Jakarta (ANTARA News) - Hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta beribadah menurut agama dan kepercayaan, merupakan hak konstitusional warga negara dan bukan pemberian negara.

Dalam gagasan negar demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis sebagaimana dianut oleh UUD 1945, negara hadir atau dibentuk justru untuk melindungi hak-hak tersebut.

Pernyataan mendasar ini secara eksplisit tertuang di dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yang mengamanatkan Pemerintah yang dibentuk salah satu tugasnya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia termasuk hak-hak warga negara Indonesia.

Perlindungan terhadap hak-hak warga negara ini dituangkan secara normatif dalam Pasal 28E ayat (2) dan ayat (2) serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Kendati demikian, apa yang dialami oleh para penganut kepercayaan sebelumnya tidaklah demikian.

Para penganut kepercayaan sebelumnya merasa bahwa Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Hal ini disebabkan karena Kartu Keluarga (KK) dan kartu tanda Penduduk (KTP) elektronik memuat elemen keterangan agama di dalamnya, namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan

Oleh sebab itu para penghayat kepercayaan yang diwakili oleh Nggay Mehang Tana dan beberapa rekannya mengajukan uji materi Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi.

Para Pemohon ini tentu merasa bahwa pasal-pasal yang diujikan bersifat diskriminatif dan telah menimbulkan kerugian atas hak konstitusional mereka sebagai warga negara Indonesia.

Terkait dengan permohonan para penghayat kepercayaan, Mahkamah melalui Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, menegaskan pendirian Mahkamah mengenai keberadaan hak beragama termasuk hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan hak mendapatkan layanan publik.

"Agama dan kepercayaan sangat mungkin dipahami sebagai dua hal yang berbeda atau tidak sama, namun keduanya sama-sama diakui eksistensinya," ujar Maria.

Sementara itu, terkait dengan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan, Mahkamah melalui Hakim Konstitusi Saldi Isra menegaskan bahwa

keberadaan pasal a quo bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan dengan terbangunnya pusat data kependudukan secara nasional yang valid.

"Upaya melakukan tertib administrasi kependudukan sebagaimana dimaksud pada pasal a quo sama sekali tidak boleh mengurangi hak-hak warga negara dimaksud termasuk hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan," ujar Saldi Isra ketika membacakan pertimbangan Mahkamah.

Mahkamah menegaskan bahwa penganut aliran kepercayaan juga harus tetap dilayani dan dicatat dalam pusat data kependudukan.

Hal tersebut semata-mata penegasan tentang kewajiban negara untuk memberikan pelayanan kepada setiap warga negara sesuai dengan data yang tercantum dalam pusat data kependudukan yang memang merupakan tugas dan kewajiban negara.

Oleh sebab itu Mahkamah menilai dalil pemohon yang menyatakan bahwa kata "agama" dalam pasal-pasal a quo beralasan menurut hukum.

"Karena hal ini bertentangan dengan prinsip atau gagasan negara hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai termasuk `kepercayaan," kata Saldi.


Diskriminatif

Terkait dengan perbedaan pengaturan antarwarga negara dalam hal pencantuman elemen data penduduk, menurut Mahkamah tidak didasarkan pada alasan yang konstitusional.

Dengan demikian, dalil para pemohon tentang inkonstitusionalitas Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan dinilai oleh Mahkamah beralasan menurut hukum.

"Pengaturan tersebut telah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama, yakni terhadap warga negara penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan publik," tegas Saldi.

Lagi pula jika dikaitkan dengan pembatasan terhadap hak dan kebebasan dengan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, menurut Mahkamah pembatasan demikian tidak berhubungan dengan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan bukan pula untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.

Sebaliknya, pembatasan hak a quo justru menyebabkan munculnya perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara penghayat kepercayaan sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon, kata Saldi.

Dengan tidak dipenuhinya alasan pembatasan hak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maka pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antarwarga negara merupakan tindakan diskriminatif.

Oleh karena itu, dalil para pemohon bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang kata ?agama? dalam pasal a quo tidak dimaknai termasuk kepercayaan adalah beralasan menurut hukum.

Atas seluruh pertimbangan Mahkamah tersebut, Mahkamah kemudian mengabulkan seluruh permohonan uji materi yang diajukan oleh empat warga negara Indonesia yang menganut aliran kepercayaan.

"Amar putusan mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Dalam putusan tersebut Mahkamah menyatakan kata "agama" dalam pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan".

Melalui putusan Mahkamah, kini para penghayat kepercayaan dapat mencantumkan elemen data kependudukan mereka tentang agama, hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai "penghayat kepercayaan" tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK ataupun KTP-elektronik.