KPK pertanyakan pernyataan ahli UII soal hak Setnov yang dirampas
11 Desember 2017 19:08 WIB
Tersangka kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto (tengah) seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/12/2017). KPK menyatakan berkas perkara tersangka kasus korupsi proyek KTP Elektronik itu sudah lengkap atau P21 dan siap untuk disidangkan. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertanyakan pernyataan ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, yang menyebutkan hak Setya Novanto telah dirampas KPK.
Hal itu terkait KPK yang sebelumnya meminta penundaan jadwal sidang praperadilan Novanto selama tiga pekan sebelum akhirnya diputuskan hakim menjadi sepekan.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Kusno pada Senin menggelar sidang lanjutan praperadilan Setya Novanto dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli dari pihak Setya Novanto.
"Saya katakan kalau orang jadi tersangka itu awal mula penyidik melakukan tindakan paksa. Maka, membatasi kemerdekaan tersangka, hak atas kekayaan dan lain-lain. Itu semua dimulai saat seorang jadi tersangka," kata Mudzakir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.
Atas jawaban itu, pihak KPK melalui Kepala Biro Hukum Setiadi mempertanyakan kembali terkait penundaan jadwal sidang praperadilan yang dianggap merampas hak Novanto itu.
"Tadi katanya dengan penundaaan seminggu, Anda katakan hak dirampas," tanya Setiadi.
"Jadi dalam penundaan sidang kalau termohon tidak hadir kan tidak bisa sidang, ternyata termohon ajukan berkas. Saya sampaikan, ini hal yang prinsip," ucap Mudzakir.
Ia pun juga menyatakan bahwa penetapan kembali Setya Novanto sebagai tersangka juga harus berdasarkan bukti baru.
"Harus ada bukti baru yang kuat untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, artinya dengan bukti yang lama tidak bisa diulang," kata Mudzakir.
Novanto ditetapkan kembali menjadi tersangka kasus korupsi KTP-e pada Jumat (10/11).
Novanto disangkakan pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Hal itu terkait KPK yang sebelumnya meminta penundaan jadwal sidang praperadilan Novanto selama tiga pekan sebelum akhirnya diputuskan hakim menjadi sepekan.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Kusno pada Senin menggelar sidang lanjutan praperadilan Setya Novanto dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli dari pihak Setya Novanto.
"Saya katakan kalau orang jadi tersangka itu awal mula penyidik melakukan tindakan paksa. Maka, membatasi kemerdekaan tersangka, hak atas kekayaan dan lain-lain. Itu semua dimulai saat seorang jadi tersangka," kata Mudzakir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.
Atas jawaban itu, pihak KPK melalui Kepala Biro Hukum Setiadi mempertanyakan kembali terkait penundaan jadwal sidang praperadilan yang dianggap merampas hak Novanto itu.
"Tadi katanya dengan penundaaan seminggu, Anda katakan hak dirampas," tanya Setiadi.
"Jadi dalam penundaan sidang kalau termohon tidak hadir kan tidak bisa sidang, ternyata termohon ajukan berkas. Saya sampaikan, ini hal yang prinsip," ucap Mudzakir.
Ia pun juga menyatakan bahwa penetapan kembali Setya Novanto sebagai tersangka juga harus berdasarkan bukti baru.
"Harus ada bukti baru yang kuat untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, artinya dengan bukti yang lama tidak bisa diulang," kata Mudzakir.
Novanto ditetapkan kembali menjadi tersangka kasus korupsi KTP-e pada Jumat (10/11).
Novanto disangkakan pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017
Tags: