Pengacara permasalahkan penetapan kembali Setnov sebagai tersangka
7 Desember 2017 11:24 WIB
Arsip Foto. Tersangka kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto (tengah) seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/12/2017). KPK menyatakan berkas perkara tersangka kasus korupsi proyek KTP Elektronik itu sudah lengkap atau P21 dan siap untuk disidangkan. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Jakarta (ANTARA News) - Kuasa Hukum Setya Novanto mempermasalahkan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan kembali klien mereka sebagai tersangka kasus korupsi KTP-elektronik (KTP-e) dan menyebut langkah itu melanggar azas ne bis in idem dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis.
Kuasa hukum Setya Novanto, Ketut Mulya Arsana, mengatakan bahwa putusan praperadilan pada 29 September yang dibacakan oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar sudah menyatakan bahwa penetapan Setya Novanto sebagai tersangka tidak sah.
"Isinya, menolak eksepsi seluruhnya, mengabulkan permohonan sebagian, penetapan tersangka tidak sah, dan memerintahkan menghentikan penyidikan," kata Ketut.
Dengan demikian, ia melanjutkan, status pemohon tidak lagi tersangka.
"Penetapan tersangka yang kedua kalinya yang dilakukan termohon telah melanggar azas ne bis in idem karena bentuk pengulangan berdasarkan penyidikan sebelumnya," kata Ketut.
Ne bis in idem diatur dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa "kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap".
"Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut," katanya.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang perdana praperadilan Setya Novanto pada Kamis. Hakim Tunggal Kusno memimpin sidang dengan agenda pembacaan permohonan praperadilan dari pihak pemohon tersebut.
Sidang praperadilan Novanto akan dilanjutkan Jumat (8/12) dengan agenda penyampaian jawaban dari termohon, yang dalam hal ini KPK, dan pengajuan bukti surat dari kedua belah pihak.
KPK pertama kali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi KTP elektronik pada 17 Juli 2017. Dia kemudian mengajukan permohonan praperadilan mengenai penetapannya sebagai tersangka, dan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar pada 29 September 2017 mengabulkan gugatannya, menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.
KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka perkara korupsi itu pada 10 November dan dia kembali mengajukan permohonan praperadilan berkenaan dengan penetapannya sebagai tersangka.
Kuasa hukum Setya Novanto, Ketut Mulya Arsana, mengatakan bahwa putusan praperadilan pada 29 September yang dibacakan oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar sudah menyatakan bahwa penetapan Setya Novanto sebagai tersangka tidak sah.
"Isinya, menolak eksepsi seluruhnya, mengabulkan permohonan sebagian, penetapan tersangka tidak sah, dan memerintahkan menghentikan penyidikan," kata Ketut.
Dengan demikian, ia melanjutkan, status pemohon tidak lagi tersangka.
"Penetapan tersangka yang kedua kalinya yang dilakukan termohon telah melanggar azas ne bis in idem karena bentuk pengulangan berdasarkan penyidikan sebelumnya," kata Ketut.
Ne bis in idem diatur dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa "kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap".
"Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut," katanya.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang perdana praperadilan Setya Novanto pada Kamis. Hakim Tunggal Kusno memimpin sidang dengan agenda pembacaan permohonan praperadilan dari pihak pemohon tersebut.
Sidang praperadilan Novanto akan dilanjutkan Jumat (8/12) dengan agenda penyampaian jawaban dari termohon, yang dalam hal ini KPK, dan pengajuan bukti surat dari kedua belah pihak.
KPK pertama kali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi KTP elektronik pada 17 Juli 2017. Dia kemudian mengajukan permohonan praperadilan mengenai penetapannya sebagai tersangka, dan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar pada 29 September 2017 mengabulkan gugatannya, menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.
KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka perkara korupsi itu pada 10 November dan dia kembali mengajukan permohonan praperadilan berkenaan dengan penetapannya sebagai tersangka.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017
Tags: