Kaum tani bersuara tentang perbaikan nasib di hari peringatan HAM Sedunia
11 Desember 2017 06:27 WIB
Dokumentasi Sejumlah mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Banten menggelar unjuk rasa menyambut Peringatan Hari Pendidikan Nasional di Alun-alun Serang, Banten, Selasa (1/5/2017). Mereka mendesak pemerintah agar membuka akses pendidikan berkualitas hingga bisa menampung anak-anak petani dan buruh untuk memutus rantai kemiskinan. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)
Mesuji, Lampung (ANTARA News) - Persatuan Petani Moromoro Way Serdang (PPMWS) bersama Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Ranting Moromoro melaksanakan peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia 10 Desember 2017 untuk menyuarakan dan memperjuangkan perbaikan nasib rakyat dan bangsa Indonesia.
Dalam aksi di Tugu Tani, Simpang Asahan, Mesuji, Lampung, Minggu, mereka menyuarakan perbaikan nasib terutama bagi kaum buruh dan kaum tani di perdesaan yang masih hidup dalam kemiskinan, dibatasi hak-hak politiknya, dan hidup dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang buruk.
Aksi dimulai pukul 09.00 WIB di Tugu Tani, Simpang Asahan dengan bentuk pawai simpatik, orasi ilmiah, dan mimbar bebas di sepanjang Jalan Lintas Timur Sumatera menuju ke titik akhir di Simpang D.
Aksi itu diikuti oleh ribuan anggota PPMWS dan petani dari Register 45 dengan mendapat pengawalan dari pihak Kepolisian Resor Mesuji.
Dalam orasi politik, Koordinator Aksi Kadek Tike menyampaikan bahwa kaum buruh dan kaum tani serta mayoritas rakyat menolak Reforma Agraria (RA) dicanangkan pemerintah namun secara nyata tidak memberikan akses tanah bagi rakyat, tetapi mempertahankan konsesi tanah yang luas bagi perkebunan dan pertambangan besar.
Menurutnya, Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Tanah Dalam Kawasan Hutan serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial merupakan skema baru bagi perampasan tanah petani dan suku bangsa minoritas secara terselubung.
"Rakyat semakin kehilangan harapan memperbaiki keadaan hidupnya di tengah kebijakan pemerintah yang tidak mampu mengendalikan kenaikan harga kebutuhan pokok, kenaikan harga elpiji serta kenaikan tarif dasar listrik," katanya lagi.
Dia menilai, penyelesaian konflik agraria lewat skema kemitraan perhutanan sosial yang terus diusung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan Dinas Kehutanan Kabupaten Mesuji tidak menyelesaikan konflik agraria secara nyata. Kenyataannya seluruh kaum tani yang ada di Register 45 baik yang berasal dari luar Mesuji maupun warga Mesuji sejatinya benar-benar membutuhkan tanah untuk berproduksi dan hidup secara layak.
Negara semestinya berpihak kepada rakyat mayoritas yang membutuhkan tanah sebagai akses hak untuk tinggal dan hidup sebagai manusia. Namun menurutnya, yang terjadi justru sebaliknya pemerintah mendukung upaya perusahaan yang dibantu oleh pihak kepolisian untuk merampas kembali tanah yang sudah diduduki oleh masyarakat tersebut.
Sedangkan orasi politik anggota Dewan Pimpinan Pusat AGRA Sahrul Sidin menyampaikan bahwa masyarakat secara umum menolak skema Kemitraan Perhutanan Sosial sebagai bagian dari Implementasi Reforma Agraria yang dicanangkan pemerintah.
"Menolak karena tidak ada posisi yang adil dari segi proses kerja sama maupun pelaksanaan serta hasil produksi kemitraan," ujarnya pula.
Secara nyata, dia menyebutkan pendapatan petani kemitraan dari sistem bagi hasil sangat tidak mencukupi dimana hasil singkong pada tahun 2017 rata-rata petani hanya mendapatkan bagian Rp30.000 per ton, sehingga per musim panen (9-11 bulan) petani hanya mendapatkan penghasilan Rp150.000-Rp750.000 setelah dipotong modal.
Pendapatan tersebut, katanya lagi, sangat timpang dibanding pendapatan petani singkong nonkemitraan yang mendapatkan penghasilan Rp9.000.000-Rp12.000.000/ha selama 1 musim panen. Apalagi seluruh biaya penanaman kemitraan yang dibiayai kemitraan ternyata dihitung sebagai utang petani yang harus mereka bayar/cicil sebesar Rp7.742.500 per musim tanam ditambah biaya provisi sumber daya hutan (PSDB) dan Pajak Bumi Bangunan (PBB).
Dia menegaskan bahwa praktik di atas jelas menjelaskan bahwa kemitraan tidak memberikan harapan hidup bagi petani yang menduduki lahan, sehingga kaum tani akhirnya akan terjerat utang dan akan menyerahkan atau meninggalkan tanah tersebut. "Inilah yang kami sebut sebagai perampasan tanah secara terselubung oleh Reforma Agraria bagi perkebunan besar khususnya PT Silva Inhutani di Mesuji," ujar dia lagi.
Karena itu, dalam momentum Hari HAM Sedunia ini, masyarakat Moromoro dan masyarakat di Register 45 menuntut diberikan hak sebagai warga negara Indonesia yaitu hak mendapatkan identitas kependudukan berupa kartu tanda penduduk (KTP) oleh Pemkab Mesuji, hak kesehatan dan hak pendidikan bagi seluruh warga tanpa terkecuali.
"Kami juga menuntut kepada pihak kepolisian khususnya Kepolisian Daerah Lampung dan Kepolisian Resor Mesuji untuk tidak ikut terlibat dalam penyelesaian konflik agraria, karena pada kenyataannya keterlibatan aparat kepolisian dalam Tim Terpadu Kemitraan Perhutanan Sosial justru mengintimidasi kaum tani dan berpotensi melakukan kriminalisasi atas kaum tani yang tidak mau ikut dalam skema kemitraan," kata Sahrul pula.
Kami akan terus melakukan aksi setiap bulannya jika aparat kepolisian masih terlibat dan mengintimidasi kaum tani di Register 45, kata Sahrul Sidin.
Dalam aksi di Tugu Tani, Simpang Asahan, Mesuji, Lampung, Minggu, mereka menyuarakan perbaikan nasib terutama bagi kaum buruh dan kaum tani di perdesaan yang masih hidup dalam kemiskinan, dibatasi hak-hak politiknya, dan hidup dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang buruk.
Aksi dimulai pukul 09.00 WIB di Tugu Tani, Simpang Asahan dengan bentuk pawai simpatik, orasi ilmiah, dan mimbar bebas di sepanjang Jalan Lintas Timur Sumatera menuju ke titik akhir di Simpang D.
Aksi itu diikuti oleh ribuan anggota PPMWS dan petani dari Register 45 dengan mendapat pengawalan dari pihak Kepolisian Resor Mesuji.
Dalam orasi politik, Koordinator Aksi Kadek Tike menyampaikan bahwa kaum buruh dan kaum tani serta mayoritas rakyat menolak Reforma Agraria (RA) dicanangkan pemerintah namun secara nyata tidak memberikan akses tanah bagi rakyat, tetapi mempertahankan konsesi tanah yang luas bagi perkebunan dan pertambangan besar.
Menurutnya, Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Tanah Dalam Kawasan Hutan serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial merupakan skema baru bagi perampasan tanah petani dan suku bangsa minoritas secara terselubung.
"Rakyat semakin kehilangan harapan memperbaiki keadaan hidupnya di tengah kebijakan pemerintah yang tidak mampu mengendalikan kenaikan harga kebutuhan pokok, kenaikan harga elpiji serta kenaikan tarif dasar listrik," katanya lagi.
Dia menilai, penyelesaian konflik agraria lewat skema kemitraan perhutanan sosial yang terus diusung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan Dinas Kehutanan Kabupaten Mesuji tidak menyelesaikan konflik agraria secara nyata. Kenyataannya seluruh kaum tani yang ada di Register 45 baik yang berasal dari luar Mesuji maupun warga Mesuji sejatinya benar-benar membutuhkan tanah untuk berproduksi dan hidup secara layak.
Negara semestinya berpihak kepada rakyat mayoritas yang membutuhkan tanah sebagai akses hak untuk tinggal dan hidup sebagai manusia. Namun menurutnya, yang terjadi justru sebaliknya pemerintah mendukung upaya perusahaan yang dibantu oleh pihak kepolisian untuk merampas kembali tanah yang sudah diduduki oleh masyarakat tersebut.
Sedangkan orasi politik anggota Dewan Pimpinan Pusat AGRA Sahrul Sidin menyampaikan bahwa masyarakat secara umum menolak skema Kemitraan Perhutanan Sosial sebagai bagian dari Implementasi Reforma Agraria yang dicanangkan pemerintah.
"Menolak karena tidak ada posisi yang adil dari segi proses kerja sama maupun pelaksanaan serta hasil produksi kemitraan," ujarnya pula.
Secara nyata, dia menyebutkan pendapatan petani kemitraan dari sistem bagi hasil sangat tidak mencukupi dimana hasil singkong pada tahun 2017 rata-rata petani hanya mendapatkan bagian Rp30.000 per ton, sehingga per musim panen (9-11 bulan) petani hanya mendapatkan penghasilan Rp150.000-Rp750.000 setelah dipotong modal.
Pendapatan tersebut, katanya lagi, sangat timpang dibanding pendapatan petani singkong nonkemitraan yang mendapatkan penghasilan Rp9.000.000-Rp12.000.000/ha selama 1 musim panen. Apalagi seluruh biaya penanaman kemitraan yang dibiayai kemitraan ternyata dihitung sebagai utang petani yang harus mereka bayar/cicil sebesar Rp7.742.500 per musim tanam ditambah biaya provisi sumber daya hutan (PSDB) dan Pajak Bumi Bangunan (PBB).
Dia menegaskan bahwa praktik di atas jelas menjelaskan bahwa kemitraan tidak memberikan harapan hidup bagi petani yang menduduki lahan, sehingga kaum tani akhirnya akan terjerat utang dan akan menyerahkan atau meninggalkan tanah tersebut. "Inilah yang kami sebut sebagai perampasan tanah secara terselubung oleh Reforma Agraria bagi perkebunan besar khususnya PT Silva Inhutani di Mesuji," ujar dia lagi.
Karena itu, dalam momentum Hari HAM Sedunia ini, masyarakat Moromoro dan masyarakat di Register 45 menuntut diberikan hak sebagai warga negara Indonesia yaitu hak mendapatkan identitas kependudukan berupa kartu tanda penduduk (KTP) oleh Pemkab Mesuji, hak kesehatan dan hak pendidikan bagi seluruh warga tanpa terkecuali.
"Kami juga menuntut kepada pihak kepolisian khususnya Kepolisian Daerah Lampung dan Kepolisian Resor Mesuji untuk tidak ikut terlibat dalam penyelesaian konflik agraria, karena pada kenyataannya keterlibatan aparat kepolisian dalam Tim Terpadu Kemitraan Perhutanan Sosial justru mengintimidasi kaum tani dan berpotensi melakukan kriminalisasi atas kaum tani yang tidak mau ikut dalam skema kemitraan," kata Sahrul pula.
Kami akan terus melakukan aksi setiap bulannya jika aparat kepolisian masih terlibat dan mengintimidasi kaum tani di Register 45, kata Sahrul Sidin.
Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017
Tags: