Uni Eropa sebut ekspor sawit Indonesia ke Eropa meningkat
13 Desember 2017 23:51 WIB
Ilustrasi--Pekerja merontokkan buah kelapa sawit dari tandannya di Desa Sido Mulyo, Aceh Utara, Aceh, Kamis (26/10/2017). (ANTARA FOTO/Rahmad)
Jakarta (ANTARA News) - Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia Vincent Guerend menyebut nilai ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke Eropa meningkat 38 persen selama Januari-Agustus 2017 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
"Nilainya meningkat lebih dari 2 miliar Euro selama periode tersebut. Ini menunjukkan bahwa pasar Eropa sangat terbuka untuk minyak kelapa sawit Indonesia," kata Dubes Guerend dalam acara makan malam bersama media di Jakarta, Rabu.
Fakta tersebut dianggapnya cukup mengejutkan di tengah isu kampanye hitam atas sawit yang berkembang pasca parlemen Eropa menerbitkan "Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests" yang disampaikan di Starssbourg, Prancis pada 4 April 2017.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa sawit adalah komoditas yang sangat berkaitan dengan deforestasi, korupsi, eksploitasi pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat adat. Tudingan ini secara tegas ditolak oleh Indonesia sebagai penghinaan yang sangat tidak relevan.
Namun, Dubes Guerend menjelaskan bahwa hingga saat ini sawit masih menjadi komoditas perdagangan utama Indonesia dan Eropa di mana Eropa menempati peringkat kedua importir minyak kelapa sawit Indonesia setelah India. Tarif ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa pun disebutnya sangat rendah berkisar 0-4 persen.
Ia menegaskan UE tidak menerapkan hambatan perdagangan maupun peraturan untuk melarang minyak kelapa sawit.
"Kampanye `palm oil-free` adalah inisiatif perusahaan-perusahaan Eropa untuk tujuan pemasaran karena saat ini masyarakat Eropa semakin memperhatikan prinsip keberlanjutan atas produk yang mereka konsumsi," tutur Dubes Guerend.
November lalu, Presiden RI Joko Widodo dalam kunjungan ke Kuching, Malaysia mengajak Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak untuk melawan kampanye hitam terhadap produk kelapa sawit.
Indonesia dan Malaysia memproduksi 85 persen dari total CPO dan mengisi 91,2 persen pasar ekspor di dunia, sehingga kedua negara menjadi pemain utama dalam industri minyak sawit.
Bagi Indonesia, sawit merupakan industri besar yang menyangkut hajat hidup petani meliputi areal seluas 11 juta hektare dengan persentase 41 persen merupakan tanaman petani dengan tenaga kerja usaha hulu hingga hilir mencapai 16 juta orang.
Menurut Presiden Jokowi, isu kelapa sawit sangat dekat dengan upaya pengentasan kemiskinan, mempersempit kesenjangan pembangunan, serta pembangunan ekonomi yang inklusif.
Karena itu, kedua negara sepakat membentuk Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) untuk promosi dan penguatan kerja sama, termasuk untuk menyiapkan langkah-langkah strategis menghadapi kampanye negatif penggunaan minyak kelapa sawit di Eropa.
"Nilainya meningkat lebih dari 2 miliar Euro selama periode tersebut. Ini menunjukkan bahwa pasar Eropa sangat terbuka untuk minyak kelapa sawit Indonesia," kata Dubes Guerend dalam acara makan malam bersama media di Jakarta, Rabu.
Fakta tersebut dianggapnya cukup mengejutkan di tengah isu kampanye hitam atas sawit yang berkembang pasca parlemen Eropa menerbitkan "Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests" yang disampaikan di Starssbourg, Prancis pada 4 April 2017.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa sawit adalah komoditas yang sangat berkaitan dengan deforestasi, korupsi, eksploitasi pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat adat. Tudingan ini secara tegas ditolak oleh Indonesia sebagai penghinaan yang sangat tidak relevan.
Namun, Dubes Guerend menjelaskan bahwa hingga saat ini sawit masih menjadi komoditas perdagangan utama Indonesia dan Eropa di mana Eropa menempati peringkat kedua importir minyak kelapa sawit Indonesia setelah India. Tarif ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa pun disebutnya sangat rendah berkisar 0-4 persen.
Ia menegaskan UE tidak menerapkan hambatan perdagangan maupun peraturan untuk melarang minyak kelapa sawit.
"Kampanye `palm oil-free` adalah inisiatif perusahaan-perusahaan Eropa untuk tujuan pemasaran karena saat ini masyarakat Eropa semakin memperhatikan prinsip keberlanjutan atas produk yang mereka konsumsi," tutur Dubes Guerend.
November lalu, Presiden RI Joko Widodo dalam kunjungan ke Kuching, Malaysia mengajak Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak untuk melawan kampanye hitam terhadap produk kelapa sawit.
Indonesia dan Malaysia memproduksi 85 persen dari total CPO dan mengisi 91,2 persen pasar ekspor di dunia, sehingga kedua negara menjadi pemain utama dalam industri minyak sawit.
Bagi Indonesia, sawit merupakan industri besar yang menyangkut hajat hidup petani meliputi areal seluas 11 juta hektare dengan persentase 41 persen merupakan tanaman petani dengan tenaga kerja usaha hulu hingga hilir mencapai 16 juta orang.
Menurut Presiden Jokowi, isu kelapa sawit sangat dekat dengan upaya pengentasan kemiskinan, mempersempit kesenjangan pembangunan, serta pembangunan ekonomi yang inklusif.
Karena itu, kedua negara sepakat membentuk Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) untuk promosi dan penguatan kerja sama, termasuk untuk menyiapkan langkah-langkah strategis menghadapi kampanye negatif penggunaan minyak kelapa sawit di Eropa.
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017
Tags: