Nilai tes Intelligent Quotient (IQ) yang tinggi dengan skor di atas 120 membuat seorang anak mendapat label cerdas, bahkan disebut genius jika skornya di atas 140. Sementara yang skornya kurang dari 80 masuk dalam kelompok yang dianggap bodoh.

Namun hasil tes IQ yang telah menjadi standar umum penilaian kecerdasan secara internasional ini telah disalahartikan menurut psikolog dari Universitas Stanford, Carol Dweck.

Orangtua menganggap kecerdasan seorang anak merupakan bawaan dari lahir dan tetap seperti itu sepanjang hidupnya sehingga terjebak pada konsep yang disebutnya fixed mindset atau pola pikir tetap.

Padahal, menurut pakar yang telah meneliti pola pikir manusia selama lebih dari tiga dekade ini kecerdasan seseorang bisa terus berkembang dan berpengaruh pada kemajuan yang diraih.

Riset Profesor Dweck tentang pola pikir yang berkembang (growth mindset) antara lain dilakukan dengan membagi para siswa yang sedang belajar matematika di satu sekolah menengah pertama di New York menjadi dua kelompok.

Satu kelompok menggunakan konsep fixed mindset. Mereka menganggap kecerdasan merupakan bawaan. Kelompok lainnya menggunakan konsep growth mindset yang berfokus pada usaha keras untuk meraih nilai yang lebih baik.

Dua tahun kemudian, kelompok yang terlalu percaya pada kecerdasan bawaan menunjukkan kecenderungan penurunan nilai akademik, sementara kelompok yang lainnya memperlihatkan kemajuan signifikan.

Sejumlah psikolog lain kemudian juga membuat program intervensi selama delapan pekan kepada para siswa satu sekolah di Amerika Serikat dengan meyakinkan mereka bahwa otak seperti otot yang bisa dibentuk menjadi kuat jika makin banyak digunakan.

Selain itu ada kelompok kontrol yang tidak diajari konsep pertumbuhan pola pikir dari teori yang dikembangkan oleh Dweck, penulis sejumlah buku psikologi yang belum lama ini mendapat penghargaan dari Yidan Prize di Hong Kong.

Hasilnya, dalam dua bulan kelompok yang diberi intervensi mengalami banyak perbaikan dalam nilai-nilai pelajarannya dibanding dengan kelompok kontrol.

"Jadi, hal utama dari kemajuan siswa dalam pelajaran adalah motivasi, semangat menerima tantangan, siap menghadapi soal-soal sulit dan berusaha untuk menyelesaikannya dengan baik," kata Dweck dalam wawancara dengan Antara.

Sebaliknya, siswa yang selalu diyakinkan orang tuanya bahwa mereka cerdas justru lebih fokus pada bagaimana tetap terlihat cerdas, menjadi khawatir menerima tantangan, dan lebih senang berada di zona nyaman.

Itulah yang membuat Dweck tidak terlalu peduli pada skor hasil tes IQ. Menurut dia otak sangat lentur dan bisa makin hebat jika makin digunakan untuk memecahkan masalah.

Siswa seharusnya memang lebih fokus pada belajar dan tidak takut tampak bodoh dalam bertanya, takut salah menjawab soal, dan tidak malu atas kegagalan, serta yakin bahwa dengan berusaha keras maka potensinya akan terbangun.

Konsep growth mindset, menurut Dweck, penting dikembangkan menjadi budaya pengajaran di kelas karena budaya masyarakat yang ditransfer dari orangtua ke anak cukup beragam dan berpengaruh kuat pada kemajuan atau kemunduran anak.

Orangtua harus juga terlibat bersama guru dan sistem sekolah dalam mengubah pola pikir tradisional dan mendukung konsep perkembangan pola pikir untuk memberi lingkungan kondusif bagi anak untuk maju.


Tes IQ vs Growth Mindset

Alfred Binet, psikolog yang pertama kali memperkenalkan tes IQ lebih dari seabad lalu, juga mengakui bahwa kecerdasan manusia dipengaruhi oleh banyak faktor dan tidak bisa diperbandingkan di antara kelompok-kelompok yang berbeda latar belakang.

Ia bahkan khawatir pengukurannya akan digunakan untuk menyingkirkan seorang anak yang mendapat skor rendah dan mempengaruhi kehidupan mereka selanjutnya.

Tes IQ awalnya dia rancang untuk mengidentifikasi anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus. Namun dalam beberapa dekade belakangan, tes itu justru menjadi acuan yang berlaku global untuk merepresentasikan kecerdasan seseorang.

HH Goddard, Direktur Riset di Vineland Training School AS, bahkan gigih melakukan lobi untuk membuat undang-undang imigrasi yang ketat dengan tes ini setelah hasil risetnya "menemukan" bahwa para imigran, kecuali dari Eropa Utara, memiliki kecerdasan rendah.

Temuan yang tidak memperhitungkan keragaman bahasa dalam alat ukur tes ini selain memicu perlakuan rasis terhadap kelompok-kelompok tertentu di Amerika Serikat, juga melegitimasi sterilisasi paksa orang-orang cacat di beberapa negara bagian.

Karena itulah kemudian banyak psikolog tidak menganjurkan penggunaan tes IQ sebagai acuan dalam sistem sekolah atau sistem penyaringan lainnya, apalagi banyak hasil riset yang menyimpulkan hasil skor tes IQ kurang dapat diandalkan.

Suatu penelitian membuktikan bahwa tes IQ dapat bervariasi 15 poin dari satu tes ke tes lain, penelitian lainnya menyebut mengenai psikolog sekolah yang secara independen menguji IQ siswa dari alat uji yang sama dan menghasilkan skor IQ berkisar antara 63 dan 117 untuk orang yang sama.

Sementara penerapan konsep growth mindset Carol Dweck pada siswa-siswa di sekolah konservasi Indian AS yang terbelakang, hanya dalam beberapa periode mampu mengubah mereka menjadi yang terbaik dalam nilai ujian di distriknya.

Konsep pola pikir yang berkembang ini tentu saja sangat patut diterapkan di sekolah-sekolah terisolasi di Indonesia untuk menghapus citra bahwa sekolah terpencil tidak menghasilkan anak-anak cerdas karena nilai ujiannya yang rendah.

Faktor penghambat mereka hanyalah akses terhadap pengajaran yang bermutu dan media pembelajaran yang kurang memadai, sedangkan motivasi mereka untuk berkembang bisa dibentuk sesuai dengan keinginan.