Presiden berharap ekonomi berjalan seiring politik 2018
12 Desember 2017 12:49 WIB
Presiden Joko Widodo menyampaikan pernyataan sikap terkait pernyataan sepihak Amerika Serikat atas diakuinya Yerusalem sebagai ibu kota Israel di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (7/12/2017). Pemerintah Indonesia mengecam keras pernyataan Pemerintah Amerika Serikat dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, yang dikhawatirkan memicu guncangan stabilitas keamanan dunia. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo berharap ekonomi Indonesia bisa berjalan dan bergerak seiring dengan politik pada 2018 yang dianggap sebagai tahun politik.
"Artinya, marilah kita memulai bersama agar yang politik berjalan, yang ekonomi mari bermain di wilayah ekonomi. Dan ingat bahwa ini bukan pertama kali Indonesia menjalankan pilkada serentak, dan bukan pertama kali pemilu diadakan di negara kita. Yang kemarin juga baik-baik saja, aman-aman saja," kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Sarasehan Ke-2 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, ekonomi Indonesia dalam pilkada atau pemilu sebelumnya yang dijalankan relatif tidak terpengaruh.
Bahkan, kata Presiden, dalam tiga tahun banyak kemajuan yang telah dicapai di bidang ekonomi.
Tercatat sejumlah lembaga rating internasional, mulai dari Moody`s Rating hingga S&P memberikan predikat layak investasi kepada Indonesia, meningkatnya daya saing global dari 41 menjadi 36 dari 137 negara, peringkat kemudahan berbinsinis (EODB) yang terus meningkat dari 2014 di ranking 120, tahun ini meloncat di ranking 72.
"Menurut saya itu sebuah lompatan yang sangat pesat. Tapi target saya memang bukan 72, saya sudah perintahkan ke Menko Ekonomi, targetnya 40 di 2019. Melihat angka seperti ini apa artinya? Menurut saya, kita harus optimis. Negara lain melihat kita saja optimis melihat perkembangan ekonomi kita, kenapa kita sendiri malah tidak optimis. Marilah kita lihat angka-angka," katanya.
Ia menyoroti dari sisi pengeluaran pertumbuhan ekonomi kuartal III yang disumbang oleh ekspor barang dan jasa 17,27 persen, investasi besar 7,11 persen, yang dianggapnya sebagai indikator yang positif.
Di sisi lain konsumsi lembaga nonprofit mencapai 6,01 persen, konsumsi rumah tangga 4,93 persen (sedikit menurun), konsumsi pemerintah 3,46 persen.
"Pertumbuhan tertinggi ada di informasi dan komunikasi 9,8 persen jasa lainnya 8,71 persen," katanya.
Angka itu juga masih ditunjang dengan berbagai indikator lain yang menurut Presiden menunjukkan pertumbuhan positif.
Ia mengakui menjelang 2018, memang makin banyak pihak yang bertanya-tanya kondisi ekonomi Indonesia di tahun politik.
"Dan banyak yang bicara, dunia usaha akan mengambil posisi wait and see. Menunggu dan mengamati. Tapi pertanyaan saya sekarang, kalau mau wait and see sampai kapan? Tahun 2014 kita ada pilpres, wait and see. 2015 ada 150-an pilkada apa wait and see lagi, 2016 106 pilkada wait and see lagi, 2018 ada 171 pilkada wait and see lagi, 2019 ada pilpres, apa mau wait and see lagi," katanya.
Ia berpendapat jika semua pihak bisa menghilangkan persepsi tahun politik maka diharapkan ekonomi bisa berjalan seiring.
"Menurut saya, kontestasi politik, 0,2-0,3 persen itu justru ada belanja spanduk, kaos, sembako, justru naik. Tapi yang ngomong bukan saya, ekonom juga Pak Darmin," katanya.
"Artinya, marilah kita memulai bersama agar yang politik berjalan, yang ekonomi mari bermain di wilayah ekonomi. Dan ingat bahwa ini bukan pertama kali Indonesia menjalankan pilkada serentak, dan bukan pertama kali pemilu diadakan di negara kita. Yang kemarin juga baik-baik saja, aman-aman saja," kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Sarasehan Ke-2 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, ekonomi Indonesia dalam pilkada atau pemilu sebelumnya yang dijalankan relatif tidak terpengaruh.
Bahkan, kata Presiden, dalam tiga tahun banyak kemajuan yang telah dicapai di bidang ekonomi.
Tercatat sejumlah lembaga rating internasional, mulai dari Moody`s Rating hingga S&P memberikan predikat layak investasi kepada Indonesia, meningkatnya daya saing global dari 41 menjadi 36 dari 137 negara, peringkat kemudahan berbinsinis (EODB) yang terus meningkat dari 2014 di ranking 120, tahun ini meloncat di ranking 72.
"Menurut saya itu sebuah lompatan yang sangat pesat. Tapi target saya memang bukan 72, saya sudah perintahkan ke Menko Ekonomi, targetnya 40 di 2019. Melihat angka seperti ini apa artinya? Menurut saya, kita harus optimis. Negara lain melihat kita saja optimis melihat perkembangan ekonomi kita, kenapa kita sendiri malah tidak optimis. Marilah kita lihat angka-angka," katanya.
Ia menyoroti dari sisi pengeluaran pertumbuhan ekonomi kuartal III yang disumbang oleh ekspor barang dan jasa 17,27 persen, investasi besar 7,11 persen, yang dianggapnya sebagai indikator yang positif.
Di sisi lain konsumsi lembaga nonprofit mencapai 6,01 persen, konsumsi rumah tangga 4,93 persen (sedikit menurun), konsumsi pemerintah 3,46 persen.
"Pertumbuhan tertinggi ada di informasi dan komunikasi 9,8 persen jasa lainnya 8,71 persen," katanya.
Angka itu juga masih ditunjang dengan berbagai indikator lain yang menurut Presiden menunjukkan pertumbuhan positif.
Ia mengakui menjelang 2018, memang makin banyak pihak yang bertanya-tanya kondisi ekonomi Indonesia di tahun politik.
"Dan banyak yang bicara, dunia usaha akan mengambil posisi wait and see. Menunggu dan mengamati. Tapi pertanyaan saya sekarang, kalau mau wait and see sampai kapan? Tahun 2014 kita ada pilpres, wait and see. 2015 ada 150-an pilkada apa wait and see lagi, 2016 106 pilkada wait and see lagi, 2018 ada 171 pilkada wait and see lagi, 2019 ada pilpres, apa mau wait and see lagi," katanya.
Ia berpendapat jika semua pihak bisa menghilangkan persepsi tahun politik maka diharapkan ekonomi bisa berjalan seiring.
"Menurut saya, kontestasi politik, 0,2-0,3 persen itu justru ada belanja spanduk, kaos, sembako, justru naik. Tapi yang ngomong bukan saya, ekonom juga Pak Darmin," katanya.
Pewarta: Hanni Sofia Soepardi
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017
Tags: