Ramallah, Palestina (ANTARA News) - Seorang pejabat senior Palestina pada Senin (4/12) menyeru Amerika Serikat (AS) agar menghindari setiap tindakan yang akan mempengaruhi status quo atas Jerusalem.

Memindahkan Kedutaan Besar AS ke Jerusalem dan pengakuan AS atas Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel takkan diterima dan akan membawa resiko, kata Wakil Perdana Menteri Palestina Ziad Bu Amr selama pertemuannya dengan Konsul Jenderal AS di Jerusalem.

Tindakan itu akan "menjadi pelanggaran dan bertolak-belakang dengan peran Pemerintah AS sebagai penengah dan penjaga proses perdamaian", kata pejabat Palestina tersebut.

"Itu akan membatalkan Amerika Serikat dari memainkan peran dalam proses perdamaian dan akan menutup semua pintu bagi perundingan serius, serta akan mendorong seluruh wilayah ini ke dalam ketidak-stabilan dan ketegangan lebih besar," ia menambahkan.

Pemimpin Palestina akan terpaksa menghancurkan setiap kesepahaman yang telah dicapainya dengan Amerika Serikat, kalau Pemerintah AS memutuskan untuk mengubah pendiriannya mengenai Jerusalem, demikian peringatan Amr, sebagaimana dilaporkan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa pagi.

Pemerintah AS juga akan dianggap bertanggung-jawab bagi setiap konsekuensi yang muncul akibat tindakannya mengenai Jerusalem, katanya.

Ia juga mendesak Amerika Serikat agar mempertimbangkan kembali posisinya dan memelihara "sisa peluang" untuk mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel.

Media AS menyatakan Presiden AS Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Isrel dan mungkin mengumumkannya pada Rabu.

Penasehat Trump, Jared Kushner, pada Ahad mengatakan presiden AS tersebut belum membuat keputusan mengenai pengakuan itu.

Trump pada Juni mengeluarkan keputusan untuk mempertahankan Kedutaan Besar AS di Tel Aviv, tapi tidak jelas apakah ia akan mengulangi keputusannya atau tidak.

Memindahkan Kedutaan Besar ke Jerusalem dipandang oleh Palestina sebagai provokasi dan penghancuran proses perdamaian.

Pembicaraan perdamaian antara Palestina dan Israel telah macet sejak April 2014. Pembicaraan yang ditaja AS tersebut yang berlangsung selama sembilan bulan saat itu tak memberi hasil nyata.