Catatan akhir tahun - Buruh rumah tangga di perangkap mafia
22 Desember 2017 10:27 WIB
Ilustrasi - Para buruh migran Indonesia (BMI) yang bekerja di Hong Kong makan bersama sambil menyaksikan hiburan di Panggung Merah Putih, Causeway Bay, Hong Kong.
Beijing (ANTARA News) - "Saya ingin pulang...! Saya ingin pulang....! Sudah tidak betah lagi di sini!" rintihan Sriyani lamat-lamat memecah keriuhan Museum Yuz di pusat Kota Shanghai, Minggu (10/12) petang.
Gurat ratusan wajah diaspora yang tadinya penuh semangat mendengarkan paparan dari staf Konsulat Jenderal RI di Shanghai mengenai Kartu Masyarakat Indonesia di Luar Negeri (KMILN) itu tiba-tiba berubah.
Gusar, iba, simpati, bahkan perasaan abai pun membuncah di ruangan berdaya tampung sekitar 200 orang itu.
"Ngapain sih disampaikan di sini? Gak nyambung dengan tema kita hari ini," gerutu seorang perempuan yang duduk di deretan tengah yang dari tadi antusias mendengarkan paparan KMILN karena memberikan banyak fasilitas yang akan didapat para diaspora seperti dirinya.
Adalah Joko Pilianto yang bertanggung jawab atas kekacauan di museum yang dikelola oleh salah satu WNI sukses di kota terbesar dan termakmur di daratan Tiongkok itu.
"Saya harus menyampaikan persoalan ini sekarang juga," tuturnya sambil mematikan telepon pintarnya yang baru saja memutar rekaman rintihan Sriyani.
Dengan suara bergetar karena menahan emosi, Joko tak peduli sedikit pun cibiran orang-orang di ruangan itu.
Sehari sebelumnya, pelajar asal Bojonegoro, Jawa Timur, itu menemui Sriyani di kantor polisi Hangzhou, Provinsi Zhejiang, setelah ditelepon teman studinya asal Yaman.
Pelajar asal Yaman itulah yang pertama kali menemukan Sriyani di tengah perjalanan bus yang mereka tumpangi di kota yang berjarak sekitar 178 kilometer sebelah selatan Shanghai.
Sriyani tidak mampu bercakap bahasa Mandarin, apalagi Inggris sehingga satu-satunya cara adalah meminta pelajar asal Yaman itu merekam suaranya melalui telepon seluler.
Kemudian rekaman suara itu dikirimkan kepada Joko yang pada akhirnya bersama-sama menuju kantor polisi di Hangzhou untuk melapor sekaligus menyerahkan diri Sriyani.
"Dia ingin segera pulang. Apalagi anaknya masih bayi," kata Joko mengenai perempuan nahas berusia 37 tahun asal Blitar, Jatim, itu.
Pihak KJRI Shanghai menyatakan bahwa Sriyani salah satu korban mafia penyelundupan pekerja ilegal ke China.
"Ada 200 TKI ilegal yang nasibnya seperti Sriyani," ujar seorang pejabat KJRI Shanghai yang tidak bersedia ditulis identitasnya itu.
Bahkan hampir setiap hari, KJRI Shanghai menerima laporan, baik langsung maupun telepon, mengenai pekerja ilegal dari Indonesia.
Sampai-sampai sel tahanan kepolisian di Shanghai kewalahan menampung para pekerja ilegal tersebut.
Pihak kepolisian di Shanghai meminta KJRI agar tidak melaporkan semua persoalan TKI ilegal, apalagi yang terjadi di luar wilayah kota berpenduduk terpadat di China itu.
Lapor Polisi, urusan beres
Banyak di antara TKI ilegal di daratan China yang melapor ke polisi, begitu ada masalah dengan majikan karena proses pemulangan pun bisa secepatnya dilakukan.
Bahkan dengan melapor kepada pihak kepolisian atau perwakilan RI di China, baik KBRI maupun KJRI, TKI ilegal tersebut bisa pulang ke Tanah Air dengan tiket pesawat gratis.
Dengan begitu, jelas sekali bahwa mereka tidak akan melapor jika hubungan kerja dengan majikan tidak menemui masalah yang berarti.
Padahal, mereka bekerja di daratan Tiongkok itu ilegal karena pemerintah setempat sampai saat ini tidak mengizinkan pekerja asing bekerja di sektor informal, seperti pembantu rumah tangga atau pendamping orang tua jompo.
Hal itu berbeda dengan di Taiwan yang sampai saat ini diperkirakan terdapat 250 ribu TKI, Hong Kong (154 ribu TKI), dan Makau (5.000 TKI).
Dengan bekerja secara ilegal di China, para TKI bisa mendapatkan penghasilan bersih antara Rp10 juta hingga Rp20 juta per bulan tanpa potong pajak.
Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan TKI yang bekerja secara legal dan berdokumen resmi di Taiwan yang gaji bersih setelah potong pajak hanya sekitar Rp6 juta hingga Rp7 juta. Demikian dengan Hong Kong dan Makau yang Rp7 juta hingga Rp8 juta per bulan.
Fenomena tersebut yang mendorong para pekerja migran dari Indonesia bekerja di daratan Tiongkok, meskipun pemerintah setempat sangat tegas melarang.
Adanya permintaan secara terselubung juga memicu gelombang pekerja ilegal tersebut menyeberang atau menyusup ke daratan berpenduduk hampir 1,4 miliar jiwa itu.
"Kalau tidak ada permintaan, mana mungkin TKI kita datang ke sini," kata Indah Morgan, mantan TKI yang kini menjadi pemerhati sosial diaspora Indonesia tinggal di Ningbo, Provinsi Zhejiang.
Modus perkawinan
Kedutaan Besar RI di Beijing menyebut bahwa modus perkawinan sering kali digunakan para mafia di China dan Indonesia untuk memasok pekerja ilegal.
"Yang paling menonjol dan membahayakan adalah modus prostitusi dan perkawinan," ungkap Soegeng Rahardjo saat masih menjabat Duta Besar RI untuk China merangkap Mongolia pada 25 Agustus 2017.
Sejumlah perempuan dari Indonesia didatangkan ke China dengan menggunakan visa turis untuk dikawini penduduk setempat.
Perempuan tersebut rata-rata berlatar belakang pendidikan rendah dan ekonomi lemah rela dinikahi warga pedesaan di pinggiran Beijing yang kemudian dipekerjakan di ladang pertanian milik suami atau keluarganya.
Masalah baru timbul beberapa tahun setelah pernikahan karena pihak istri yang sebenarnya korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) itu tidak mendapatkan upah atau hak sebagai istri sekaligus pekerja.
Setelah mengalami masalah seperti itu, baru mereka melapor ke KBRI yang memang dilengkapi dengan fasilitas shelter untuk menampung mereka selama proses pemulangan.
Namun, ada juga korban yang benar-benar merasa nyaman menjadi istri seorang warga China, meskipun sebenarnya juga korban TPPO.
Oleh karena itu, sanksi yang diterapkan untuk pelaku TPPO sangat sulit karena harus ada pembuktian korban dipaksa.
"Korban tidak tahu apa-apa. Yang harus dihukum dengan tegas itu, ya agen-agen penyalur," ujar Soegeng yang mengakhiri tugas sebagai Dubes per 1 Desember 2017.
Selain modus pernikahan, maraknya TKI ilegal di China juga dipicu oleh ulah nakal majikan di Hong Kong dan Makau.
Baru-baru ini Konsulat Jenderal RI di Hong Kong dan Makau berhasil membongkar besar-besaran modus operandi seperti di atas.
"Sangat tidak masuk akal paspor 48 halaman, belum dua tahun (sesuai masa kontrak kerja TKI di Hong Kong) sudah habis," kata Konsul Jenderal RI di Hong Kong Tri Tharyat kepada Antara pada 22 Agustus 2017.
Setelah dia teliti, ternyata halaman paspor tersebut habis karena banyak diisi cap imigrasi China.
Bahkan ada TKI yang setiap akhir pekan bekerja di wilayah daratan Tiongkok itu karena diduga memegang visa jenis multiple entry atas bantuan majikan mereka di Hong Kong.
"Kami tidak mempersoalkan pihak yang mengeluarkan visa. Tapi bekerja di lebih dari satu tempat merupakan praktik ilegal," kata Tri.
Ia tidak ingin kasus tewasnya Eka Suryani, TKI asal Malang, dan Lorain Asuncion, pembantu rumah tangga asal Filipina, di wilayah China daratan terulang.
Eka (23) ditemukan tidak bernyawa di Xiamen, Provinsi Fujian, pada 23 Januari 2016, sedangkan Lorain tewas pada 24 Juli 2017 karena terjatuh saat membersihkan ruangan gedung bertingkat di Shenzen, Provinsi Guangdong. Padahal keduanya, tercatat sebagai tenaga kerja di Hong Kong.
Kesempatan yang diberikan pemerintah Hong Kong agar melaporkan kasus itu atas nama TKI, digunakan Tri sebaik-baiknya untuk menekan para majikan yang mempekerjakan TKI di dua alamat berbeda. Bahkan, dia meminta TKI melaporkan kepada KJRI Hong Kong jika menemui kasus seperti itu.
Namun permintaan itu tidak mudah dipenuhi TKI, apalagi mereka yang baru bekerja di Hong Kong karena bisa berakibat hilangnya pekerjaan mereka.
"Anak baru datang, apalagi belum tahu peraturan dan hak, hanya bisa manut," demikian akun Facebook salah satu TKI Hong Kong yang menamakan dirinya Al Araffah.
Praktik ilegal seperti itu sampai saat ini masih marak. Bahkan beberapa TKI ada yang mengakui perbuatannya tanpa "tedeng aling-aling".
"2016 pasporku penuh cop-copan (stempel imigrasi China), tapi akhirnya visaku di-cancel oleh imigrasi China. Alhamdulillah, sekarang sudah pindah laoban (majikan)," kata Ana Anong, mengomentari imbauan KJRI Hong Kong, di akun Facebook.
Gurat ratusan wajah diaspora yang tadinya penuh semangat mendengarkan paparan dari staf Konsulat Jenderal RI di Shanghai mengenai Kartu Masyarakat Indonesia di Luar Negeri (KMILN) itu tiba-tiba berubah.
Gusar, iba, simpati, bahkan perasaan abai pun membuncah di ruangan berdaya tampung sekitar 200 orang itu.
"Ngapain sih disampaikan di sini? Gak nyambung dengan tema kita hari ini," gerutu seorang perempuan yang duduk di deretan tengah yang dari tadi antusias mendengarkan paparan KMILN karena memberikan banyak fasilitas yang akan didapat para diaspora seperti dirinya.
Adalah Joko Pilianto yang bertanggung jawab atas kekacauan di museum yang dikelola oleh salah satu WNI sukses di kota terbesar dan termakmur di daratan Tiongkok itu.
"Saya harus menyampaikan persoalan ini sekarang juga," tuturnya sambil mematikan telepon pintarnya yang baru saja memutar rekaman rintihan Sriyani.
Dengan suara bergetar karena menahan emosi, Joko tak peduli sedikit pun cibiran orang-orang di ruangan itu.
Sehari sebelumnya, pelajar asal Bojonegoro, Jawa Timur, itu menemui Sriyani di kantor polisi Hangzhou, Provinsi Zhejiang, setelah ditelepon teman studinya asal Yaman.
Pelajar asal Yaman itulah yang pertama kali menemukan Sriyani di tengah perjalanan bus yang mereka tumpangi di kota yang berjarak sekitar 178 kilometer sebelah selatan Shanghai.
Sriyani tidak mampu bercakap bahasa Mandarin, apalagi Inggris sehingga satu-satunya cara adalah meminta pelajar asal Yaman itu merekam suaranya melalui telepon seluler.
Kemudian rekaman suara itu dikirimkan kepada Joko yang pada akhirnya bersama-sama menuju kantor polisi di Hangzhou untuk melapor sekaligus menyerahkan diri Sriyani.
"Dia ingin segera pulang. Apalagi anaknya masih bayi," kata Joko mengenai perempuan nahas berusia 37 tahun asal Blitar, Jatim, itu.
Pihak KJRI Shanghai menyatakan bahwa Sriyani salah satu korban mafia penyelundupan pekerja ilegal ke China.
"Ada 200 TKI ilegal yang nasibnya seperti Sriyani," ujar seorang pejabat KJRI Shanghai yang tidak bersedia ditulis identitasnya itu.
Bahkan hampir setiap hari, KJRI Shanghai menerima laporan, baik langsung maupun telepon, mengenai pekerja ilegal dari Indonesia.
Sampai-sampai sel tahanan kepolisian di Shanghai kewalahan menampung para pekerja ilegal tersebut.
Pihak kepolisian di Shanghai meminta KJRI agar tidak melaporkan semua persoalan TKI ilegal, apalagi yang terjadi di luar wilayah kota berpenduduk terpadat di China itu.
Lapor Polisi, urusan beres
Banyak di antara TKI ilegal di daratan China yang melapor ke polisi, begitu ada masalah dengan majikan karena proses pemulangan pun bisa secepatnya dilakukan.
Bahkan dengan melapor kepada pihak kepolisian atau perwakilan RI di China, baik KBRI maupun KJRI, TKI ilegal tersebut bisa pulang ke Tanah Air dengan tiket pesawat gratis.
Dengan begitu, jelas sekali bahwa mereka tidak akan melapor jika hubungan kerja dengan majikan tidak menemui masalah yang berarti.
Padahal, mereka bekerja di daratan Tiongkok itu ilegal karena pemerintah setempat sampai saat ini tidak mengizinkan pekerja asing bekerja di sektor informal, seperti pembantu rumah tangga atau pendamping orang tua jompo.
Hal itu berbeda dengan di Taiwan yang sampai saat ini diperkirakan terdapat 250 ribu TKI, Hong Kong (154 ribu TKI), dan Makau (5.000 TKI).
Dengan bekerja secara ilegal di China, para TKI bisa mendapatkan penghasilan bersih antara Rp10 juta hingga Rp20 juta per bulan tanpa potong pajak.
Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan TKI yang bekerja secara legal dan berdokumen resmi di Taiwan yang gaji bersih setelah potong pajak hanya sekitar Rp6 juta hingga Rp7 juta. Demikian dengan Hong Kong dan Makau yang Rp7 juta hingga Rp8 juta per bulan.
Fenomena tersebut yang mendorong para pekerja migran dari Indonesia bekerja di daratan Tiongkok, meskipun pemerintah setempat sangat tegas melarang.
Adanya permintaan secara terselubung juga memicu gelombang pekerja ilegal tersebut menyeberang atau menyusup ke daratan berpenduduk hampir 1,4 miliar jiwa itu.
"Kalau tidak ada permintaan, mana mungkin TKI kita datang ke sini," kata Indah Morgan, mantan TKI yang kini menjadi pemerhati sosial diaspora Indonesia tinggal di Ningbo, Provinsi Zhejiang.
Modus perkawinan
Kedutaan Besar RI di Beijing menyebut bahwa modus perkawinan sering kali digunakan para mafia di China dan Indonesia untuk memasok pekerja ilegal.
"Yang paling menonjol dan membahayakan adalah modus prostitusi dan perkawinan," ungkap Soegeng Rahardjo saat masih menjabat Duta Besar RI untuk China merangkap Mongolia pada 25 Agustus 2017.
Sejumlah perempuan dari Indonesia didatangkan ke China dengan menggunakan visa turis untuk dikawini penduduk setempat.
Perempuan tersebut rata-rata berlatar belakang pendidikan rendah dan ekonomi lemah rela dinikahi warga pedesaan di pinggiran Beijing yang kemudian dipekerjakan di ladang pertanian milik suami atau keluarganya.
Masalah baru timbul beberapa tahun setelah pernikahan karena pihak istri yang sebenarnya korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) itu tidak mendapatkan upah atau hak sebagai istri sekaligus pekerja.
Setelah mengalami masalah seperti itu, baru mereka melapor ke KBRI yang memang dilengkapi dengan fasilitas shelter untuk menampung mereka selama proses pemulangan.
Namun, ada juga korban yang benar-benar merasa nyaman menjadi istri seorang warga China, meskipun sebenarnya juga korban TPPO.
Oleh karena itu, sanksi yang diterapkan untuk pelaku TPPO sangat sulit karena harus ada pembuktian korban dipaksa.
"Korban tidak tahu apa-apa. Yang harus dihukum dengan tegas itu, ya agen-agen penyalur," ujar Soegeng yang mengakhiri tugas sebagai Dubes per 1 Desember 2017.
Selain modus pernikahan, maraknya TKI ilegal di China juga dipicu oleh ulah nakal majikan di Hong Kong dan Makau.
Baru-baru ini Konsulat Jenderal RI di Hong Kong dan Makau berhasil membongkar besar-besaran modus operandi seperti di atas.
"Sangat tidak masuk akal paspor 48 halaman, belum dua tahun (sesuai masa kontrak kerja TKI di Hong Kong) sudah habis," kata Konsul Jenderal RI di Hong Kong Tri Tharyat kepada Antara pada 22 Agustus 2017.
Setelah dia teliti, ternyata halaman paspor tersebut habis karena banyak diisi cap imigrasi China.
Bahkan ada TKI yang setiap akhir pekan bekerja di wilayah daratan Tiongkok itu karena diduga memegang visa jenis multiple entry atas bantuan majikan mereka di Hong Kong.
"Kami tidak mempersoalkan pihak yang mengeluarkan visa. Tapi bekerja di lebih dari satu tempat merupakan praktik ilegal," kata Tri.
Ia tidak ingin kasus tewasnya Eka Suryani, TKI asal Malang, dan Lorain Asuncion, pembantu rumah tangga asal Filipina, di wilayah China daratan terulang.
Eka (23) ditemukan tidak bernyawa di Xiamen, Provinsi Fujian, pada 23 Januari 2016, sedangkan Lorain tewas pada 24 Juli 2017 karena terjatuh saat membersihkan ruangan gedung bertingkat di Shenzen, Provinsi Guangdong. Padahal keduanya, tercatat sebagai tenaga kerja di Hong Kong.
Kesempatan yang diberikan pemerintah Hong Kong agar melaporkan kasus itu atas nama TKI, digunakan Tri sebaik-baiknya untuk menekan para majikan yang mempekerjakan TKI di dua alamat berbeda. Bahkan, dia meminta TKI melaporkan kepada KJRI Hong Kong jika menemui kasus seperti itu.
Namun permintaan itu tidak mudah dipenuhi TKI, apalagi mereka yang baru bekerja di Hong Kong karena bisa berakibat hilangnya pekerjaan mereka.
"Anak baru datang, apalagi belum tahu peraturan dan hak, hanya bisa manut," demikian akun Facebook salah satu TKI Hong Kong yang menamakan dirinya Al Araffah.
Praktik ilegal seperti itu sampai saat ini masih marak. Bahkan beberapa TKI ada yang mengakui perbuatannya tanpa "tedeng aling-aling".
"2016 pasporku penuh cop-copan (stempel imigrasi China), tapi akhirnya visaku di-cancel oleh imigrasi China. Alhamdulillah, sekarang sudah pindah laoban (majikan)," kata Ana Anong, mengomentari imbauan KJRI Hong Kong, di akun Facebook.
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017
Tags: