KPK boleh tetapkan tersangka di awal penyidikan, kata ahli pidana
12 Desember 2017 13:47 WIB
Suasana saat Hakim Tunggal Kusno memimpin jalannya sidang praperadilan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (30/11). Praperadilan perdana setelah Setya Novanto ditahan KPK sebagai tersangka terkait kasus korupsi KTP Elektronik (KTP-el) itu ditunda, karena KPK selaku pihak termohon tidak menghadiri sidang tersebut. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww/17.
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diperbolehkan menetapkan tersangka di awal penyidikan, kata ahli hukum pidana dari Universitas Padjadjaran Komariah Emong Sapardjaja saat menyampaikan keterangan dalam sidang praperadilan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa.
"KPK sudah sesuai Undang-Undang dan sudah berjalan pada track-nya. Ada putusan bahwa penetapan harus di akhir, itu sama sekali tidak benar, tidak punya dasar sama sekali," kata Komariah dalam sidang yang dipimpin oleh hakim tunggal Kusno.
Sebelumnya, Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menanyakan kepada ahli mengenai penerapan status tersangka menurut Pasal 44 Undang-Undang tentang KPK.
Menurut pasal itu, "jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi".
"Ada putusan terdahulu bahwa penetapan tersangka harus dilakukan di akhir penyidikan, norma itu dari mana asalnya?" tanya Setiadi.
Berkenaan dengan hal itu, Komariah menjawab, "Jadi ada dugaan disertai bukti permulaan itu sudah cukup. Kita sudah menganut bukti dapat diperoleh dari manapun, bahkan bukti dari perkara lain boleh digunakan. Kenapa dipersoalkan lagi."
Dalam dalil permohonan dan petitum praperadilan yang diajukan oleh Novanto disebutkan penetapan tersangka oleh KPK dilakukan sebelum KPK melakukan proses penyidikan, karenanya menyalahi ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia dan UU KPK sehingga harus dibatalkan demi hukum. Dalil permohonan dan petitum praperadilan itu juga menyatakan penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap diri Novanto belum didukung dua alat bukti baru yang sah.
"KPK sudah sesuai Undang-Undang dan sudah berjalan pada track-nya. Ada putusan bahwa penetapan harus di akhir, itu sama sekali tidak benar, tidak punya dasar sama sekali," kata Komariah dalam sidang yang dipimpin oleh hakim tunggal Kusno.
Sebelumnya, Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menanyakan kepada ahli mengenai penerapan status tersangka menurut Pasal 44 Undang-Undang tentang KPK.
Menurut pasal itu, "jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi".
"Ada putusan terdahulu bahwa penetapan tersangka harus dilakukan di akhir penyidikan, norma itu dari mana asalnya?" tanya Setiadi.
Berkenaan dengan hal itu, Komariah menjawab, "Jadi ada dugaan disertai bukti permulaan itu sudah cukup. Kita sudah menganut bukti dapat diperoleh dari manapun, bahkan bukti dari perkara lain boleh digunakan. Kenapa dipersoalkan lagi."
Dalam dalil permohonan dan petitum praperadilan yang diajukan oleh Novanto disebutkan penetapan tersangka oleh KPK dilakukan sebelum KPK melakukan proses penyidikan, karenanya menyalahi ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia dan UU KPK sehingga harus dibatalkan demi hukum. Dalil permohonan dan petitum praperadilan itu juga menyatakan penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap diri Novanto belum didukung dua alat bukti baru yang sah.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017
Tags: