
Arus pengungsi per minggu dalam krisis Rohingya adalah yang tertinggi sejak genosida etnis Tutsi oleh Hutu di Rwanda, Afrika, pada 1994.
PBB menyebutnya arus pengungsi Rohingya paling cepat berkembang di dunia dan sekaligus mimpi buruk kemanusiaan dan hak asasi manusia.
PBB juga mengatakan Rohingya sebagai etnis yang paling menderita dan paling ditindas.
Dan yang paling menderita, menurut Humidor, adalah anak-anak Rohingya.
Tinggal di pengungsian dengan status tanpa kewarganegaraan tidak menjamin masa depan mereka yang lebih cerah, sementara hidup mereka masih panjang.
"Masa depan mereka akan suram, tidak ada harapan," kata Humidor.
"Mereka butuh nutrisi, jaminan kesehatan yang baik, madrasah (sekolah) yang baik untuk membentuk mereka," tambahnya.
Humidor tidak asal omong karena apa yang dikatakannya itu tepat dirasakan oleh anak-anak Rohingya meski mereka belum mengerti apa yang telah terjadi pada mereka.
Di antara anak-anak Rohingya yang dicabut paksa dari akar dan hak paling asasinya itu adalah Tosmin.
Usia Tosmin masih empat tahun, tetapi ia sudah tidak berayah, tidak beribu. Ibunya meninggal dunia sejak usianya masih satu tahun, sementara ayahnya dibunuh di suatu tempat di Myanmar.
Tosmin dibawa neneknya, Mobina, melarikan diri ke Bangladesh.
Saat ANTARA News menemui Tosmin di kamp pengungsian, wajahnya kotor belepotan, seperti kebanyakan anak-anak Rohingya lain yang jarang memakai baju dan alas kaki.
"Saya tidak tahu rencana ke depan bagaimana untuk dia. Saya hanya memberikan dia makan saja," kata Mobina.
Tosmin tidak sendiri. Dari 650.000 warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh, separuhnya adalah anak-anak. Dan sekitar 14.000 dari mereka, yatim piatu.
"Anak-anak Rohingya mungkin masih bisa tertawa dan bermain, tetapi mereka sebenarnya menderita. Semoga pengungsi Rohingya bisa kembali ke Myanmar dengan hak dan martabat yang utuh," harap Humidor.
Baca juga rangkaian Laporan dari Bangladesh berikut:
Berjualan di kamp pengungsi Rohingya
Bengisnya tentara Myanmar, mimpi buruk Rohingya
Pewarta: Monalisa
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017
Tags: