Jakarta (ANTARA News) - Revisi UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) memuat sejumlah ketentuan yang memperluas wilayah kerja dan kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjadi lembaga penyelidik, kata Direktur Hukum dan Regulasi PPATK, I Ktut Sudiharsa di Jakarta, Senin. Menurut Sudiharsa, revisi tersebut mengatur penambahan jumlah pelapor transaksi keuangan yang mencurigakan. Seperti UU TPUU, pasal 15 draf revisi menyebutkan tentang Penyedia Jasa Keuangan (PJK) sebagai salah satu pelapor transaksi keuangan yang mencurigakan. PJK antara lain meliputi bank, perusahaan pembiayaan, asuransi, perusahaan efek, pengelola reksa dana, wali amanat, pedagang valuta asing, penyelenggara kartu kredit dan kartu debet, pegadaian, dan usaha jasa pengiriman uang. Selain itu, pasal 15 juga menyebutkan sejumlah profesi seperti advokat, notaris, akuntan publik, kurator kepailitan, pejabat pembuat akta tanah, dan konsultan bidang keuangan sebagai pelapor trasaksi keuangan. Kemudian, perusahaan penyedia barang dan jasa seperti perusahaan properti, dealer mobil, pedagang logam mulia dan barang antik, serta balai lelang juga dikategorikan sebagai pelapor. Sudiharsa mengatakan, penambahan jumlah pelapor (reporting parties) itu didasari kecenderungan bahwa pelaku tindak pidana pencucian uang tidak hanya menyimpan uang di perbankan, tatapi juga menyimpan uang dalam bentuk lain, seperti properti, valuta asing, batu mulia, barang antik, dan lainnya. "Semakin banyak reporting parties, data base kita akan semakin banyak," kata Sudiharsa yang juga anggota tim perumus revisi UU TPPU. Sudiharsa menambahkan, pasal 65 sampai 70 draf revisi UU TPPU juga memberi kewenangan kapada PPATK untuk menyita aset yang diduga berasal dari tindak pidana pencucian uang. Langkah penyelidikan juga bisa dilakukan PPATK, antara lain dengan melakukan penyadapan komunikasi untuk menganalisis transaksi keuangan melalui berbagai media. Selain itu PPATK juga berwenang menghentikan sementara seluruh atau sebagian kegiatan transaksi keuangan yang diduga terkait dengan tindak pidana. Dalam kaitannya dengan kerja kepolisian, kata Sudiharsa, PPATK berhak mengikutsertakan beberapa anggotanya dalam Satgas Penyidikan TPPPU. Dengan bergabung dalam tim tersebut, PPATK akan terlibat langsung dalam upaya penyidikan yang akan dilakukan oleh penyidik. "Dalam UU TPUU, PPATK hanya bisa meminta perkembangan kasus TPPU," katanya. Sementara itu, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Teten Masduki mengatakan penguatan kewenangan PPATK harus diimbangi dengan peningkatan partisipasi rakyat dalam malaporkan trasaksi keuangan mencurigakan. Sampai saat ini, menurut dia, laporan dari "orang dalam" yang mengetahui praktik pencucian uang masih sangat minim. Padahal, laporan dari pihak tersebut sangat dibutuhkan untuk membuktikan transaksi mencurigakan sebagai tidak pidana pencucian uang. Untuk itu, Teten mendesak penerapan mekanisme perlindungan "orang dalam" yang berani melaporkan kegiatan pencucian uang. "Tidak akan memberi kemudahan untuk membongkar praktik kejahatan yang terorganisir karena tidak bisa membujuk `orang dalam` atau pelaku kecil untuk memberi kesaksian," katanya. Draf revisi UU TPPU kini berada di DPR. Rencananya, wakil rakyat akan mengadakan pembahasan draf revisi itu pada 28 Juni 2007. Revisi UU TPPU ditergetkan akan resmi berlaku sebagai UU pada September 2007.(*)