Lava Gunung Agung sudah di permukaan tanah
1 Desember 2017 13:37 WIB
Dokumentasi cahaya magma dalam kawah Gunung Agung terpantul pada abu vulkanis terlihat dari Pantai Jemeluk, Karangasem, Bali, Selasa (28/11/2017). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menyatakan magma telah berada di kedalaman sekitar 200 meter dari puncak gunung sehingga leleran lava pijar kemungkinan akan terjadi. (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
Karangasem, Bali (ANTARA News) - Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunungapi Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Devy Syahbana, mengatakan, pengembungan atau deformasi Gunung Agung terus mengembang dan mengempis, karena lava sudah di permukaan kawah.
"Karena lava sudah ada dipermukaan dan kami amati saat ini adalah fluktuasi inflasi dan deflasi Gunung Agung, jadi sebelum letusan, terlihat inflasi (mengembung) dan saat letusan terjadi dia kembali deflasi (mengerut)," ujar dia, saat ditemui di Pos Pantau Gunung Agung, Jumat.
Ia menjelaskan, saat terjadi pengumpulan tenaga untuk mendorong material dari dalam saluran magma karena ada lava di permukaan tanah. Kemudian, Gunung Agung mengembung yang kemudian mengeluarkan gas dan asap. Selanjutnya, setelah gas ini keluar, perut Gunung Agung mengerut lagi.
Pihaknya mengingatkan kembali, bahwa Gunung Agung sebelumnya sempat mengembung sebesar enam centimeter saat periode September hingga Oktober 2017. Artinya, setelah proses pengembungan ini belum kembali ke posisi awalnya dan apabila magma tetap ada di atas ini, maka belum terjadi penurunan deformasi ini.
Ia mengatakan, belum terekam tremor menerus dan saat ini aktivitas vulkanik masih terekam yang mengindikasikan pergerakan magma di dasar kawah, secara visual mengamati asap putih kelabu dengan ketinggian 1.500 hingga 2.000 meter di atas puncak.
"Kami tidak berani mengambil kesimpulan aktivitas Gunung Agung sudah menurun hanya dilihat dari satu data satu sampai dua hari, namun perlu diamati bagaimana gunung ini sejak awal seperti pada September dan Oktober banyak terjadi gempa hingga 1.000 kali," katanya.
Hal ini merupakan manifestasi pergerakan magma menuju permukaan dan untuk kondisi saat ini terdeteksi pergerakan magma sudah sampai di permukaan tanah, yang tidak perlu mendobrak lantai kawah. Dari data satelit, kata dia, masih terpantau ada lelehan lava ke permukaan dasar kawah.
Oleh karena itu, dapat dikatakan letusan masih belum berhenti karena saat malam harinya juga mengamati adanya sinar api di atas puncak yang mengindikasikan lava masih panas, sehingga cahayanya terrefleksikan ke asap ini.
"Kalau lava ini masih panas, berarti magma di perut gunung masih panas dan belum mencapai equilibrium atau kesetimbangannya dan belum menunjukkan penurunan aktivitas gunung ini secara gradual. Jadi kita melihat tren ini dahulu sebelum betul-betul menyimpulkan penurunan," ujarnya.
Ia mengumpamakan, sampai saat ini masih terlihat fase letusan karena masih merekam gempa-gempa vulkani dan hembusan. "Ini artinya gunung agung masih fase letusan," katanya.
"Karena lava sudah ada dipermukaan dan kami amati saat ini adalah fluktuasi inflasi dan deflasi Gunung Agung, jadi sebelum letusan, terlihat inflasi (mengembung) dan saat letusan terjadi dia kembali deflasi (mengerut)," ujar dia, saat ditemui di Pos Pantau Gunung Agung, Jumat.
Ia menjelaskan, saat terjadi pengumpulan tenaga untuk mendorong material dari dalam saluran magma karena ada lava di permukaan tanah. Kemudian, Gunung Agung mengembung yang kemudian mengeluarkan gas dan asap. Selanjutnya, setelah gas ini keluar, perut Gunung Agung mengerut lagi.
Pihaknya mengingatkan kembali, bahwa Gunung Agung sebelumnya sempat mengembung sebesar enam centimeter saat periode September hingga Oktober 2017. Artinya, setelah proses pengembungan ini belum kembali ke posisi awalnya dan apabila magma tetap ada di atas ini, maka belum terjadi penurunan deformasi ini.
Ia mengatakan, belum terekam tremor menerus dan saat ini aktivitas vulkanik masih terekam yang mengindikasikan pergerakan magma di dasar kawah, secara visual mengamati asap putih kelabu dengan ketinggian 1.500 hingga 2.000 meter di atas puncak.
"Kami tidak berani mengambil kesimpulan aktivitas Gunung Agung sudah menurun hanya dilihat dari satu data satu sampai dua hari, namun perlu diamati bagaimana gunung ini sejak awal seperti pada September dan Oktober banyak terjadi gempa hingga 1.000 kali," katanya.
Hal ini merupakan manifestasi pergerakan magma menuju permukaan dan untuk kondisi saat ini terdeteksi pergerakan magma sudah sampai di permukaan tanah, yang tidak perlu mendobrak lantai kawah. Dari data satelit, kata dia, masih terpantau ada lelehan lava ke permukaan dasar kawah.
Oleh karena itu, dapat dikatakan letusan masih belum berhenti karena saat malam harinya juga mengamati adanya sinar api di atas puncak yang mengindikasikan lava masih panas, sehingga cahayanya terrefleksikan ke asap ini.
"Kalau lava ini masih panas, berarti magma di perut gunung masih panas dan belum mencapai equilibrium atau kesetimbangannya dan belum menunjukkan penurunan aktivitas gunung ini secara gradual. Jadi kita melihat tren ini dahulu sebelum betul-betul menyimpulkan penurunan," ujarnya.
Ia mengumpamakan, sampai saat ini masih terlihat fase letusan karena masih merekam gempa-gempa vulkani dan hembusan. "Ini artinya gunung agung masih fase letusan," katanya.
Pewarta: I Made Surya Wirantara Putra
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017
Tags: