Wawancara Dubes RI di Yordania: mengupas toleransi Arab
22 November 2017 12:50 WIB
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Kerajaan Yordania Andy Rachmianto (kiri) disalami Raja Abdullah II saat menyerahkan Surat Kepercayaan (Letter of Credence) kepada raja Yordania ini di Istana Basman pada 4 Juni 2017. (KBRI Amman)
Jakarta (ANTARA News) - Para penguasa Arab Sunni terkejut oleh akhir konflik sektarian di Irak dan Suriah yang justru membuat pengaruh Iran di Timur Tengah kian kuat. Upaya korektif pun dilakukan dan yang paling menyolok ditempuh oleh calon raja Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman.
Mengkritik doktrin rigid dalam masyarakat Saudi yang disebutnya gagal merespons ekspansi Iran, dia menyalahkan pemikiran-pemikiran ekstrem yang dianggapnya dibiarkan penguasa sebagai imbal balik dari praktik korup penguasa sehingga negara lupa menghadapi ancaman eksternal. Sang pangeran kemudian bersumpah mengembalikan Islam moderat dan toleran ke Saudi. Dunia Arab pun bergerak ke pemikiran seperti diyakini Muhammad bin Salman.
Tetapi Islam moderat sebenarnya sudah lama menjadi corak dan atmosfer umum pada sedikit sekali negara Arab, dengan Yordania sebagai contoh yang paling mengesankan.
Demi mendapatkan gambaran moderat mengenai Arab, dengan contoh kasus Yordania, dan insentifnya bagi Indonesia, ANTARA News mewawancarai Duta Besar RI untuk Kerajaan Yordania Hasyimiah dan Palestina, Andy Rachmianto, yang resmi bertugas setelah menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Raja Abdullah II pada 4 Juni 2017.
Berikut wawancara ANTARA News via messenger call Facebook dengan Andy Rachmianto beberapa hari lalu:
Seperti apakah dunia Arab itu?
Secara geografis dan kultural, dunia Arab dibagi ke dalam (1) Arab Afrika Utara yang di dalamnya termasuk Maroko, Libya, Mesir dan beberapa negara Afrika utara, (2) Arab Teluk, yaitu Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman, dan Yaman, dan (3) Arab Levant, termasuk Irak, Suriah, Lebanon, Yordania dan Palestina.
Ketiganya memiliki kebudayaan berbeda, bahkan dalam kebiasaan makan. Dunia Arab itu jauh lebih beragam dibandingkan dengan yang dikira kebanyakan orang Indonesia. Misal, Irak itu bermayoritas Syiah, sedangkan Saudi memiliki minoritas Syiah dalam jumlah signifkan. Sedangkan Yordania yang hampir seluruhnya Sunni justru cenderung pluralistik seperti Indonesia.
Apa yang bisa Indonesia pelajari dari Yordania?
Corak kehidupan muslim yang dipraktikkan di Yordania mirip dengan di Indonesia. Mereka moderat dan toleran seperti Indonesia yang salah satunya terlihat dari cara berbusana. Jauh lebih banyak muslim yang mengenakan hijab di Jakarta ketimbang di Amman.
Yordania juga menjunjung keberagaman yang salah satunya tercermin dalam kehidupan politik. Kalau di Mesir, Ikhawanul Muslimin dilarang, di Yordania malah mendapatkan tempat nyaman yang bahkan memiliki partai politik dan kursi di parlemen. Banyak mahasiswa Indonesia di Mesir yang beralih belajar ke Yordania.
Adalah tugas saya mengajak masyarakat Indonesia mengenal Yordania karena bagi saya negara ini adalah model ideal dalam mendapatkan perspektif lengkap mengenai dunia Arab yang toleran.
Bagaimana Yordania memelihara tatanan supaya tetap toleran?
Toleransi di Yordania memang tinggi. Minoritas dilindungi maksimal oleh negara, tapi justru dengan cara ini Yordania nyaris tak mengenal guncangan. Kemudian, faktor terpenting yang menguatkan masyarakat toleran adalah raja. Keluarga kerajaan benar-benar menjadi pemersatu. Raja Abdullah II adalah keturunan Bani Hasyim yang menurunkan Nabi Besar Muhammad SAW. Oleh karena itu nama resmi Yordania adalah Kerajaan Hasyimiyah Yordania atau al Al-Mamlaka al-Urduniyya al-Hashimiyya. Tapi meski satu pohon silsilah keluarga dengan Rasulullah, Raja Abdullah II tetap amat rendah hati, perangkul, pemersatu dan menyadari bahwa siapa pun rakyatnya harus bebas menjalankan hidupnya, baik sosial, beragama maupun politik. Dan tak seperti umumnya negara-negara Arab Teluk, perempuan Yordania boleh melakukan apa yang dilakukan pria. Dalam cara berbusana pun berbeda, bahkan Ratu Rania yang asal Palestina hanya mengenakan kerudung.
Di bawah raja, Yordania menampilkan sisi lain dunia Arab yang berbeda, yang toleran. Kalau kita ingin melihat Barat-nya Arab, ya lihatlah Yordania.
Apakah Yordania menghadapi radikalisme dan pemikiran ekstrem?
Seperti Indonesia dan umumnya dunia Islam, Yordania juga diancam radikalisme, bahkan banyak warganya yang menjadi ideolog dan operator organisasi teror seperti Alqaeda dan ISIS.
Yordania tak memungkirinya, tetapi mereka menolak melawan kekerasan dengan kekerasan. Sebaliknya mereka menitikberatkan pendekatan kebudayaan dan keagamaan. Namun begitu menyangkut teror, Yordania mengambil tindakan yang sama keras dengan negara lain.
Seperti Indonesia, Yordania menghadapi radikalisme, dengan dua pendekatan; soft dan hard. Dalam kaitan dengan ISIS, Yordania termasuk dalam aliansi pimpinan AS. Tetapi yang paling menonjol dari Yordania adalah penitikberatan mereka kepada soft approach, dengan intensif mendialogkan pemikiran-pemikiran demi mempromosikan toleransi dan Islam yang moderat.
Yordania juga belajar dari negara lain, termasuk Indonesia, sampai kerap meniru cara-cara Indonesia dalam melawan radikalisme, seperti mengembalikan mantan-mantan pelaku teror kepada masyarakat lewat deradikalisasi. Sebaliknya Yordania berbagi pengalaman deradikalisasi dengan Indonesia. Indonesia dan Yordania juga aktif berbagi informasi intelijen. Beberapa hari lalu Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Komjen Suhardi Alius) diundang Yordania untuk berbagi cara melawan radikalisme itu.
Amankah kita berada di Yordania?
Lembaga poling Gallup awal tahun ini menempatkan Yordania dalam urutan kesembilan negara aman di dunia dan kedua paling aman di dunia Arab setelah Aljazair. Saya tak kaget dengan predikat Gallup itu karena faktanya negara ini memang stabil. Negeri ini bisa mengendalikan keadaan, padahal dikepung masalah berat, tak saja ancaman pemikiran radikal yang menampik toleransi dan perang sektarian di Suriah, namun juga menjadi tempat untuk jutaan pengungsi dari negara-negara Arab yang biasanya menciptakan dilema keamanan.
Selain pengungsi Palestina, ada 1,3 juta pengungsi Suriah di Yordania, belum dari Irak, Libya, Yaman, dan lainnya. Sekitar 25 persen dari total 9 juta penduduk Yordania adalah pengungsi.
Sebagai salah satu dari dua negara Arab yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, Yordania menjadi "negara penyangga" yang mencegah konflik skala luas meluas ke seluruh kawasan atau merembes ke pusat-pusat energi dunia di Teluk. Bayangkan jika ini terjadi, ekonomi dunia akan terguncang dan dampaknya amat mengglobal.
Oleh karena itu, dunia berkepentingan membuat Yordania stabil. Faktanya Yordania relatif berhasil meredam ancaman terorisme dan radikalisme sehingga roda ekonomi berjalan seperti biasa, ditandai oleh terus mengalirnya turis mancanagara ke sini.
Peluang ekonomi seperti apakah yang ditawarkan Yordania kepada Indonesia?
Yordania memang miskin sumber daya alam jika dibandingkan dengan tetangga-tetangganya, namun tetap pasar menarik untuk Indonesia, terutama potasium, pupuk, dan produk kimia lainnya. Menurut saya, BUMN-BUMN dan produsen-produsen Indonesia mesti tahu bahwa Yordania adalah satu-satunya negara Arab yang mendapat referensi langsung Uni Eropa dalam perdagangan bebas. Mereka memiliki "jalan tol" langsung ke pasar Eropa. Ini pasti menarik bagi pebisnis Indonesia yang ingin menembus pasar Uni Eropa. Tanam modal, bikin pabrik di sini, lalu ekspor ke Uni Eropa.
Tak hanya itu, Yordania juga kaya situs pariwisata menarik, termasuk wisata religi. Situs-situs wisata peninggalan peradaban dunia berusia ribuan tahun, termasuk peradaban Islam, banyak sekali di sini. Sebagian orang Indonesia jeli menangkap peluang ini, tercermin dari bertambahnya biro penyelenggara umrah yang memasukkan perjalanan wisata religi ke Yordania, dan juga Palestina, dalam paket umrah. Tahun lalu, 10.000 WNI telah mengunjungi Yordania untuk wisata religi ini.
Pada 5 November 2017, giliran Presiden Mahmoud Abbas yang menerima Letter of Credence dari Andy Rachmianto sebagai duta besar Palestina. Momen dimulainya misi diplomatik Andy di Palestina bertepatan dengan peristiwa besar di Palestina, yakni rekonsiliasi Fatah dan Hamas yang memerintah di dua enklaf berbeda; Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Kepada ANTARA News, alumnus Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran dan School of International Studies, Jawaharlal Nehru University, New Delhi yang juga mantan Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata pada Kementerian Luar Negeri RI itu menyampaikan pandangannya mengenai arti penting Palestina.
Mengapa kita harus melihat Palestina?
Palestina itu "core of the problems", inti semua masalah di Timur Tengah. Semakin lama dibiarkan, semakin berlarut-larut konflik di kawasan ini. Untuk itulah, dunia dan Indonesia harus membantu mengatasi inti masalah ini.
Indonesia sendiri, sejak KTT Asia Afrika di Bandung pada 1955, selalu menjadi negara terdepan yang mendukung dan mempromosikan Palestina merdeka. Dalam setiap krisis yang muncul, Indonesia kerap menjadi yang pertama menginisiatifi solusi konflik, termasuk dalam merujukkan Hamas dan Fatah. Sewaktu krisis Al-Aqsa pecah beberapa waktu, Presiden Joko Widodo menyurati Raja Yordania untuk mencari solusi yang adil di Yerusalem.
Bagaimana Anda mengartikan rekonsiliasi Hamas dan Fatah?
Ini kemajuan besar, tetapi bukan hal baru karena sudah beberapa kali dilakukan sebelum kini, namun kandas. Baru September ini terlaksana, dengan fasilitasi Mesir.
Bagi saya ini adalah buah dari realitas pahit yang dihadapi Hamas dalam tiga tahun terakhir di Gaza yang memang mengkhawatirkan. Pasokan listrik sering mati, hanya tiga jam dalam satu hari. Padahal yang membayar pasokan listrik adalah Otoritas Palestina (pimpinan Mahmoud Abbas dan Fatah) di Tepi Barat. Yang memasok listrik ke Jalur Gaza adalah Israel. Kesulitan-kesulitan ini tak bisa diatasi Hamas. Saat bersamaan, sikap militan Hamas telah membuat banyak bantuan dari negara-negara Arab diputus. Hamas berusaha realistis dan lalu menyerahkan administrasi Gaza kepada Otoritas Palestina di Ramallah. Saya tak menganggap ini sebagai kekalahan Hamas, sebaliknya ini adalah kemenangan Palestina karena mereka menjadi satu front kembali.
Apa yang bisa diberikan Indonesia untuk rekonsialiasi Palestina?
Indonesia menyambut baik rekonsialiasi ini karena menjadi jalan ke arah pemerintahan bersatu sehingga Palestina menjadi satu suara. Tetapi tetap harus wait and see karena mesti menantikan hasil Pemilu yang akan digelar satu tahun ke depan.
Harapan saya, Pemilu tahun depan bakal membentuk pemerintahan yang stabil dan satu suara sehingga meningkatkan barganing position Palestina dalam menghadapi Israel.
Belum ada permintaan dari Palestina karena memang masih terlalu dini. Tapi Indonesia selalu siap untuk Palestina, berbagi pengalaman menggelar Pemilu yang jujur, adil dan demokratis. Palestina bisa belajar dari KPU kita.
Mengkritik doktrin rigid dalam masyarakat Saudi yang disebutnya gagal merespons ekspansi Iran, dia menyalahkan pemikiran-pemikiran ekstrem yang dianggapnya dibiarkan penguasa sebagai imbal balik dari praktik korup penguasa sehingga negara lupa menghadapi ancaman eksternal. Sang pangeran kemudian bersumpah mengembalikan Islam moderat dan toleran ke Saudi. Dunia Arab pun bergerak ke pemikiran seperti diyakini Muhammad bin Salman.
Tetapi Islam moderat sebenarnya sudah lama menjadi corak dan atmosfer umum pada sedikit sekali negara Arab, dengan Yordania sebagai contoh yang paling mengesankan.
Demi mendapatkan gambaran moderat mengenai Arab, dengan contoh kasus Yordania, dan insentifnya bagi Indonesia, ANTARA News mewawancarai Duta Besar RI untuk Kerajaan Yordania Hasyimiah dan Palestina, Andy Rachmianto, yang resmi bertugas setelah menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Raja Abdullah II pada 4 Juni 2017.
Berikut wawancara ANTARA News via messenger call Facebook dengan Andy Rachmianto beberapa hari lalu:
Seperti apakah dunia Arab itu?
Secara geografis dan kultural, dunia Arab dibagi ke dalam (1) Arab Afrika Utara yang di dalamnya termasuk Maroko, Libya, Mesir dan beberapa negara Afrika utara, (2) Arab Teluk, yaitu Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman, dan Yaman, dan (3) Arab Levant, termasuk Irak, Suriah, Lebanon, Yordania dan Palestina.
Ketiganya memiliki kebudayaan berbeda, bahkan dalam kebiasaan makan. Dunia Arab itu jauh lebih beragam dibandingkan dengan yang dikira kebanyakan orang Indonesia. Misal, Irak itu bermayoritas Syiah, sedangkan Saudi memiliki minoritas Syiah dalam jumlah signifkan. Sedangkan Yordania yang hampir seluruhnya Sunni justru cenderung pluralistik seperti Indonesia.
Apa yang bisa Indonesia pelajari dari Yordania?
Corak kehidupan muslim yang dipraktikkan di Yordania mirip dengan di Indonesia. Mereka moderat dan toleran seperti Indonesia yang salah satunya terlihat dari cara berbusana. Jauh lebih banyak muslim yang mengenakan hijab di Jakarta ketimbang di Amman.
Yordania juga menjunjung keberagaman yang salah satunya tercermin dalam kehidupan politik. Kalau di Mesir, Ikhawanul Muslimin dilarang, di Yordania malah mendapatkan tempat nyaman yang bahkan memiliki partai politik dan kursi di parlemen. Banyak mahasiswa Indonesia di Mesir yang beralih belajar ke Yordania.
Adalah tugas saya mengajak masyarakat Indonesia mengenal Yordania karena bagi saya negara ini adalah model ideal dalam mendapatkan perspektif lengkap mengenai dunia Arab yang toleran.
Bagaimana Yordania memelihara tatanan supaya tetap toleran?
Toleransi di Yordania memang tinggi. Minoritas dilindungi maksimal oleh negara, tapi justru dengan cara ini Yordania nyaris tak mengenal guncangan. Kemudian, faktor terpenting yang menguatkan masyarakat toleran adalah raja. Keluarga kerajaan benar-benar menjadi pemersatu. Raja Abdullah II adalah keturunan Bani Hasyim yang menurunkan Nabi Besar Muhammad SAW. Oleh karena itu nama resmi Yordania adalah Kerajaan Hasyimiyah Yordania atau al Al-Mamlaka al-Urduniyya al-Hashimiyya. Tapi meski satu pohon silsilah keluarga dengan Rasulullah, Raja Abdullah II tetap amat rendah hati, perangkul, pemersatu dan menyadari bahwa siapa pun rakyatnya harus bebas menjalankan hidupnya, baik sosial, beragama maupun politik. Dan tak seperti umumnya negara-negara Arab Teluk, perempuan Yordania boleh melakukan apa yang dilakukan pria. Dalam cara berbusana pun berbeda, bahkan Ratu Rania yang asal Palestina hanya mengenakan kerudung.
Di bawah raja, Yordania menampilkan sisi lain dunia Arab yang berbeda, yang toleran. Kalau kita ingin melihat Barat-nya Arab, ya lihatlah Yordania.
Apakah Yordania menghadapi radikalisme dan pemikiran ekstrem?
Seperti Indonesia dan umumnya dunia Islam, Yordania juga diancam radikalisme, bahkan banyak warganya yang menjadi ideolog dan operator organisasi teror seperti Alqaeda dan ISIS.
Yordania tak memungkirinya, tetapi mereka menolak melawan kekerasan dengan kekerasan. Sebaliknya mereka menitikberatkan pendekatan kebudayaan dan keagamaan. Namun begitu menyangkut teror, Yordania mengambil tindakan yang sama keras dengan negara lain.
Seperti Indonesia, Yordania menghadapi radikalisme, dengan dua pendekatan; soft dan hard. Dalam kaitan dengan ISIS, Yordania termasuk dalam aliansi pimpinan AS. Tetapi yang paling menonjol dari Yordania adalah penitikberatan mereka kepada soft approach, dengan intensif mendialogkan pemikiran-pemikiran demi mempromosikan toleransi dan Islam yang moderat.
Yordania juga belajar dari negara lain, termasuk Indonesia, sampai kerap meniru cara-cara Indonesia dalam melawan radikalisme, seperti mengembalikan mantan-mantan pelaku teror kepada masyarakat lewat deradikalisasi. Sebaliknya Yordania berbagi pengalaman deradikalisasi dengan Indonesia. Indonesia dan Yordania juga aktif berbagi informasi intelijen. Beberapa hari lalu Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Komjen Suhardi Alius) diundang Yordania untuk berbagi cara melawan radikalisme itu.
Amankah kita berada di Yordania?
Lembaga poling Gallup awal tahun ini menempatkan Yordania dalam urutan kesembilan negara aman di dunia dan kedua paling aman di dunia Arab setelah Aljazair. Saya tak kaget dengan predikat Gallup itu karena faktanya negara ini memang stabil. Negeri ini bisa mengendalikan keadaan, padahal dikepung masalah berat, tak saja ancaman pemikiran radikal yang menampik toleransi dan perang sektarian di Suriah, namun juga menjadi tempat untuk jutaan pengungsi dari negara-negara Arab yang biasanya menciptakan dilema keamanan.
Selain pengungsi Palestina, ada 1,3 juta pengungsi Suriah di Yordania, belum dari Irak, Libya, Yaman, dan lainnya. Sekitar 25 persen dari total 9 juta penduduk Yordania adalah pengungsi.
Sebagai salah satu dari dua negara Arab yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, Yordania menjadi "negara penyangga" yang mencegah konflik skala luas meluas ke seluruh kawasan atau merembes ke pusat-pusat energi dunia di Teluk. Bayangkan jika ini terjadi, ekonomi dunia akan terguncang dan dampaknya amat mengglobal.
Oleh karena itu, dunia berkepentingan membuat Yordania stabil. Faktanya Yordania relatif berhasil meredam ancaman terorisme dan radikalisme sehingga roda ekonomi berjalan seperti biasa, ditandai oleh terus mengalirnya turis mancanagara ke sini.
Peluang ekonomi seperti apakah yang ditawarkan Yordania kepada Indonesia?
Yordania memang miskin sumber daya alam jika dibandingkan dengan tetangga-tetangganya, namun tetap pasar menarik untuk Indonesia, terutama potasium, pupuk, dan produk kimia lainnya. Menurut saya, BUMN-BUMN dan produsen-produsen Indonesia mesti tahu bahwa Yordania adalah satu-satunya negara Arab yang mendapat referensi langsung Uni Eropa dalam perdagangan bebas. Mereka memiliki "jalan tol" langsung ke pasar Eropa. Ini pasti menarik bagi pebisnis Indonesia yang ingin menembus pasar Uni Eropa. Tanam modal, bikin pabrik di sini, lalu ekspor ke Uni Eropa.
Tak hanya itu, Yordania juga kaya situs pariwisata menarik, termasuk wisata religi. Situs-situs wisata peninggalan peradaban dunia berusia ribuan tahun, termasuk peradaban Islam, banyak sekali di sini. Sebagian orang Indonesia jeli menangkap peluang ini, tercermin dari bertambahnya biro penyelenggara umrah yang memasukkan perjalanan wisata religi ke Yordania, dan juga Palestina, dalam paket umrah. Tahun lalu, 10.000 WNI telah mengunjungi Yordania untuk wisata religi ini.
Pada 5 November 2017, giliran Presiden Mahmoud Abbas yang menerima Letter of Credence dari Andy Rachmianto sebagai duta besar Palestina. Momen dimulainya misi diplomatik Andy di Palestina bertepatan dengan peristiwa besar di Palestina, yakni rekonsiliasi Fatah dan Hamas yang memerintah di dua enklaf berbeda; Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Kepada ANTARA News, alumnus Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran dan School of International Studies, Jawaharlal Nehru University, New Delhi yang juga mantan Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata pada Kementerian Luar Negeri RI itu menyampaikan pandangannya mengenai arti penting Palestina.
Mengapa kita harus melihat Palestina?
Palestina itu "core of the problems", inti semua masalah di Timur Tengah. Semakin lama dibiarkan, semakin berlarut-larut konflik di kawasan ini. Untuk itulah, dunia dan Indonesia harus membantu mengatasi inti masalah ini.
Indonesia sendiri, sejak KTT Asia Afrika di Bandung pada 1955, selalu menjadi negara terdepan yang mendukung dan mempromosikan Palestina merdeka. Dalam setiap krisis yang muncul, Indonesia kerap menjadi yang pertama menginisiatifi solusi konflik, termasuk dalam merujukkan Hamas dan Fatah. Sewaktu krisis Al-Aqsa pecah beberapa waktu, Presiden Joko Widodo menyurati Raja Yordania untuk mencari solusi yang adil di Yerusalem.
Bagaimana Anda mengartikan rekonsiliasi Hamas dan Fatah?
Ini kemajuan besar, tetapi bukan hal baru karena sudah beberapa kali dilakukan sebelum kini, namun kandas. Baru September ini terlaksana, dengan fasilitasi Mesir.
Bagi saya ini adalah buah dari realitas pahit yang dihadapi Hamas dalam tiga tahun terakhir di Gaza yang memang mengkhawatirkan. Pasokan listrik sering mati, hanya tiga jam dalam satu hari. Padahal yang membayar pasokan listrik adalah Otoritas Palestina (pimpinan Mahmoud Abbas dan Fatah) di Tepi Barat. Yang memasok listrik ke Jalur Gaza adalah Israel. Kesulitan-kesulitan ini tak bisa diatasi Hamas. Saat bersamaan, sikap militan Hamas telah membuat banyak bantuan dari negara-negara Arab diputus. Hamas berusaha realistis dan lalu menyerahkan administrasi Gaza kepada Otoritas Palestina di Ramallah. Saya tak menganggap ini sebagai kekalahan Hamas, sebaliknya ini adalah kemenangan Palestina karena mereka menjadi satu front kembali.
Apa yang bisa diberikan Indonesia untuk rekonsialiasi Palestina?
Indonesia menyambut baik rekonsialiasi ini karena menjadi jalan ke arah pemerintahan bersatu sehingga Palestina menjadi satu suara. Tetapi tetap harus wait and see karena mesti menantikan hasil Pemilu yang akan digelar satu tahun ke depan.
Harapan saya, Pemilu tahun depan bakal membentuk pemerintahan yang stabil dan satu suara sehingga meningkatkan barganing position Palestina dalam menghadapi Israel.
Belum ada permintaan dari Palestina karena memang masih terlalu dini. Tapi Indonesia selalu siap untuk Palestina, berbagi pengalaman menggelar Pemilu yang jujur, adil dan demokratis. Palestina bisa belajar dari KPU kita.
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017
Tags: